"Gue orangnya baperan.
Dipanggil 'Say' aja udah seneng,
padahal belakangnya 'thon'"
—Nando
"Makan delima sambil nyebat. Lama baaat!"
Nando bolak-balik gelisah di depan kosan Echa setelah tadi diusir dengan tidak hormat oleh kaum hyena di sana. Iya, bagi Nando, cewek itu seperti hyena. Sendirian tidak berbahaya, rombongan, wah, jangan harap selamat, buasnya tidak kira-kira.
Dia mencoba mengintip melalui celah pada tirai jendela, tetapi harus terjengkang kembali ke tempat setelah mendapat pelototan Mimi, teman sekamar Echa yang galaknya naudzubillah.
"Tuh mata apa sangkakala terakhir, anjer? Amit-amit ngelihat dia lagi," Nando mendudukkan diri kembali di kursi rotan depan kos sambil mengetuk-ngetukkan buku jarinya di meja dan kening bergantian. Di sampingnya, terpisah satu meja kecil yang sama, duduk Kian. "Mereka lagi dandan apa lagi ngepet, sih? Kalau gini caranya, sampai di sana kita bisa dikira orangtua siswa, auto keriput nunggu mereka!"
Kian menamparnya sebagai jawaban, tepat di pipi.
Nando meringis. "Gimana?"
"Tewas." Kian mengangguk, lalu memperlihatkan di telapak tangannya bangkai si nyamuk yang tadi dia tepuk dari pipi Nando.
Nando, merasa sebagai korban, mengambil si nyamuk dan meletakkannya di atas meja, bersanding dengan deretan 'jenazah' nyamuk lainnya. Inilah masalah sebenarnya. Tidak apa duduk di luar seandainya nyamuk-nyamuk tidak sedang berpesta mendahului mereka. Jika terus seperti ini, dua jam lagi kira-kira, dia dan Kian bisa ditemukan tinggal mayat, pucat kehabisan darah.
Sejak dua jam lalu, mereka sudah berdandan rapi. Pakaian disetrika, rambut klimis berbau gel, serta dagu mulus seperti iklan papa dan bayi yang papanya dikerubuti ibu-ibu muda, meski sekarang faktanya mereka dikerubuti nyamuk dan bukannya wanita, dua spesies yang jelas-jelas berbeda.
Nando malam ini mengenakan kaus putih yang dilapis jas single-breast berwarna hitam dengan garis biru pada kerahnya, hasil mengumpulkan voucer belanja online. Sementara Kian dengan kemeja hitam polos yang dilapis jas semi kasual berwarna senada hasil meminjam dari abangnya, Kendra. Untungnya, potongan badan mereka mirip. Sialnya, Kendra tidak pernah mau memberikan apa-apa secara gratis.
Mereka sudah siap lahir batin untuk pergi. Namun, menunggu cewek dandan di salon menyita banyak kesabaran, ternyata. Meskipun salonnya salon dadakan.
Tadi pagi, ketika mereka nongkrong bersama, Kian dan Laudy membahas rencana mereka, haruskah pergi ke salon dengan uang pas-pasan demi menghadiri pesta ulang tahun Ratu yang pasti akan meriah, mengingat orangtuanya itu pengusaha real estate. Mereka tidak mungkin datang-datang seperti gembel meski kenyataannya begitu, bisa diusir tanpa sempat membungkus makanan apa pun.
Namun, solusi itu didapat dengan begitu mudah dalam wujud Echa. Echa, yang terkenal karena pipi meronanya, bulu mata lentiknya, dan lensa mata yang kebiru-biruan itu, segera menawarkan jasa make-up gratis. "Sekalian belajar dandanin orang," ujarnya.
Jadilah mereka di sini sekarang, saling tampar demi bertahan hidup.
"Udah belum?" Nando meneriaki cewek-cewek itu lagi. "Gue udah mau brojol, nih!"
Tidak ada sahutan.
"Woi! Gue pembukaan lima!!!"
Hening.
KAMU SEDANG MEMBACA
[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga Minggu
RomanceKian Erlangga, penulis novel non-romance dengan ratusan ribu penggemar, gagal menggarap cerita romansa remaja. Ia butuh sahabatnya, Laudy untuk membuatnya paham bagaimana rasanya pacaran. Anindya Laudy, mahasiswi jenis 'kupu-kupu' dengan hobi rebaha...