5. PIKIRAN

5.3K 324 5
                                    

Rabu, 01 Januari 2020

5. PIKIRAN

"Mengharapkan sesuatu yang jelas-jelas susah di raih adalah keputusan yang sangat membimbangkan. Karna sesuatu itu adalah hal paling berharga yang diinginkan."—Thalia Anastasya.

....DIEGO....

Diego bangkit dari duduknya setelah cowok itu mengirim pesan pada temannya bahwa akan segera berangkat. Tadi sore, setelah berkumpul Diego dan teman-temannya janjian akan pergi ke club yang biasa untuk tempat mereka hiburan. Letaknya berada di dekat pasar tradisional. Tidak terlalu jauh dari arah rumah Jiko.

Cowok itu menarik jaket kulit hitamnya. Bukan jaket parasut yang dia buat dengan teman-temannya dan anggota Sergend yang lain bahwa itu adalah tanda bahwa mereka satu komplotan atau perkumpulan. Jaket itu adalah jaket lama yang dia punya. Sejak kelas 1 SMP. Dulu Ayahnya yang memberikan dari luar kota saat Ayahnya berkantor di sana.

Jaket itu dulu sangat kebesaran, tapi sekarang sudah snagat cocok di kenakan olehnya. Diego juga beberapa kali memasang bad kain di lengan dan dadanya. Diego menyampirkan jaket itu ke bahu kirinya, lalu keluar setelah meraih kunci motor juga yang berada di atas meja belajar rumahnya.

"Den, Diego?"

Diego menoleh ke arah Bi Inem. Bi Inem adalah satu-satunya pekerja rumah tangga yang sudah lama di rumahnya. Ayahnya bahkan mempercayai Bi Inem saat beliau pergi ke luar kota seperti sekarang. Apalagi setelah kedua orang tua Diego tidak bersama sejak 5 tahun yang lalu.

"Aden teh, mau kemana?" tanya Bi Inem. Menghampiri Diego yang hanya diam mendengar panggilannya tadi.

"Keluar bentar, Bi." jawabnya.

"Sampai malam, Den?"

Diego menggeleng. "Nggak pasti, Bi. Nanti kalau sampai malam saya belom pulang, kunci aja pintu rumahnya. Saya biar nanti pake kunci cadangan aja. Yang penting Bibi cabut kuncinya."

Bi Inem mengangguk. "Iya Den. Tapi jangan malam-malam benar ya Den? Soalnya Aden kan tahu, kalau Tuan Wisnu tahu, Aden bisa kena marah."

Diego mengangguk. Dia sangat hapal dengan sifat Ayahnya—Wisnu yang sangat marah jika tahu dirinya pulang sangat larut. Tapi walau begitu, terkadang juga saat Wisnu keluar kota karna kerjanya, Diego masih sering pulang terlambat. Karna berkumpul-kumpul dan nongkrong bareng dengan teman-temannya.

Kemudian cowok itu berdehem sebagai jawabannya.

"Yasudah, Den." kata Bi Inem. "Hati-hati di jalannya."

Diego tersenyum singkat lalu pergi dari sana. Walau hanya pekerja rumah tangga, Bi Inem sangat perhatian dengan Diego. Mungkin rasa ke Ibuan terasa di batinnya sebab Diego sudah lama di rawat olehnya sejak dulu. Sejak Diego masih duduk di bangku kelas 6 SD.

....

Motor kawasaki tinggi yang di kendarai cowok itu baru saja memasukki perkarangan kecil yang berada di depan sebuah gedung. Gedung itu tidak terlalu besar, dengan cat yang berwarna abu-abu. Tempat yang biasa di sebut orang dengan club malam itu, adalah tempat yang sekarang sedang ia tuju. Cowok perjaket kulit berwarna hitam itu langsung memasukki gedung yang hanya memiliki satu ruang.

Saat memasukkinya, penglihatan Diego langsung tidak terlalu jelas. Lampunya berkelap-kelip dan berganti-ganti warna. Telinganya juga langsung menangkap musik yang berdentum keras, beriringan dengan orang-orang yang menikmatinya sambil berjoget dengan gembira. Diego melewati orang-orang itu begitu saja, dan langsung melangkahkan kakinya ke arah meja bar, saat melihat teman-temannya—Jiko dan Arul sedang mengobrol di sana.

DIEGOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang