Bagian 24

52 8 3
                                    

Arba memandang ke papan tulis, sambil memperhatikan semua teman kelasnya. Bagaimana tidak? Semua terfokus pada ponsel masing-masing. Sesekali, Arba hanya mengangkat bahunya. Benar, teknologi mengubah semuanya. Ada interaksi memang, tapi interaksi dengan ponsel pintar masing-masing. Tak ada obrolan sama sekali, kecuali ada kepentingan yang khusus. Arba juga tambah bingung, kenapa hari ini Gatot tida masuk kuliah. Sedari tadi, Arba sudah menghubungi Gatot beberapa kali. Sayang, tak ada jawaban dari cowok berambut keriting tebal itu.

"Gatot kenapa, ya?" tanya Arba pada dirinya sendiri.

Arba lalu memangku kedua tangan di atas meja. Sepi rasanya. Tidak ada yang mau mengajaknya mengobrol. Berbeda memang dengan di kampusnya sendiri, Arba mempunyai banyak teman.

Kadang Arba berpikir, kenapa orang yang biasa-biasa saja kadang tidak mempunyai teman? Bukankah semua orang itu sama. Sama-sama saling membutuhkan. Percaya saja, semua orang pasti punya kelebihan masing-masing. Andai semua orang mau saling menghargai, pasti dunia ini akan rukun. Tapi yang namanya hidup memang berdampingan, seperti: baik, dan buruk.

Lima menit kemudian, Bu Yui datang. Bu Yui merupakan dosen mata kuliah Pengenalan Teknologi Mobile. Bu Yui berusia sekitar empat puluh tahunan. Usia yang sudah berumur memang, tapi walaupun umur sudah agak tua, Beliau masih terlihat cantik.

"Pagi," ucap Bu Yui. "Maaf saya sedikit terlambat."

Bu Yui lalu meletakkan laptop di atas meja dan mempersiapkan peralatan untuk mengajar.

"Mas, bantu saya menyalakan proyektor," kata Bu Yui pada Arba.

Arba yang merasa terpanggil langsung maju ke depan. Bu Yui memberikan Arba sebuah tongkat kecil untuk menyalakan proyektor.

Arba segera menuju kotak proyektor yang sengaja dipasang di atas langit kelas. Sedikit berjinjit, Arba menekan tombol berbentuk bulat pada proyektor itu, dan tak berselang lama proyektor itu menyala yang langsung terhubung dengan laptop.

"Sudah, Bu," kata Arba sambil tersnyum.

"Makasih, Mas. Namanya siapa?"

"Arman Dirgantara, Bu."

"Oke. Saya kasih nilai. Udah saya catat di laptop saya, ya, Mas."

"Kok Arman dapat nilai, sih, Bu?" Irhas protes, lebih tepatnya iri pada Arba.

"Kan dia sudah bantu saya," jawab Bu Yui. "Di kelas saya nilai itu gampang, tidak hanya masalah akademik saja."

Mendengar jawaban Bu Yui, Irhas terdiam. Arba mengangkat sebelah alis, dan berjalan menuju tempat duduknya.

"Sirik aja jadi orang," gumam Arba lirih, sambil mengarahkan pandangan ke Irhas yang tidak tahu kalau Arba sedang menatap dirinya.

Saat kelas sudah kondusif, Bu Yui menjelaskan materi yang ada di slide laptops. Semua yang ada di kelas memperhatikan penjelasan Bu Yui dengan seksama.

Satu jam berlalu, Bu Yui telah selesai menyampaikan materinya. Giliran sekarang Bu Yui memberikan tugas yang langung dikerjakan di kelas.

"Saya beri tugas dan dikerjakan di kelas," ucapnya. "Tugasnya jelaskan perkembangan teknologi mobile itu seperti apa. Paham?"

"Paham, Bu."

"Bagus. Dikerjakan individu. Oh, ya, yang mengerjakan saja yang saya absen. Absen saya yang bawa, dan setelah semua selesai absen akan saya bawa ke pengajaran. Saya keluar kelas dulu, ada urusan. Ketua kelas yang mengumpul di meja saya. Meja saya berada di gedung T.3.5," Bu Yui membereskan barang-barang dan berlalu meninggalkan kelas.

Arba langsung mengerjakan soal itu dengan mencari sumber di Google. Setelah mendapat materi, Arba segera menuliskan ke dalam kertas. Tak butuh waktu lama, Arba sudah selesai mengerjakan. Cowok berotak cerdas itu langsung menghampiri meja Irhas untuk mengumpul tugas. Sebelum itu, Arba memfoto tugas sebagai bukti kalau-kalau ada masalah nanti.

"Gue ngumpulin tugas," kata Arba seadanya.

"Taruh meja aja," jawab Irhas.

Tanpa menjawab, Arba langsung meletakan kertas itu di atas meja, dan kembali di mejanya. Irhas sudah ada niatan buruk pada musuh bebuyutannya itu. Dia sengaja tidak mengumpulkan tugas Arba supaya absennya kosong.

"Rasain lo, Man." Irhas menyunggingkan senyum licik.
Karena tak ada yang perlu dikerjakan, Arba memilih meninggalkan kelas dan pulang ke rumah.

***

"Gatot tadi nggak berangkat, kenapa, ya, Man?" tanya Arba pada Arman.

"Ya, gue nggak tahu, Ba, kan lo yang gantiin gue tadi."

"Gue tadi Whatsapp dia pakai ponsel lo, tapi dia nggak jawab-jawab. Kok gue jadi khawatir, ya?"

"Ya doain aja dia nggak kenapa-kenapa."

Seketika ada pesan Whatsapp masuk di ponsel Arman, yang ternyata dari Gatot.

Gatot TI-2: Sorry gue baru bales, Man. Gue tadi nggak berangkat kuliah soalnya ibu gue baru di rumah sakit.

Arman kaget bukan main saat membaca pesan dari Gatot. Segera, Arman memberitahukan itu pada Arba yang sedang membaca buku. Arba segera membaca pesan itu. Sama saja, Arba juga kaget.

"Kasihan ya, Gatot, Man," kata Arba, merasa iba. Bagaimana pun , Gatot adalah satu-satunya teman Arba di kampus Arman. Arba merasa tidak tega dengan kondisi Gatot yang memperihatinkan.

"Iya juga, sih, Ba," jawab Arman. "Gimana kalau kita berdua jenguk ibunya?"

"Lo udah gila? Gimana kalau dia tahu kita kembar, Man?" Arba menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan perkataan Arman yang menurutnya ngelantur.

"Ya bilang aja kalau kita kembar, dan lo merantau, pas kebetulan pulang. Gampang, kan?"

Arba berpikir sejenak memahami jawaban Arman yang menurutnya sangat berisiko besar bagi misi antara dia dan Arman.

"Lo yakin?" tanya Arba, ragu.

Arman mengangguk yakin.

Arman segera membalas pesan Gatot.
Lo di RS mana, Gat?"

Beberapa menit kemudian, Gatot membalas.

RS. Cinderamata.

Arba dan Arman segera melesat ke rumah sakit yang dituju. Tak perlu waktu lama, mereka sudah ada di parkiran. Setelah memarkirkan motor, Arba dan Arman segera masuk ke dalam rumah sakit.

"Lo bener-bener yakin?" tanya Arba sekali lagi.

"Yakin, Ba."

Mereka sudah ada di ruangan tempat ibu Gatot berada. Arba dan Arman celingak-celinguk, tak ada keberadaan Gatot.

"Arman?" Ada suara dari belakang, Armand an Arba menengok bersamaan.

"Eh, lo, Gat," kini Arman yang berbicara.

"Ini siapa?" tanya Gatot.

Arba sudah menduga Gatot akan bertanya demikian.

"Kenalin ini Arba, saudara kembar gue," jawab Arman santai.

"Kalian kembar?"

"Iya, gue sama Arman kembar. Tapi gue nggak kuliah di kota ini, dan gue merantau," jawab Arba.

"Oh gitu. Tapi kalian bener-bener mirip banget." Gatot terkekeh. Mungkin menyembunyikan kesedihan dalam relung hatinya.

"Iya, kan kembar identik, Gat, " jawab Arman. "Keadaan ibu lo gimana?"

"Udah stabil, Man."

"Boleh masuk ruangan, nggak?" Arman menggaruk tengkuknya.

"Belum boleh, Man. Sori, ya?"

Arman mengangguk.

"Oh, ya, kalau lo jurusan apa kuliahnya?" Gatot berbicara pada Arba.

"Teknik Informatika."

"Samaan dong sama Arman?"

Arba mengangguk. "Iya, tapi konsentrasi gue ke design."

"Kalau kita ke Web ya, Man?"

"Web bikin pusing. He he."
Dirasa waktu sudah mulai malam, Arba dan Arman berpamitan. Tak lupa mereka membawakan parcel berisi buah untuk ibu Gatot yang mereka beli di dekat rumah mereka.

Mereka menuju parkiran, meninggalkan rumah sakit menuju rumahnya.

Mahasiswa di balik layar(Tamat✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang