Bagian 2

330 124 98
                                    

Arman duduk di belakang sendiri sambil mendengarkan musik. Ya, pagi ini ia ada kuliah pagi. Sesekali ia memperhatikan teman-temannya yang sedang bersenda gurau. Apalah ia, ia hanya menjadi makhluk yang tak dianggap. Lebih baik ia diam saja, daripada mengajak ngobrol--tapi diacuhkan.

Beberapa saat kemudian, dosen datang dan seperti biasa, beliau menerangkan materi kuliah. Dia adalah Qori--dosen mata kuliah Algoritma dan pemrograman. Entah apa yang terjadi, Arman mengantuk dan tertidur pulas. Tak berselang lama, Qori mengetahui ada mahasiswanya yang tertidur dan ia langsung menghampirinya.

"Mas kenapa kamu tidur di kelas saya?" tanya Qori sambil mengoyang-goyangkan bahu Arman.

Arman yang sadar ada seseorang yang mengoyangkan badannya seketika langsung terbangun. Dengan muka masih mengantuk, ia langsung kaget karena ternyata pak Qori yang membangunkannya.

"Maaf, Pak," ucap Arman pada Pak Qori.

"Nggak apa. Sudah, cuci muka dulu. Jangan lama-lama," perintah Qori.

Dengan cepat, Arman meninggalkan kelas untuk mencuci mukanya dan beberapa saat ia kembali ke kelasnya dan duduk seperti semula.

"Tugas sudah saya tulis di depan. Silakan dikerjakan. Minggu depan dikumpulkan," kata Qori.

"Baik, Pak," jawab semua yang ada di kelas serempak.

"Kuliah saya akhiri." Qori membereskan barang-barang yang ia bawa dan bergegas meninggalkan kelas.

"Lo itu mau kuliah apa mau tidur?" tanya Irhas--teman Arman. Dia memang selalu bersikap seenaknya pada Arman karena dia berotak biasa-biasa saja, beda dengan dirinya.

Arman hanya diam, ia malas menanggapi. Ia akhirnya membawa tasnya keluar kelas dan pulang ke rumah sebab mata kuliah yang ia ambil hari ini hanya satu mata kuliah.

Sesampainya di rumah, ia mengetuk pintunya dan pintu dibuka oleh saudara kembarnya--Arba.

"Lo kagak kuliah, Ba?" tanya Arman pada Arba.

Arba menggeleng," gue libur, nggak ada kelas. Muka lo kenapa lecek gitu?"

Arman mengedikkan bahunya.
"Gue kagak apa," jawab Arman berbohong. Jujur, ia masih kesal dengan perkataan Irhas.

"Lo bohong, 'kan?" Arba menghampiri saudaranya dan merangkulnya.

Arman akhirnya mengangguk. "Hari ini gue kesel banget, Ba," gumam Arman sambil menghela napas panjang.

"Kenapa?" Arba mengiring saudaranya untuk duduk di kursi yang berada di dekat mereka berdiri. Akhirnya mereka duduk bersebelahan.

"Pertama gue ketiduran di kelas, untung aja dosennya nggak nyuruh gue keluar kelas." Belum menyelesaikan ceritanya, Arba terkekeh.

"Lo itu, ada-ada aja." Arba menggeleng sambil terus menertawakan saudara kembarnya.

"Sama aja lo kayak temen gue yang hobinya tertawain gue." Arman mendengkus kesal.

"Bercanda, Bro," ucap Arba yang membuat Arman hanya mengangguk.

"Makan, yuk," ajak Arman bangkit dari kursi dan masuk ke dalam rumah.

"Gue udah makan. Lo aja," balas Arba yang tetap duduk di depan rumahnya.

Arman menuju meja makan. Di meja makan sudah tersedia berbagai makanan ada lele, telur goreng, rendang dan sebagainya. Ia akhirnya mengambil piring yang sudah ada dan mengambil nasi serta lauk pauknya, lalu melahapnya sampai habis.

Tak berselang lama, ibu Juli datang dan melihat anaknya sedang selesai makan.

"Udah pulang kuliah, Man?" tanya Juli pada Arman.

"Udah, Bu. Ibu dari mana?"

"Dari rumah tetangga, bantu-bantu masak di sana. Ada acara aqiqahan." Setelah menjawab pertanyaan anaknya, ia menuju dapur mencuci piring dan sebagainya.

****
"Kapan ya otak gue cerdas?" Arman bermulai pembicaraan pada saudara kembarnya yang tengah mengerjakan tugas kuliah.

Arba menengok saudara kembarnya dari meja belajar. "Mulai bahas itu lagi. Dengerin gue, ya, yang penting orang itu apa adanya."

"Tapi gue juga pengin ngerasain punya otak pintar kayak gimana, Ba." Arman menatap langit-langit kamarnya dan menghayal menjadi idola di kampusnya.

"Kalau mau pintar, belajar. Usaha tak pernah menghianati hasil," ucap Arba. "Percaya, deh.

Arman mengedikkan bahunya. "Rajin amat lo, Ba."

"Gue nggak rajin, gue cuma berusaha menjadi yang terbaik," gumam Arba sambil membereskan bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Andai gue jadi lo, Ba," ucap Arman tiba-tiba.

"Maksud lo?" Arba mengeryit tak mengerti maksud arah pembicaraan Arman.

"Gue ada ide," balas Arman, sedangkan Arba semakin tak mengerti arah pembicaraan saudaranya.

"Ya, apa?" Arba mulai malas menanggapi perkataan saudaranya yang bertele-tele.

"Gimana kalau kita tukeran. Gue jadi lo, lo jadi gue?" tawar Arman.

"Tukeran kampus?" Arba menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia mulai gagal paham dengan apa yang dibicarakan Arman.

Arman mengangguk, "iya."

"Lo udah gila? Gue nggak mau." Arba langsung menolak ajakan saudara kembarnya itu. Ia tak mau ke depannya akan ada masalah.

"Ayolah. Semester ini aja. Gue janji nggak bakal bikin hancur nilai lo. Kita bisa bagi waktu, misal di kampus lo ada UAS atau kuis, lo yang berangkat ke kampus lo," ajak Arman terus mendesak saudaranya untuk mengikuti idenya.

"Terus kalau di kampus lo yang ada UAS atau kuis?" tanya Arba, masih bingung.

"Lo yang berangkat. Plis bantuin gue, biar nilai gue bagus, Ba. Masak lo nggak mau nolongin saudara lo? Lagian jurusan kita sama." Arman mulai memelas membuat Arba tak tega melihatnya. Tapi di lain sisi, ia masih ragu, ia takut akan ketahuan dan akan berisiko untuknya dan saudara kembarnya.

"Kalau ketahuan gimana?" tanya Arba membuat Arman ikut berpikir.

"Ya jangan sampai ketahuan," ucap Arman enteng.

"Sebenarnya gue nggak yakin, tapi oke lah. Kita coba," balas Arba.

"Terima kasih. Lo emang saudara gue paling baik sedunia." Arman menatap saudara kembarnya.

"Lebay, lo. Mungkin dengan cara itu, lo nggak bakalan diejekin lagi sama temen lo." Arba tersenyum puas.

Arman mengangguk. Akhirnya recananya akan terlaksana.

"Gue bakalan kasih tahu nama teman-teman gue ke lo." Arman memegang ponselnya dan membukanya, ia membuka galeri, memperlihatkan foto teman-temannya satu kelas pada Arba.

"Gue udah hapal muka dan namanya," ucap Arba yang membuat Arman terkagum.

"Hebat lo. Sekarang lo tunjukin teman-teman lo ke gue," jawab Arman.

"Gue rasa nggak perlu, lo bakal hapal dengan sendirinya. Lagian teman-teman gue nomaden, beda-beda. Beda kayak lo, kalau lo temannya sama selama 4 tahun."

Arman mengangguk paham. "Jadi, kapan kita mulai misi ini?"

"Kapan aja, gue siap bantu," ucap Arba. "Lo atur aja gimana baiknya."

"Besok senin aja." Arman menepuk bahu saudara kembarnya yang sekarang berada di sebelahnya.

"Siap. Kalau ada risiko kita tanggung jawab sama-sama, Man," ucap Arba tersenyum senang.

"Siap. Yang penting misi kali ini dijalanin dulu. Risiko belakangan," jawab Arman tanpa pikir panjang lagi.

Arba hanya mengangguk.
***

Insya Allah update hari senin dan kamis :)

Mahasiswa di balik layar(Tamat✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang