BAGIAN 1

1.1K 31 0
                                    

Malam ini udara begitu dingin. Angin bertiup kencang membawa gumpalan kabut tebal. Langit tampak kelam tertutup awan hitam, membuat suasana terasa begitu mencekam. Keadaan malam seperti ini, membuat seluruh penduduk Desa Batu Ceper tak ada yang keluar dari rumahnya. Begitu sunyi, bagai sebuah desa mati tak berpenghuni.
Namun di dalam kegelapan yang dingin ini, tampak sesosok tubuh berjalan tergopoh-gopoh melintasi pinggiran desa. Sesekali wajahnya menoleh ke belakang, seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti. Wajahnya sukar dikenali karena ditutupi kerudung hitam yang kelihatannya sudah lusuh. Dia berjalan di antara bayang-bayang pepohonan yang tumbuh berjajar di sepanjang tepi jalan tanah berdebu.
Sosok tubuh itu berhenti sebentar setelah sampai di perempatan jalan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, kemudian kakinya kembali melangkah mengikuti jalan setapak yang membelok ke kanan. Jalan itu kecil dan berbelok-belok, juga menanjak. Namun, orang itu terus melangkah perlahan dengan kepala tertunduk. Dia kembali berhenti begitu tiba di tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan yang sedang berbunga. Angin yang berhembus kencang, menyebarkan bau harum bunga kamboja yang putih bagai kapas.
Di antara pohon-pohon kamboja itu terdapat gundukan-gundukan tanah berbatu nisan. Ternyata, tempat ini sebuah kuburan. Orang berkerudung kain lusuh itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian tatapan matanya terpaku pada sebuah makam di bawah sebatang pohon beringin tua yang besar dan berdaun lebat.
"Hm... Sepi. Saat yang tepat untukku malam ini," gumam orang itu, pelan.
Perlahan-lahan kakinya terayun mendekati makam di bawah pohon beringin itu. Dari balik kerudung kainnya, tampak sorot mata yang tajam tak berkedip menatapi gundukan tanah yang dilingkari bebatuan berlumut. Begitu dekat dengan makam tua itu, kerudungnya dibuka. Tampaklah seraut wajah yang rusak, penuh benjolan.
Rambutnya yang panjang, meriap kusut tak teratur. Pipi kanannya terkelupas, sehingga menampakkan barisan gigi yang menghitam tak beraturan letaknya. Maka, paras wajahnya pun semakin bertambah mengerikan. Beberapa saat dia berdiri mematung di dekat makam tua di bawah pohon beringin ini.
"Malam ini aku harus berhasil. Harus...!" orang itu mendesis dingin. Setelah mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, perlahan kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke di atas kepala. Lalu, dengan tiba-tiba....
"Yeaah...!" Cepat sekali tangannya dihentakkan ke arah kuburan tua di depannya. Seketika secercah cahaya kilat meluncur keluar dari kedua telapak tangannya. Begitu cahaya kilat menghantam kuburan tua itu, terdengar ledakan dahsyat menggelegar.
Glarrr...!
Orang itu melenting ke belakang, melakukan putaran beberapa kali sebelum mendarat manis di tanah berumput tebal dan basah oleh embun. Ledakan tadi membuat kuburan tua itu terbongkar. Tanah dan bebatuan berhamburan ke udara, membuat jamur raksasa yang cepat menghilang tertiup angin.
"Hik hik hik...!" orang itu tertawa terkikik. Baru saja kakinya terayun hendak mendekat, mendadak saja dari dalam kuburan itu berkelebat sebuah bayangan hitam yang langsung meluruk ke arah orang itu.
"Uts!" Untung saja tubuhnya dimiringkan ke kanan, sehingga terjangan bayangan hitam itu lewat di samping tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya ditarik kembali agar tegak, bayangan hitam itu sudah lebih cepat berbalik. Bahkan kini kembali meluruk deras menyerangnya.
"Ups! Yeaaah...!" Orang berwajah buruk itu cepat melentingkan tubuh ke udara, dan secepat kilat pula melontarkan satu pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Pukulan yang dilepaskan tepat mengenai bayangan hitam itu. Namun orang berwajah buruk itu jadi terkejut setengah mati, karena merasa seperti memukul segumpal kapas. Pukulannya berbalik arah, sehingga dia terpaksa melenting ke udara dan melakukan putaran beberapa kali. Ringan sekali kakinya mendarat di tanah.
Pada saat itu, bayangan hitam tadi sudah berbalik dan siap hendak menyerang lagi. Tapi, mendadak saja niatnya diurungkan. Wajahnya yang hitam, membuatnya sukar dikenali. Pakaiannya juga compang-camping dan berlumur lumpur. Beberapa bagian kulit tubuh-nya mengelupas. Sosok tubuh ini seakan-akan tidak berbeda jauh dengan orang berkerudung hitam itu.
"Kau rupanya, Nyai Kunti...," desis manusia aneh yang muncul dari dalam kubur itu.
Suaranya terdengar dingin dan datar tanpa tekanan sama sekali. Sorot matanya yang merah, begitu tajam menusuk. Seakan-akan ingin menembus dinding hati orang di depannya yang dikenali bernama Nyai Kunti.
"Apa maksudmu merusak tempat peristirahatanku?" tanya manusia aneh itu, masih dingin dan datar nada suaranya.
"Aku membutuhkan Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga," sahut Nyai Kunti, tegas.
"Untuk apa batu mustika itu bagimu?" tanya orang yang dipanggil Eyang Duraga lagi.
Manusia aneh itu kelihatan agak terkejut mendengar jawaban Nyai Kunti. Namun rasa keterkejutannya cepat dihilangkan, dengan menatap wanita berwajah buruk itu semakin tajam. Sedangkan Nyai Kunti tidak menjawab. Bibirnya terkatup rapat, namun sorot matanya tidak kalah tajam dibanding Eyang Duraga.
Sama sekali hatinya tidak merasa ngeri melihat raut wajah Eyang Duraga yang berlumpur dan hampir tidak memiliki daging lagi. Apalagi bau busuk yang tersebar dari tubuh laki-laki itu. Sama sekali tidak dihiraukan! Seluruh tubuh Eyang Duraga memang sudah membusuk, karena sudah terkubur puluhan tahun. Ulat-ulat kecil dan cacing-cacing tanah merubung hampir di seluruh tubuhnya yang membusuk dan mengelupas.
"Sebaiknya lupakan saja benda itu, Nyai Kunti. Benda itu hanya akan membawa malapetaka saja. Tidak ada manfaatnya sama sekali," ujar Eyang Duraga.
"Kau pikir aku bisa terpengaruh oleh ucapanmu, Eyang Duraga?" sinis kata-kata Nyai Kunti.
"Aku tidak mempengaruhimu. Kau hanya kuberitahu kalau Mustika Batu Hijau tidak ada artinya bagimu. Hanya akan membawa bencana saja. Bukan hanya buat dirimu, tapi bagi seluruh dunia. Terutama dunia persilatan. Aku rasa, kau sudah tahu, kenapa tubuhku sampai terbaring di sini selama puluhan tahun. Aku tidak ingin kau bernasib sama denganku, Nyai Kunti," bujuk Eyang Duraga.
"Tidak perlu menasihatiku, Eyang Duraga!" dengus Nyai Kunti dingin. "Berikan mustika itu, atau kau ingin merasakan mati dua kali...!"
"Rupanya iblis sudah begitu dalam merasuk dalam hatimu," desah Eyang Duraga perlahan.
"Serahkan mustika itu padaku, Eyang...!" bentak Nyai Kunti berang.
"Sayang sekali! Benda itu tidak dapat kuberikan padamu, selama hatimu masih terbalut nafsu iblis," ujar Eyang Duraga kalem.
"Keparat...! Jangan paksa aku menggunakan kekerasan, Eyang Duraga!"
"Kau sudah melakukannya, Nyai Kunti! Dan sudah kutegaskan, mustika itu tidak ada gunanya bagimu. Hanya akan menimbulkan bencana saja bagi dunia ini."
"Setan keparat..!"
Sret! Cring...!
Cepat sekali Nyai Kunti menggerakkan tangan kanannya. Dan tahu-tahu, sebilah pedang berkilatan sudah tergenggam di tangannya. Pedang itu tersilang di depan dada. Pada bagian ujungnya berwarna merah bagai bernoda darah. Eyang Duraga melangkah mundur dua tindak. Kedua bola matanya terbeliak lebar melihat senjata di tangan wanita berwajah buruk itu, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kau gentar melihat pedangku ini, Eyang Duraga...?" desis Nyai Kunti mengejek.
"Dari mana kau dapatkan pusaka itu?" tanya Eyang Duraga, agak bergetar suaranya.
"Rupanya kau masih mengenali juga senjata ini. Bagus.... Pedang inilah yang membuat dirimu harus terbaring di dalam kubur. Dan dengan pedang ini pula dirimu akan terbaring kembali di dalam kuburmu, Eyang Duraga," ancam Nyai Kunti, semakin sinis nada suaranya.
"Kau pasti merampas pedang itu dari pemiliknya," dengus Eyang Duraga.
"Ha ha ha...!" Nyai Kunti hanya tertawa terbahak-bahak.
Bet! Bet!
Wanita bermuka buruk itu mengebutkan pedang di tangannya dua kali. Seketika terlihat kilatan cahaya membias saat pedang itu bergerak cepat di depan dada Nyai Kunti. Tampak Eyang Duraga terkesiap melihat kilatan cahaya dari pedang itu. Kakinya langsung bergeser dua langkah ke belakang.
"Kau pasti ingin tahu, bagaimana aku memperoleh pedang ini, bukan...?" ujar Nyai Kunti. Dingin dan sinis nada suaranya.
Eyang Duraga diam saja. Namun sorot matanya masih tetap tajam mengamati setiap gerak perempuan bermuka buruk ini. Hatinya selalu terkesiap jika Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Setiap kali pedang itu bergerak, selalu menimbulkan kilatan cahaya yang menyilaukan mata. Walaupun hanya sekejapan saja, namun sudah membuat darah Eyang Duraga mendesir.
"Pendekar Pedang Kilat memang tangguh, dan sulit dicari tandingannya. Tapi dia terlalu bodoh dan mudah diperdaya. Sehingga, mudah sekali aku membuatnya tidak berdaya," ujar Nyai Kunti kalem.
"Kau meracuninya...?" tebak Eyang Duraga langsung.
"Ha ha ha...!" lagi-lagi Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.
"Kau benar-benar iblis, Nyai Kunti! Kau wanita berhati iblis...!" desis Eyang Duraga geram.
"Ha ha ha....! Kenapa kau marah, Eyang Duraga? Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena orang yang mengalahkanmu sekarang telah mati."
"Kami bertarung secara jujur dan jantan. Aku tidak mendendam, bahkan bangga bisa kalah oleh seorang pendekar ternama dan berkepandaian lebih tinggi. Tidak seperti kau...! Licik! Pengecut..!" geram Eyang Duraga.
"Ha ha ha...!"
Wuk...!
"Uts!"
Belum lagi lenyap suara tawanya, mendadak Nyai Kunti melompat menerjang Eyang Duraga sambil mengebutkan pedang. Namun cepat sekali gerakan Eyang Duraga menghindar. Dengan hanya memiringkan tubuh sedikit saja, tusukan pedang wanita berwajah buruk itu berhasil dielakkan. Eyang Duraga cepat menggeser kaki ke samping beberapa langkah. Karena angin tusukan pedang itu terasa panas sekali. Bahkan tubuhnya sempat menggeletar. Disadari, sedikit saja terkena pedang itu akan berakibat parah.
"Hiyaaat..!" Nyai Kunti kembali menyerang. Pedangnya disabetkan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Eyang Duraga yang paling peka dan mematikan. Beberapa kali ujung pedang itu hampir menyentuh tubuh Eyang Duraga. Namun laki-laki bertubuh busuk yang sudah terkubur puluhan tahun itu, masih mampu menghindari. Bahkan beberapa kali sempat melakukan serangan balasan.
Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Mereka bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat. Begitu cepatnya jurus-jurus yang dimainkan, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebatan saling sambar dan diiringi kilatan cahaya dari pedang Nyai Kunti.
"Cukup, Nyai Kunti...!" seru Eyang Duraga tiba-tiba, seraya melompat mundur, keluar dari ajang pertempuran. Manis sekali gerakan Eyang Duraga. Kemudian kakinya mendarat tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Mereka kini berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar tiga batang tombak. Eyang Duraga meng-edarkan pandangan ke sekeliling sejenak. Sekitar tempat ini begitu berantakan bagai terlanda badai. Pohon-pohon bertumbangan. Bahkan beberapa kuburan terbongkar menganga. Tampak di sekitar mereka tulang-tulang tengkorak manusia berserakan. Eyang Duraga mendesis geram melihat kuburan ini jadi berantakan tidak karuan. Kembali ditatapnya Nyai Kunti dengan tajam.
"Kau hancurkan tempat suci ini, Nyai Kunti," desis Eyang Duraga bergumam pelan.
"Semua ini tidak akan terjadi bila kau bersedia menyerahkan mustika itu," dengus Nyai Kunti, dingin.
"Kau tidak akan memperolehnya, Nyai Kunti."
"Hhh! Lihat saja...!" Wuk!
Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Dari ujung pedang itu meluncur secercah cahaya kilat dengan deras sekali. Eyang Duraga tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara, melakukan putaran dua kali. Maka kini dia berhasil menghindari kilat yang meluncur dari ujung pedang wanita bermuka buruk itu. Dan baru saja Eyang Duraga menjejakkan kakinya di tanah, cepat sekali Nyai Kunti menyerang sambil membabatkan pedang ke arah leher. Hampir saja ujung pedang wanita berwajah buruk itu membabat leher, kalau saja Eyang Duraga tidak cepat menarik kepala ke belakang.
"Yeaaah...!" Begitu serangannya tidak membawa hasil, Nyai Kunti cepat menyerang kembali. Kaki kanannya bergerak cepat mengarah ke pinggang lawan. Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu tak dapat lagi dihindari.
Beg!
"Akh...!" Eyang Duraga menjerit agak tertahan. Laki-laki yang tubuhnya sudah membusuk itu terhuyung-huyung ke samping.
Dan belum juga keseimbangan tubuhnya dapat dikendalikan, mendadak saja Nyai Kunti kembali menyerang dahsyat. Pedangnya berkelebat cepat mengincar dada Eyang Duraga.
Bet!
"Uts!" Cepat Eyang Duraga menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya masih kalah cepat. Karena, dia juga harus menahan tubuhnya agar tetap seimbang, berpijak pada kedua kakinya. Tak pelak lagi, ujung pedang Nyai Kunti merobek kulit dada laki-laki tua bertubuh busuk itu.
"Akh...!" Eyang Duraga memekik keras agak tertahan.
Kembali Eyang Duraga terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya. Aneh.... Tubuh yang sudah membusuk itu masih juga mengeluarkan darah! Meskipun, darah itu berwarna hitam dan berbau tidak sedap. Nyai Kunti cepat melompat mundur, karena tidak tahan mencium bau yang begitu tajam menusuk hidungnya. Rasanya, seluruh isi perutnya bagai bergolak hendak keluar.
Sementara Eyang Duraga semakin limbung. Darah terus mengalir keluar dari dadanya yang tergores ujung pedang Nyai Kunti. Tangannya menunjuk wanita itu. Bibirnya bergetar, namun sedikit pun tak ada suara yang keluar. Sinar matanya mendadak saja meredup nanar. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung dan limbung bagai pohon tua yang hampir roboh tertiup angin.
"Ke..., keparat kau..., Kunti...," desis Eyang Duraga terpatah-patah suaranya.
"Ha ha ha...!" Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.
Bruk!
Belum sempat Eyang Duraga mengeluarkan kata-kata lagi, tubuhnya sudah ambruk ke tanah. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Suara tawa Nyai Kunti semakin keras terbahak-bahak. Pedangnya segera dimasukkan kembali ke dalam warangka yang tersembunyi di balik jubahnya yang panjang.
Sebentar tubuh Eyang Duraga yang tergeletak tak berkutik lagi diamati. Seakan-akan ingin dipastikan kalau laki-laki tua yang sebenarnya sudah mati puluhan tahun itu benar-benar tidak akan bangkit lagi. Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu memeriksa seluruh tubuh Eyang Duraga. Dia jadi mendengus kesal, karena apa yang dicarinya tidak didapati pada diri laki-laki tua yang tubuhnya mengelupas membusuk itu.
"Huh!" Sambil mendengus kesal, Nyai Kunti menendang tubuh Eyang Duraga. Sebentar dirayapi sekitarnya.
Tampak semburat cahaya jingga mulai membayang di ufuk Timur. Sejak tadi ayam jantan memang sudah terdengar berkokok. Malah burung-burung pun sudah ramai berkicau. Saat ini pagi memang sudah datang menjelang, dan sebentar lagi matahari akan datang menerangi belahan bumi ini.
Pandangan mata Nyai Kunti terpaku pada bekas kuburan tua yang terbongkar di bawah pohon beringin besar. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri kuburan tua itu. Dia berdiri tepat di dekat lubang kuburan yang menganga lebar.
"Setan...!" dengus Nyai Kunti geram. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian di dalam kuburan itu, kecuali tanah berlumpur yang berbau tidak sedap. Nyai Kunti kembali mengalihkan perhatian pada mayat Eyang Duraga.
Sementara keadaan di sekitarnya mulai tersiram cahaya matahari pagi. Nyai Kunti kembali menghampiri mayat Eyang Duraga. Diperhatikannya sosok tubuh yang sudah membusuk itu.
"Kau tidak akan dapat memperoleh mustika itu, Nyai Kunti...."
"Heh...?!" Nyai Kunti tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara berat dan agak serak. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat dua langkah ke belakang. Suara itu jelas sekali datangnya dari mayat Eyang Duraga. Tatapan mata Nyai Kunti begitu tajam tertuju pada sosok mayat yang sudah membusuk, tergolek tidak jauh di depannya.
"Kau bisa membunuhku, Nyai Kunti. Tapi jangan harap dapat membunuh arwahku. Kau tidak akan memiliki mustika itu, dan jangan harap dapat memperolehnya. Mustika itu sudah kuberikan pada orang yang pantas memilikinya," suara Eyang Duraga kembali terdengar.
"Keparat kau, Duraga...!" dengus Nyai Kunti menggeram marah.
"Hih...!" Dengan kemarahan meluap, Nyai Kunti menendang mayat Eyang Duraga hingga masuk kembali ke dalam lubang kuburnya. Seketika terjadi satu keajaiban. Kuburan yang terbongkar menganga, mendadak saja bergerak menutup begitu mayat Eyang Duraga masuk ke dalamnya. Nyai Kunti melompat tiga tindak ke belakang.
"Ha ha ha...!" terdengar tawa keras yang menggelegar.
"Aku tahu, siapa orang yang kau maksud, Eyang Duraga. Huh! Kau pikir aku bodoh, bisa ditipu begitu saja!" dengus Nyai Kunti.
Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat pergi dari situ. Dalam sekejap mata saja, bayangan wanita tua itu sudah lenyap bagai tertelan bumi. Sementara suara tawa menggelegar masih terus terdengar mengiringi kepergian wanita berwajah buruk bagai mayat hidup. Dan kini suasana di kuburan tua itu pun kembali sunyi, bagaikan tak pernah terjadi sesuatu.
Sementara Nyai Kunti sudah jauh meninggalkan kuburan tua itu. Dia terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, sehingga seakan-akan kakinya tidak menjejak tanah. Wanita berpakaian longgar serba hitam itu terus berlari menerobos Rimba Tengkorak.
"Aku tahu, di mana kau berada. Huh! Mustika Batu Hijau itu harus berada di tanganku!"

***

52. Pendekar Rajawali Sakti : Mustika Kuburan TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang