BAGIAN 5

660 30 0
                                    

Danupaksi dan Cempaka baru saja keluar dari dalam hutan ketika seekor kuda hitam berlari kencang menuju ke arah mereka. Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan ayunan langkah, dan memandang ke arah kuda hitam yang berpacu cepat bagai angin itu. Semakin dekat, semakin jelas kalau kuda hitam itu mem bawa seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi putih, dan pedangnya yang bergagang kepala burung nampak bertengger di punggungnya.
“Kakang Rangga...,” desis Cempaka gembira begitu dapat mengenali penunggang kuda hitam itu.
“Hooop...!” Penunggang kuda hitam yang ternyata memang Rangga, langsung melompat turun begitu kuda hitam tunggangannya berhenti tepat di depan Danupaksi dan Cempaka. Kuda hitam itu melenggang mendekati seonggok rumput hijau yang tumbuh subur di bawah pohon beringin yang sangat besar. Bergegas Rangga menghampiri kedua adik tirinya.
“Cempaka, ke mana saja kau?” Rangga mendahului bertanya.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Kakang,” ujar Cempaka.
Rangga melirik Danupaksi. Kening Pendekar Rajawali Sakti sedikit berkerut melihat raut wajah Danupaksi tampak lesu tak bergairah. Sementara Cempaka tahu kalau Rangga sedang memperhatikan Danupaksi. Maka dirinya bergeser ke samping.
“Ada apa, Danupaksi? Kau seperti menghadapi persoalan berat,” tegur Rangga.
“Aku tidak tahu, Kakang. Aku sendiri tidak bisa mengerti,” sahut Danupaksi lesu.
“Ada apa? Ceritakan padaku, Danupaksi,” desak Rangga lembut.
Dia bisa menduga kalau Danupaksi menyembunyikan sesuatu. Danupaksi tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada Cempaka. Sedangkan yang dilirik hanya menundukkan kepala saja. Semalam, Danupaksi sudah menceritakan semuanya pada gadis ini. Dan Cempaka sendiri jadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Dia dan Danupaksi begitu yakin kalau ancaman Eyang Duraga tidak bisa dianggap main-main. Manusia yang bangkit dari kuburnya itu memang tidak dapat dianggap enteng. Tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata. Hal itu sudah dirasakan oleh mereka berdua. Senjata mereka tak ada artinya sama sekali bagi Eyang Duraga.
“Ada apa, Danupaksi...? Cempaka...?” tanya Rangga kembali mendesak.
“Kau saja yang mengatakannya, Cempaka,” Danupaksi melempar pada adik tirinya.
“Kenapa aku...? Kau yang punya persoalan. Ceritakan saja apa adanya, Danupaksi,” elak Cempaka.
“Ada apa ini? Apa yang kalian sembunyikan?” Rangga jadi penasaran.
“Aku tidak tahu, harus memulai dari mana, Kakang. Tiba-tiba saja semuanya terjadi. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka menyangka aku yang menyimpan benda itu,” ujar Danupaksi, bernada mengeluh.
“Benda apa?” tanya Rangga ingin tahu.
“Itulah, Kakang. Aku sendiri tidak tahu, benda apa yang mereka ributkan,” sahut Danupaksi.
“Siapa mereka itu, Danupaksi?” tanya Rangga.
“Nyai Kunti dan Eyang Duraga.”
“Kau jangan main-main, Danupaksi,” desis Rangga tidak percaya dengan jawaban adik tirinya barusan.
“Aku sungguh-sungguh, Kakang. Dua kali aku bentrok dengan Nyai Kunti. Dan semalam, hampir saja bentrok dengan Eyang Duraga. Bahkan Cempaka sendiri terluka dalam olehnya. Ditambah lagi, semua prajurit penjaga pesanggrahan juga tewas di tangan Eyang Duraga,” jelas Danupaksi bersungguh-sungguh.
“Benar begitu, Cempaka?” Rangga masih tidak percaya.
Cempaka hanya mengangguk saja membenarkan semua jawaban Danupaksi. Melihat kedua adiknya tirinya begitu sungguh-sungguh, kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya Danupaksi dan Cempaka bergantian, seolah-olah ingin memastikan kalau mereka tidak main-main. Rangga tahu, siapa kedua orang yang baru saja disebutkan namanya oleh Danupaksi.
Nyai Kunti adalah seorang tokoh kosen rimba persilatan. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, dan sukar dicari tandingannya. Terutama pengetahuannya mengenai segala racun. Sungguh tak ada bandingannya di dunia ini. Semua senjata yang dipergunakan wanita tua berwajah buruk itu mengandung racun yang sangat mematikan. Tapi yang membuat Rangga tidak habis mengerti, adalah tentang Eyang Duraga.
Semua orang tahu kalau Eyang Duraga sudah terkubur puluhan tahun. Dia tewas karena bertarung melawan Pendekar Pedang Kilat. Makamnya ada di pinggiran Desa Batu Ceper. Rasanya memang sukar dipercaya kalau Eyang Duraga yang sudah meninggal puluhan tahun bisa bangkit kembali. Bahkan menemui Danupaksi, serta membunuh puluhan prajurit penjaga pesanggrahan.
“Eyang Duraga datang ke pesanggrahan untuk mencari Kakang Danupaksi. Dia menginginkan kakang Danupaksi agar mengembalikan barang titipannya, Kakang,” jelas Cempaka yang sejak tadi diam saja.
“Dia datang ke pesanggrahan...?” Rangga jadi tercenung.
“Ya! Tidak lama setelah Kakang masuk ke dalam bilik semadi. Aku dan Pandan Wangi serta semua prajurit penjaga pesanggrahan mencoba menghadangnya untuk masuk. Setelah kami bertarung, dia seperti memancing kami. Dia kemudian berlari, lalu aku, Pandan Wangi, dan semua prajurit mengejarnya. Kemudian, kami bertarung kembali. Dan, semua prajurit tewas. Bahkan Pandan Wangi menghilang begitu saja,” jelas Cempaka memberi tahu.
“Aku waktu itu langsung bersemadi, dan tak mendengar ada keributan. Tapi...,” Rangga menghentikan ucapannya. Dia kembali tercenung seperti kebingungan sendiri.
“Tapi kenapa, Kakang?” tanya Cempaka ingin tahu.
“Aneh.... Aku seperti dibangunkan dari semadi. Dan begitu bangun dari semadi, aku tidak melihat ada seorang pun di pesanggrahan. Aku sudah mencari ke mana-mana, bahkan sampai kembali ke istana,” pelan sekali suara Rangga.
Danupaksi dan Cempaka saling berpandangan bingung. Terutama Danupaksi yang sudah memeriksa semua kamar di pesanggrahan. Pantas saja dia tidak menemukan Pendekar Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat, mereka jadi kebingungan dan terdiam membisu. Semua peristiwa yang dialami sungguh luar biasa, dan membuat mereka tidak mengerti.
“Lalu, dimana Pandan Wangi sekarang, Kakang?” tanya Cempaka, teringat Pandan Wangi.
“Ada di istana,” sahut Rangga.
“Aku menemukannya terluka. Dia tergeletak tidak jauh dari perbatasan.”
“Di istana...? Apa Pandan Wangi tidak cerita kalau dia habis bertarung...?” Cempaka jadi terkejut.
Rangga menggeleng. “Keadaannya masih lemah. Belum bisa ditanya”
“Aneh...,” gumam Cempaka. “Apa sebenarnya yang sedang terjadi...?” Pertanyaan Cempaka yang bergumam, tidak ada yang bisa menjawab.
Rangga sendiri jadi kebingungan tidak mengerti. Mereka hanya bisa saling berpandangan, tanpa dapat menemukan jawaban dari semua peristiwa yang dialami. Peristiwa aneh yang baru pertama kali ini terjadi.
“Sebaiknya kalian kembali saja ke istana,” ujar Rangga setelah cukup lama terdiam.
“Kakang mau ke mana?” tanya Danupaksi.
“Aku akan kembali ke pesanggrahan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sana,” sahut Rangga.
Rangga cepat melompat naik ke punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah cepat kudanya menuju pesanggrahan. Sejenak Cempaka dan Danupaksi berpandangan, lalu sama-sama mengangkat pundak. Kini mereka kembali meneruskan perjalanan menuju istana, tanpa berkata-kata lagi.

52. Pendekar Rajawali Sakti : Mustika Kuburan TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang