Siang itu udara di sekitar Kotaraja Karang Setra terasa sejuk. Angin bertiup sepoi-sepoi membawa kesejukan bagai di pegunungan. Langit tampak cerah dan jernih, tanpa awan sedikit pun menggantung menghalangi cahaya matahari. Keadaan alam yang indah ini tidak disia-siakan sepasang anak manusia yang berada di taman belakang Istana Karang Setra.
Sebuah taman indah yang ditata apik dan sedap dipandang mata. Bunga-bunga tampak segar, bermekaran menyebarkan keharuman yang menggelitik kuping hidung. Burung-burung tampak riang bernyanyi di atas dahan. Sepasang burung merpati putih, tampak isyik memadu kasih di sebatang dahan pohon yang cukup rendah. Sepasang manusia di dekatnya memandangi, seakan-akan iri melihat kemesraan dua merpati itu.
“Terkadang, aku suka berpikir. Alangkah senangnya jadi burung. Begitu bebas, penuh kasih sayang, tanpa memiliki beban tanggung jawab dan tuntutan besar...,” pemuda berwajah tampan menggumam perlahan, seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.
“Kau menyesal diciptakan jadi manusia, Kakang?” lembut sekali nada suara gadis cantik di sampingnya.
Pemuda tampan berbaju putih tanpa lengan itu berpaling. Seketika bibirnya tersenyum memandang gadis cantik berbaju biru di sampingnya. Sedangkan gadis itu membalas dengan senyum manis sekali. Mereka jadi melupakan sepasang merpati putih yang masih asyik bermesraan. Seakan-akan merpati itu juga tidak peduli dengan dua anak manusia di dekatnya.
“Aku justru bangga karena diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna di mayapada ini, Pandan,” ujar pemuda berbaju rompi putih itu.
“Tapi, kenapa kau berkata seperti tadi? Kau seperti iri melihat kebebasan merpati itu,” tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan.
Gadis itu memang Pandan Wangi sedangkan pemuda yang berdiri di sampingnya, tak lain adalah Rangga. Dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Saat ini mereka memang berada di Istana Karang Setra, tanah kelahiran pemuda berbaju rompi putih itu.
“Sifat manusia yang paling utama adalah iri, Pandan. Walaupun hanya sedikit, setiap manusia pasti memilikinya. Entah terhadap sesama manusia, atau terhadap hewan maupun alam lingkungannya. Aku iri pada sepasang merpati itu. Karena, mereka bisa bebas bermesraan, tanpa harus takut pada segala macam peraturan dan tetek bengek lainnya,” ujar Rangga mencoba berfilsafat.
“Kenapa harus iri...? Apa kau merasa dilarang bermesraan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Entahlah...,” desah Rangga, perlahan.
Pandan Wangi tersenyum. Arah pembicaraan itu sudah bisa ditangkapnya. Gadis itu tahu kalau Rangga sebenarnya ingin mengungkapkan isi hatinya. Memang disadari, mereka sudah cukup lama berhubungan. Dan mereka juga sudah saling memahami akan diri dan watak masing-masing. Tapi ada suatu jarak yang sangat besar, yang membatasi mereka. Dan rasanya, sukar sekali menyatukan jarak itu. Mereka sama-sama menyadari, terlalu sulit untuk bisa bersatu dalam satu ikatan suci. Jurang pemisah yang membentang di antara mereka begitu besar dan dalam. Dan semua itu sudah sama-sama disadari.
“Kakang, kau percaya terhadap takdir...?” tanya Pandan Wangi, setelah cukup lama terdiam.
“Takdir...? Tentu saja aku percaya, Pandan. Kenapa kau tanyakan itu?” Rangga balik bertanya.
“Aku percaya penuh pada takdir. Dan semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi suratan takdir yang tidak bisa dielakkan lagi. Termasuk juga jalan hidup kita. Kau menyesali perjalanan hidup kita, Kakang...?” pelan dan tenang sekali suara Pandan Wangi.
“Aku tidak percaya kita akan selamanya begini, Pandan. Satu saat nanti, semua ini pasti akan berakhir,” tegas Rangga, langsung dapat memahami maksud kata-kata Pandan Wangi.
“Seandainya aku bukan keturunan bangsawan atau brahmana?” tanya Pandan Wangi.
“Paling tidak, kau keturunan seorang ksatria, Pandan.”
“Jika tidak...?”
“Ah! Sudahlah...,” elak Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin lagi membicarakan persoalan ini.
Sampai saat ini, pemuda itu masih tetap mencari keterangan asal-usul Pandan Wangi yang sebenarnya. Memang sulit, karena orang-orang yang mengenal Pandan Wangi sejak kecil sudah tidak ada. Dan lagi orang tua gadis ini masih samar-samar. Belum ada satu kepastian mengenai asal-usulnya, meskipun ada beberapa keterangan kalau Pandan Wangi sebenarnya keturunan seorang pendekar besar.
Tapi ada juga yang bilang, kalau gadis itu keturunan seorang pertapa yang masuk dalam golongan brahmana. Dan sebenarnya, Rangga selalu mengelak dan tidak ingin membicarakan masalah ini. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menyetujui segala macam penggolongan.
Dia tidak ingin peduli dengan segala macam penggolongan dan derajat seseorang. Tapi adat warisan leluhur sudah menggariskan demikian, sehingga tidak bisa ditentangnya. Rangga menyadari kalau dirinya keturunan bangsawan berdarah biru. Dan sebagai keturunan bangsawan, dia tidak bisa sembarangan mencari pendamping hidup. Terlebih lagi di Karang Setra ini, dia seorang raja yang tentu tidak sedikit peraturan harus ditaati, termasuk dalam hal pendamping hidup.
“Aku akan ke pesanggrahan. Kau mau ikut, Pandan?” Rangga membelokkan arah pembicaraan.
“Cempaka ikut?” tanya Pandan Wangi.
“Kalau Cempaka mau,” sahut Rangga.
“Kapan berangkat?”
“Sekarang.”
“Akan kupanggil Cempaka dulu, Kakang.”
Tanpa meminta persetujuan lagi, Pandan Wangi bergegas melangkah meninggalkan taman ini. Rangga memandangi sampai gadis itu lenyap dari pandangan. Perlahan kemudian, kakinya baru diayunkan meninggalkan taman ini. Matanya sempat melirik pada sepasang merpati yang masih bercengkerama di atas dahan. Entah kenapa, dia jadi tersenyum melihat kemesraan merpati itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
52. Pendekar Rajawali Sakti : Mustika Kuburan Tua
AçãoSerial ke 52. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.