Bagaikan kilat, Rangga menebaskan Pedang Naga Geni ke arah leher Nyai Kunti. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Nyai Kunti tak dapat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu dia masih berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan...
Cras!
"Aaakh...!" Nyai Kunti menjerit melengking tinggi.
"Yeaaah...!" Cepat Rangga memindahkan Pedang Naga Geni ke tangan kiri. Lalu dengan tangan kanannya, Pendekar Rajawali Sakti menggedor dada Nyai Kunti disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat mengenai bagian tengah dada perempuan tua berjubah hitam itu.
Bruk!
Nyai Kunti ambruk menghantam tanah dengan keras sekali. Darah muncrat keluar dari lehernya yang tertebas hampir buntung. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi. Rangga menarik napas panjang. Saat itu Pandan Wangi berlari-lari menghampiri. Sebentar Rangga memandangi gadis itu, lalu menyerahkkan Pedang Naga Geni padanya. Pandan Wangi menerima, langsung dimasukkan ke dalam warangka di punggung.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan hidupku," ucap Rangga perlahan.
"Aku hanya melihat pertarungan tadi tidak seimbang, Kakang," sahut Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, kemudian menghampiri mayat Nyai Kunti dan mengambil Pedang Kilat dari tangan wanita tua berjubah hitam itu. Sebentar Rangga memandangi pedang itu. Sekilas memang hampir mirip pedangnya sendiri. Hanya bentuk gagangnya saja yang berbeda. Juga, cahayanya sangat jauh berbeda.
"Masih ada satu lagi yang harus kukerjakan...," gumam Rangga agak mendesis.
"Apa lagi yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Menyempurnakan Eyang Duraga," sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri kuburan Eyang Duraga. Sedangkan Pedang Kilat tergenggam erat di tangan kanannya. Dia berhenti setelah jaraknya dengan kuburan tua itu tinggal beberapa langkah lagi.
"Maaf. Aku terpaksa harus membunuhmu, Eyang Duraga," ujar Rangga perlahan. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti mengangkat Pedang Kilat, mendadak saja...
Glarrr...!
"Heh...?!" Rangga terkejut setengah mati. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur ke belakang tiga langkah, tepat ketika kuburan tua itu terbongkar.
Terbongkarnya kuburan itu sampai menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar, menggetarkan jantung. Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja dari dalam kuburan tua yang terbongkar melesat sebuah bayangan hitam yang langsung menyerang.
"Hait...!" Cepat Rangga memiringkan tubuh ke kanan, sehingga terjangan bayangan hitam itu lewat di sampingnya. Rangga cepat memutar tubuhnya sambil menyilangkan Pedang Kilat di depan dada. Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri seorang laki-laki tua dengan tubuh sudah rusak dan membusuk.
"Kau benar-benar ingin mampus, berani mengusik ketenanganku!" bentak laki-laki tua bertubuh rusak membusuk yang tak lain adalah Eyang Duraga.
Bet! Slap..!
Cepat sekali Eyang Duraga mengebutkan tangan kanannya ke depan. Pada saat itu, dari telapak tangan kanannya meluncur secercah cahaya merah bagaikan api yang meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!" Rangga cepat sekali melentingkan tubuh ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Sinar merah bagaikan api itu lewat sedikit di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali Eyang Duraga melepaskan serangan, namun tak satu pun yang berhasil mengenai Pendekar Rajawali Sakti. Kilatan-kilatan cahaya merah berkelebat, berbaur dengan ledakan-ledakan dahsyat menggelegar. Sementara Rangga berjumpalitan di udara menghindari sinar-sinar merah yang mencecar tiada henti.
"Gila! Kalau begini terus, bisa habis napasku...!" dengus Rangga dalam hati.
"Akan kucoba kehebatan Pedang Kilat ini..."
Tepat ketika secercah cahaya merah meluncur deras ke arahnya, Rangga cepat meluruk turun. Seketika pedangnya dikibaskan ke arah sinar merah itu, sambil mengerahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya.
"Yeaaah...!"
Glarrr!
"Heh...?!" Bukan hanya Rangga saja yang terkejut. Bahkan Eyang Duraga pun tersentak kaget begitu sinar merah yang dilepaskan berbenturan dengan Pedang Kilat yang tergenggam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Ledakan dahsyat langsung membuyarkan cahaya merah itu. Sedangkan Rangga yang cepat menyadari kedahsyatan Pedang Kilat di tangannya, jadi tersenyum gembira. Kini dia tidak perlu lagi susah-susah berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan Eyang Duraga. Sebab, ternyata Pedang Kilat ini mampu meredam serangan-serangan itu dengan baik sekali. Menyadari akan keampuhan pedang ini, semangat Rangga kembali bangkit.
"Hiyaaa...!" Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat mendahului melakukan penyerangan. Secepat kilat pula pedang di tangannya dikibaskan beberapa kali ke arah tubuh Eyang Duraga. Serangan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, membuat Eyang Duraga jadi terpana sesaat.
"Hait..!" Cepat Eyang Duraga meliukkan tubuhnya, menghindari setiap tebasan Pedang Kilat yang mengincar bagian-bagian tubuh yang teramat peka. Beberapa kali ujung pedang itu hampir mengenai tubuhnya. Namun, Eyang Duraga masih dapat menghindar dengan manis sekali.
"Pedang Kilat ini benar-benar membuatku gerah! Huh...!" dengus Eyang Duraga dalam hati. Eyang Duraga semakin kewalahan menghadapi serangan serangan yang dilancarkan Rangga. Hingga akhirnya, dia terpaksa melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Sungguh hampir tidak dipercaya kalau Pedang Kilat di tangan Rangga jadi lebih dahsyat dan berbahaya sekali.
"Pedang Kilat memang bukan lagi tandinganku. Tapi cobalah kau hadapi pemakai Mustika Batu Hijau," ujar Eyang Duraga. Selesai berkata demikian, Eyang Duraga bersiul nyaring. Seketika itu juga, dari atas sebatang pohon yang sangat tinggi, tepatnya dekat kuburan tua yang terbongkar, meluncur cepat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang pemuda tampan. Bajunya putih ketat, hingga membentuk tubuh yang kekar dan tegap berisi.
"Danupaksi...," desis Rangga mengenali pemuda itu.
"Maaf, aku terpaksa menghalangimu menyakiti guruku, Kakang Rangga," ujar Danupaksi dingin.
"Guru...?!"
"Sekarang Eyang Duraga guruku!" Jiwa Danupaksi memang telah terpengaruh Mustika Batu Hijau. Karena mustika itu milik Eyang Duraga maka Danupaksi menganggap guru pada laki-laki bagai mayat hidup itu. Danupaksi langsung menggeser kakinya dan siap hendak menyerang.
Rangga tahu, seandainya Danupaksi sampai menyerangnya, akan berakibat parah bagi pemuda itu sendiri. Karena, tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Rangga. Tapi karena pengaruh Mustika Batu Hijau, hal itu tidak dihiraukan Danupaksi. Bahkan kemungkinan tingkat kepandaian pemuda itu jadi meningkat jauh.
"Pandan, hadapi dia...!" seru Rangga teringat pada Pandan Wangi.
"Baik, Kakang...!" sahut Pandan Wangi segera melompat menghadang Danupaksi.
"Minggir kau, Pandan!" bentak Danupaksi lantang.
"Maaf, aku sudah diperintah untuk menghadangmu," ujar Pandan Wangi kalem.
"Perempuan keparat...! Yeaaah...!" Danupaksi menggeram dahsyat, lalu cepat melesat sambil melepaskan beberapa pukulan secara beruntun. Namun Pandan Wangi yang sudah siap sejak tadi, manis sekali dapat menghindari setiap serangan yang dilancarkan pemuda itu.
Sementara Rangga kembali memusatkan perhatian pada Eyang Duraga. Penghadangan Pandan Wangi pada Danupaksi, membuat Eyang Duraga jadi geram. Dia juga gelisah, karena Rangga sudah melangkah mendekatinya. Eyang Duraga menyadari, kalau dalam beberapa gebrakan lagi, dirinya pasti kalah oleh pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan benteng yang semula diharapkan, kini tengah sibuk menghadapi gempuran si Kipas Maut.
"Apa maksudmu mengambil Danupaksi sebagai sasaran bersemayamnya Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga?" tanya Rangga.
"Huh! Karena ini memang cita-citaku, sebelum aku mampus di tangan Pendekar Pedang Kilat. Itulah sebabnya, aku minta pada pendekar tolol itu agar menguburkan Mutiara Batu Hijau bersama jasadku. Dengan demikian, aku tidak jadi mati walau jasadku tetap terpendam! Ha ha ha.... Lalu, aku menunggu seseorang yang kupikir pantas untuk dititipkan mustika itu, sebelum Nyai Kunti datang mengusikku. Dan ternyata, Danupaksi yang datang ke kuburanku. Dengan demikian, selama Mustika Batu hijau belum musnah, aku masih bisa tetap hidup. Ha ha ha...," jelas Eyang Duraga, seraya tertawa terbahak-bahak.
Rangga kini baru mengerti, mengapa Eyang Duraga selalu bisa hidup kembali. Ternyata walaupun Pedang Kilat bisa menebas tubuh Eyang Duraga, dan dia tidak memegang Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga akan tetap hidup. Selama, mustika itu belum dimusnahkan. Dan sebenarnya, keabadian hidup di dunialah yang dicari Eyang Duraga. Walaupun dia mengakui telah kalah oleh Pendekar Pedang Kilat dalam pertarungan secara jujur, namun jiwa iblisnya menuntut untuk terus hidup di dunia.
"Akan kusempurnakan kematianmu, Eyang Duraga. Agar kau tenang di alam abadimu," kata Rangga mencoba memberi pengertian.
"Phuih! Tidak ada seorang pun yang bisa memutuskan hubunganku dengan dunia!" dengus Eyang Duraga.
"Kenapa kau tetap bertahan, Eyang Duraga? Mayapada ini bukan lagi tempat berpijakmu. Kau sudah memiliki dunia lain yang lebih tenang dan abadi."
"Jangan mengguruiku, Bocah! Jika kau mampu, hadapi aku...!" tantang Eyang Duraga. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Eyang Duraga. Dia harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, meskipun sudah menyadari tidak akan mampu. Terlebih lagi sekarang ini Rangga memegang Pedang Kilat yang paling ditakuti Eyang Duraga.
"Hiyaaat...!" Eyang Duraga benar-benar sudah tidak peduli lagi, dan cepat mendahului menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dua pukulan dahsyat menggeledek dilepaskan laki-laki bagai mayat hidup itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil mengelakkannya.
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Eyang Duraga berlangsung sengit sekali. Namun kali ini jelas terlihat kalau Eyang Duraga seperti selalu ingin mendahului. Begitu bernafsunya hendak menjatuhkan Rangga, sehingga melalaikan pertahanan diri sendiri. Kelalaian ini tentu saja diketahui Rangga. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti belum mendapat kesempatan yang tepat untuk memanfaatkannya.
Hanya satu yang menjadi tujuan utama Pendekar Rajawali Sakti. Dan tampaknya, tujuannya tidak semudah yang diperkirakan. Dia harus bisa menusukkan Pedang Kilat tepat di jantung Eyang Duraga, dan meninggalkan pedang itu di dadanya. Dengan begitu, Eyang Duraga tidak akan pernah bangkit kembali. Dan yang terpenting, Rangga harus dapat memusnahkan Mustika Batu Hijau yang kini tampaknya telah bersemayam pada diri Danupaksi. Dan Rangga menyadari kalau itu tidak mudah.
Pendekar Rajawali Sakti harus bergerak cepat selagi mustika itu keluar hendak berpindah ke dalam tubuh orang lain lagi. Sedangkan dia tidak tahu, bagaimana benda itu bisa berpindah dari orang yang satu, kepada orang lain lagi.
"Yeaaah...!"
"Uts!" Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan Eyang Duraga bersarang di dada Rangga. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti segera memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan saat itu juga, Rangga meliukkan tubuhnya ke depan. Lalu dengan cepat tubuhnya ditarik ke belakang. Dan...
"Yeaaah...!" Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras. Pedangnya tertuju lurus ke arah dada laki-laki tua yang seharusnya terbujur di dalam kuburnya. Serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat luar biasa, sehingga Eyang Duraga tidak sempat lagi menyadari.
Crab! Bresss!
"Aaa...!" Eyang Duraga menjerit keras melengking tinggi. Pedang Kilat telah menembus dadanya, sampai ke punggung. Rangga cepat melepaskan genggamannya pada gagang pedang itu. Bergegas tubuhnya melompat mundur sejauh lima langkah. Sementara Eyang Duraga terhuyung-huyung limbung sambil memandangi Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dialaminya kini.
"Kau..., kau..., hebat..."
Bruk!
Hanya itu saja yang dapat keluar dari mulut Eyang Duraga. Karena, laki-laki tua bertubuh busuk itu langsung ambruk, tak berkutik lagi. Pada saat itu...
"Aaa...!"
"Heh...?!" Rangga terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat begitu melihat Danupaksi menggelepar-gelepar di tanah sambil menjerit-jerit dan meraung kesakitan. Rangga mendekati Pandan Wangi yang tampak kebingungan.
"Kenapa dia...?" tanya Rangga seperti untuk diri-nya sendiri.
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia begitu. Padahal, aku tidak memukulnya," sahut Pandan Wangi masih bernada bingung.
Tiba-tiba.... Slap!
"Oh...?!"
"Pinjam pedangmu, Pandan. Yeaaah...!" Sret! Cring!
Bagaikan kilat, Rangga melompat sambil menyambar pedang Pandan Wangi dari dalam warangkanya. Saat itu dari ubun-ubun kepala Danupaksi melesat keluar sebuah benda bulat seperti mata kucing yang memancarkan cahaya hijau terang. Benda itu meluncur ke arah mayat Eyang Duraga. Dengan pikiran untung-untungan, Pendekar Rajawali Sakti berniat menghancurkan benda yang diperkirakan Mustika Batu Hijau.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar terjadi begitu Rangga membabatkan Pedang Naga Geni ke arah benda bersinar hijau itu. Dan tampak Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Pemuda berbaju rompi putih itu jatuh bergulingan di tanah.
"Kakang...! Kau tidak apa-apa...?" seru Pandan Wangi seraya bergegas menghampiri.
"Hhh...! Tidak...," sahut Rangga mendesah. Rangga bangkit berdiri seraya memandangi cahaya hijau yang memendar, kemudian perlahan-lahan menghilang. Usahanya ternyata berhasil. Pada saat itu terdengar rintihan lirih. Rangga dan Pandan Wangi secara bersamaan berpaling. Tampak Danupaksi tengah bangkit berdiri seraya memegangi kepalanya.
"Oh, apa yang terjadi...?" Danupaksi bertanya kebingungan.
"Tidak apa-apa, Danupaksi. Semuanya sudah selesai," jelas Pandan Wangi, kasihan melihat Danupaksi sangat kebingungan.
"Suiiit..!" Pendekar Rajawali Sakti bersiul panjang melengking. Nadanya aneh. Dua kali dia bersiul nyaring. Kemudian setelah cukup lama menunggu, terlihat sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik itu kini semakin jelas terlihat bentuknya.
"Khraghk...!"
"Rajawali, ke sini!" seru Rangga seraya melambaikan tangannya. Burung rajawali raksasa cepat meluruk turun, dan mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, Pandan. Ikut aku ke Lembah Bangkai," ajak Rangga sambil meloncat ke punggung Rajawali Putih. "Aku ingin mengambil Pedang Rajawali Sakti."
Pandan Wangi pun bergegas naik ke punggung burung rajawali raksasa itu.
"Eh, Kakang, tunggu...! Jelaskan padaku, apa yang telah terjadi terhadap diriku...?" bergegas Danupaksi mengejar.
"Kau pulang saja dulu ke istana," ujar Rangga. "Nanti kujelaskan di sana." Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang, lalu mengerdipkan sebelah matanya pada Pandan Wangi yang berada di belakangnya, dan gadis itu hanya tersenyum-senyum saja.
Sedangkan Danupaksi terus mendesak, karena benar-benar bingung dan tidak tahu semua yang telah terjadi pada dirinya. Namun Rangga dan Pandan Wangi sudah melambung tinggi di angkasa bersama Rajawali Putih.***
TAMAT
![](https://img.wattpad.com/cover/211051758-288-k558950.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
52. Pendekar Rajawali Sakti : Mustika Kuburan Tua
AcciónSerial ke 52. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.