Senja terus merayap semakin jauh. Keremangan mulai menjalar menyelimuti seluruh permukaan bumi Karang Setra. Sementara Danupaksi dan Ki Lintuk terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju arah yang ditunjuk seorang prajurit yang terluka, dan berada di ambang kematian. Mereka sudah cukup jauh meninggalkan pesanggrahan, tapi tak juga menemukan sesuatu.
Namun begitu melewati sebuah sungai kecil yang berair dangkal, mendadak saja Danupaksi menghentikan larinya. Kedua mata orang itu terbeliak lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Ki Lintuk sendiri sampai terbengong dengan mata terbeliak dan mulut terbuka lebar. Untuk beberapa saat lamanya, mereka terpaku memandangi mayat-mayat berseragam prajurit yang bergelimpangan di depannya. Ada sekitar tiga puluh orang prajurit bergelimpangan tak bernyawa lagi.
"Biadab...!" desis Danupaksi menggeram.
"Iblis mana yang melakukan ini...?" desis Ki Lintuk bagai bertanya pada dirinya sendiri.
Tak ada seorang pun dari prajurit itu yang masih hidup. Bau anyir darah menyeruak, menusuk hidung. Beberapa di antaranya ada yang terbujur masuk ke dalam sungai, sehingga airnya jadi berwarna merah. Danupaksi serasa ingin muntah melihat mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Mereka adalah para prajurit yang bertugas menjaga pesanggrahan.
Srek!
Tiba-tiba saja terdengar suara semak tergeser. Danupaksi cepat berpaling menatap gerumbul semak yang bergerak-gerak. Cepat tubuhnya melompat menerobos ke dalam semak itu.
"Cempaka...!" sentak Danupaksi terkejut melihat seorang gadis berbaju merah muda tengah berusaha keluar dari dalam semak.
Bergegas Danupaksi menggotong tubuh gadis itu, dan membawanya keluar. Sedangkan Ki Lintuk cepat-cepat menghampiri. Danupaksi membaringkan Cempaka di bawah pohon yang cukup rindang. Darah tampak mengotori baju dan wajah gadis itu. Dengan tangan agak bergetar, Danupaksi membersihkan darah yang mengotori wajah Cempaka.
"Apa yang terjadi di sini, Cempaka?" tanya Danupaksi.
"Di mana Kakang Rangga dan Pandan Wangi?" Masih banyak pertanyaan yang meluncur bagai hujan dari bibir Danupaksi, tapi Cempaka tak mampu menjawab semua pertanyaan itu.
Napasnya tersengal satu-satu. Bibirnya bergetar, namun tak ada suara sedikit pun yang terucapkan. Danupaksi tampak kebingungan melihat keadaan adik tirinya ini. Sementara Ki Lintuk juga tak dapat berbuat sesuatu.
"Ki! Cepatlah kembali ke istana. Bawa beberapa prajurit dan amankan daerah ini. Bawa juga seorang tabib istana," perintah Danupaksi.
"Baik, Den," sahut Ki Lintuk.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Ki Lintuk bergegas melompat naik ke punggung seekor kuda yang ada di tempat ini. Cepat-cepat kuda itu digebah. Bagaikan kesetanan, Ki Lintuk menggebah cepat kuda itu menuju Kotaraja Karang Setra. Sementara Danupaksi menggotong Cempaka, dan membawanya pergi. Kakinya melangkah cepat menuju pesanggrahan.
"Kau harus pulih kembali, Cempaka. Kau harus menceritakan apa yang terjadi di sini," ujar Danupaksi berbisik pelan.
"Kakang..., berhenti dulu...," ujar Cempaka, lirih dan agak tersendat suaranya.
"Oh! Kau bisa bicara...?" Danupaksi menghentikan langkahnya. Cempaka diturunkan dari gendongannya, dan diletakkan menyandar pada sebongkah batu yang cukup besar. Cempaka menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Sebentar jalan napasnya diatur agar bisa tenang bicara. Sesekali mulutnya meringis sambil memegangi dadanya.
"Apa yang terjadi, Cempaka?" tanya Danupaksi setelah melihat Cempaka bisa bemapas lebih tenang.
"Jangan kembali ke pesanggrahan, Danupaksi," ujar Cempaka pelan. Begitu lirih suaranya, hampir tak terdengar.
"Kenapa?" tanya Danupaksi. "Dia.... Dia... Uhk! Dia tangguh sekali, Danupaksi. Dia sudah menguasai pesanggrahan. Oh...!"
"Siapa dia, Cempaka?" tanya Danupaksi.
Pikiran Danupaksi langsung tertuju pada wanita bermuka buruk yang dikenali Ki Lintuk sebagai Nyai Kunti. Wanita yang hampir saja membuatnya mati di pinggir jurang. Wanita bermuka buruk itu mencari sebuah benda yang sama sekali tidak diketahuinya. Tapi, Danupaksi belum bisa menduga lebih jauh. Terlalu singkat jarak waktu antara kejadian di tempat ini dengan semua yang dialaminya. Memang tidak mungkin satu orang berada pada dua tempat dalam waktu yang singkat. Bahkan hampir bersamaan.
"Mengerikan sekali, Danupaksi. Dia seperti mayat yang bangkit dari dalam kubur," ujar Cempaka agak bergidik.
"Mayat hidup...?" Danupaksi terlongo.
"Mungkinkah...? Ah, tidak! Tidak mungkin...!" Danupaksi menggeleng-gelengkan kepala, membantah semua yang tiba-tiba saja timbul di kepalanya. Dia tidak mau percaya kalau Nyai Kunti bisa membantai begitu banyak prajurit, bahkan melukai Cempaka. Dan herannya, sampai saat ini tidak diketahui, di mana Rangga dan Pandan Wangi berada. Sedangkan pada saat itu, Nyai Kunti tengah bertarung melawan pemuda ini. Tapi, wajah Nyai Kunti.... Memang lebih mirip wajah mayat yang sudah lama terkubur di dalam tanah.
"Kapan semua ini terjadi, Cempaka?" tanya Danupaksi.
"Baru saja."
"Baru...?"
![](https://img.wattpad.com/cover/211051758-288-k558950.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
52. Pendekar Rajawali Sakti : Mustika Kuburan Tua
AçãoSerial ke 52. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.