Bagian 3

133 6 0
                                    


Robi memperhatikan sebuah mesjid. Disana sudah banyak orang-orang berdatangan untuk mendengarkan kajian.

Dengan segenap hati ia keluar dari mobil dan melangkah menuju mesjid. Langkahnya lamban, karena ia baru pertama kali menginjakkan kaki dikajian.

"Assalamu'alaikum, Mas?" Robi tidak jadi melepas sepatunya. Ia menoleh pada pria muda dengan baju koko hitam yang menyapanya tadi.

"Wa'alaikumussalam,"

"Hayuk, Mas, kita barengan masuknya," tawarnya. Robi mengangguk kikuk.

Kini ia sudah berada didalam mesjid. Ia sudah mengenal pria muda yang disampaikannya. Zahwan namanya.

Satu jam telah berlalu. Robi memutuskan untuk pulang. Tausiah yang disampaikan oleh ustadz Abu Ubaidah itu sangatlah mengetuk hatinya.

"Mengejar cintanya Allah?" Batinnya ketika mengingat materi yang disampaikan tadi.

"Kenapa, Mas?" Tanya Zahwan.

Robi tersenyum. "Tidak apa-apa."

Zahwan mengangguk. "Mas mau di
mesjid saja, ya?"

Robi menggeleng. "Pulang bareng Mas saja. Mas anter kamu sampai rumah," tawarnya.

Zahwan menggeleng dan mulai menuju pintu keluar dan disusul oleh Robi.

"Tidak perlu, Mas. Saya pulang sama kakak saya!"

Robi mengangguk. Matanya celingukan memperhatikan sekitar halaman mesjid.

Hatinya bergetar ketika melihat sepasang suami istri dengan bayi mungil yang dalam gendongan.

Bukan hanya itu saja, bahkan ia dapat menebak usia mereka masih muda sudah beristri.

Bergandengan tangan tanpa malu karena sudah halal.

"Mas kenapa, Mas?" Tanya Zahwan memperhatikan Robi yang hanya diam ditempat.

"Mereka masih terlalu muda untuk membangun rumah tangga," gumamnya yang masih bisa Zahwan dengar.

Zahwan terkekeh. "Yang ikut kajian salaf rata-rata banyak yang nikah muda, Mas, kalau sudah datang jodohnya!"

Robi menoleh. "Apa mereka pacaran sebelum menikah?"

Lagi-lagi Zahwan terkekeh. "Yang ada setelah menikah mereka pacaran, Mas. Mas tahu kan pacaran itu haram dalam islam?"

Robi bergeming. Sebenarnya hatinya membenarkan bahwa 'pacaran adalah haram'.

"Mas sudah punya calon?"

Robi mengangguk.

"Pacar atau calon?"

Robi diam sejenak. "Pacar,"

Zahwan mengangguk. "Disegerakan untuk melanjutkan kejenjang pernikahan, Mas. Kalau lama-lama bisa timbul fitnah."

Lagi-lagi Robi bergeming.

"Tapi kalau diantara kalian belum ada yang siap, ya tinggalkan, kalau tidak ingin ditinggalkan ya halalkan!" Tuturnya panjang lebar.

"Astaghfirullah! Maafkan saya, Mas."

Robi tersenyum simpul. "Tidak apa-apa. Terimakasih atas nasihat baiknya!"

Zahwan balas senyum.

"Kalau begitu saya pulang duluan, Mas. Kakak saya sudah menunggu!"

"Tidak ingin pulang bareng, Mas?" Tanya Robi.

Zahwan tersenyum. "Terimakasih, Mas. Assalamu'alaikum?"

"Wa'alaikumussalam!"

Akhirnya Robi memutuskan untuk pulang setelah ia puas mengamati pasangan-pasangan yang telah halal.

Tiba-tiba ia teringat dengan ucapan Zahwan. Hatinya bergetar membenarkan.

"Astaghfirullah!" Ucapnya sembari menangis.

"Ampuni aku ya Allah! Aku yang telah melanggar perintah-Mu!"

Saat ini, ia benar-benar menangis. Menangis karena dosa yang telah ia lakukan sejak lama. Pacaran. Pacaran yang jelas-jelas Allah haramkan.

Ditinggal Nikah ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang