Bagian 7

172 9 1
                                    


Malam itu, tepat setelah Isya', Marwah pulang dengan perasaan was-was, karena sejak tadi siang perasaannya tidak enak.

Setiba didepan rumah, ia keheranan karena banyaknya tetangga yang berdatangan.

Ia masih terdiam ditempat, menyaksikan beberapa orang yang sedang berbincang dan beberapa orang yang terlihat bersedih.

Namun, hatinya dibuat sakit ketika mendengar tangisan sang ibu. Yaa, ia tahu betul suara sang ibu. Hajar namanya.

"Marwah?"

Marwah bergeming.

"Yaa bibi?" Jedanya. "Sedang ada acara apa, Bi?"

Fatimah dengan segera memeluk keponakannya. Marwah terdiam. Berharap ini hanyalah mimpi.

"Ayah kamu?"

Dengan cepat ia melepaskan pelukan Fatimah dan berlari kedalam rumah.

Seketika kakinya melemas, air mata jatuh membasahi cadar hitamnya, Zahwan mendekati sang kakak. Untuk sekedar menenangkan.

"Yang wajahnya ditutup dengan kain, Ayah?" Tanyanya entah pada siapa. Namun tidak ada satupun yang menjawab, karena mereka pun berduka.

Zahwan berbisik. "Ayah sudah kembali,"

Marwah menggeleng. Ia tatap mata sang adik yang memerah.

"Katakan pada kakak bahwa ini hanya mimpi!" Tegasnya.

Kali ini Zahwan yang menggeleng. "Kalau sudah takdir Allah tidak ada yang namanya mimpi dalam kejadian ini, kak!"

Seketika ia terduduk, tidak mampu menahan beban yang harus ia hadapi. Zahwan pun terduduk untuk mengawas sang kakak yang akan pingsan.

"Pagi tadi ayah sempat bilang sama kakak bahwa ayah mau ketoko dan akan pulang cepat!" Gumamnya.

Jika boleh dibilang, bagi Zahwan sekarang Marwah seperti jasad hidup tanpa ruh. Pandangannya kosong sempurna.

"Terima takdir Allah, kak,"

Sekali lagi Marwah menggeleng. Spontan ia memegang erat kerah baju koko sang adik.

"Ayah masih baik-baik saja tadi pagi. Sepertinya kematian ayah bukan karena sakitnya, melainkan ..."

"Kecelakaan!" Jawab Fatimah cepat.

Marwah semakin terkejut. Ia menatap tajam kearah sang bibi.

"Puas kamu! Ayah kamu kecelakaan! Kecelakaan setelah dia membelikan untuk kamu dan Zahwan jam tangan ini!!" Tegas Fatimah namun air matanya terus jatuh.

Marwah mengambil dua buah jam tangan itu. Kembar. Satu untuknya dan satu untuk Zahwan.

Tiba-tiba kepalanya pusing dan pandangannya gelap.

Dengan segera Zahwan mengangkat tubuh sang kakak dan membawanya kekamar.

"Maafkan Zahwan, kak? Seharusnya tadi Zahwan bersama ayah, kalau saja ayah tidak menolaknya!"

Ucapnya menatap wajah sayu sang kakak. Ia lepaskan cadar Marwah dan sedikit ia dekatkan minyak telon kehidung agar Marwah sadar.

Zahwan menangis. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh tanpa permisi.

Ia pergi meninggalkan Marwah dan memutuskan untuk pergi kehalaman belakang rumah.

Sekedar untuk menangis. Menangis dalam diam.

"Allah? Takdir-Mu kah? Engkau panggil ayah terlebih dahulu? Maka tempatkan ia ditempat yang terbaik!!"

Ia bersimpuh diantara remang-remangnya malam. Angin menjadi saksi bisu menyaksikannya betapa dirinya tidak mampu menopang kehidupan dunia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ditinggal Nikah ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang