Bagian 5

122 8 0
                                    


Sore itu, tepatnya ba'da Ashar, Zahwan menunggu kedatangan Robi. Ia duduk diteras mesjid sembari membaca buku Tauhid Jilid Tiga.

"Kenapa kamu belum masuk, Zahwan?" Tanya seorang perempuan bercadar maroon.

Zahwan menoleh. "Masih nunggu Mas Robi, kak! Yang kemarin aku ceritakan ke kakak!"

Yaa, perempuan itu adalah kakak Zahwan. Marwah sapaannya.

"Masih dijalan mungkin,"

Zahwan mengangguk. "Iya kak, masih dijalan beliau katanya."

Marwah duduk disamping sang adik. "Zahwan? Kakak bingung bagaimana dapatkan uang untuk berobat ummi,"

Zahwan menatap kedua bola mata Marwah. Disana ia sudah menangkap bahwa Marwah benar-benar sedih.

"Uang hasil jualan kue kita belum cukup." Sambungnya.

Zahwan menarik nafas dalam-dalam. "Kita yang sabar kak. InsyaaAllah semuanya sudah Allah gariskan untuk kita. Kita hanya terus usaha dan berdoa."

Marwah mengangguk. "Kamu harus tetap kuliah ya? Jangan ada niat untuk berhenti. Terlalu sayang karena kamu sudah semester tiga!"

Zahwan terdiam sejenak. "Aku tidak mau menyusahkan kakak!"

Marwah terkekeh. "Siapa yang bilang kalau kamu menyusahkan kakak?"

Zahwan bungkam.

Marwah memegang bahu sang adik. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Zahwan sembilan belas tahun sedangkan Marwah duapuluh tahun.

"Kakak ingin kamu sampai S1, karena kakak hanya sampai D2. Memang gelar tidak menjamin masuk surga, tapi dengan itu kita mudah untuk mencari pekerjaan!"

Lagi-lagi Zahwan terdiam.

"Duapuluh menit lagi Ashar, kakak gabung bareng ummahat dulu."

Lalu Marwah melenggang pergi meninggalkan Zahwan yang masih diam ditempat.

"Assalamu'alaikum?"

Zahwan terkejut. Ia menoleh pada Robi yang tersenyum simpul.

"Wa'alaikumussalam, Mas?"

Robi duduk disampingnya. "Maaf, Mas kelamaan datangnya!"

Zahwan tersenyum. "Tidak apa-apa toh, Mas. Kajiannya juga belum mulai,"

Robi bersender pada dinding. Zahwan memperhatikan wajah kusut Robi.

"Kenapa, Mas? Ada masalah?"

Robi bergeming.

"Kalau ada masalah bicarakan baik-baik, Mas. Tidak baik kalau kita hanya diam saja."

Robi menoleh. Ia memperhatikan Zahwan dari samping. Sepertinya Zahwan lebih faham akan kehidupan.

"Apa jadinya kalau kita mengajak menikah tapi perempuannya belum siap?"

Tampak Zahwan berpikir sejenak. "Menikah itu ibadah, Mas. Niat baik tidak boleh ditunda-tunda bagi mereka yang sudah mampu. Kalau yang Mas tanyakan ini jalan satu-satunya ya tinggalkan. Karena fitnah itu lebih dahsyat."

Robi mengangguk mengerti.

"Mas sangat mencintai Shofa!"

Zahwan mengangguk. "Mas salah besar. Yang wajib Mas cintai itu Allah terlebih dahulu. Karena mencintai manusia berujung kekecewaan, sedangkan mencintai Allah berujung kebahagiaan!"

"Tapi Mas tidak bisa berpisah dengannya!"

"Mas tidak bisa berpisah dengannya? Bukankah kita semua akan mati dan berpisah dengan dunia yang fana ini? Mas sadar? Bahwa harta, uang, jabatan, keluarga adalah barang titipan? Ingat Mas? Tidak ada yang kekal didunia ini? Hidup karena Allah bukan karena orang-orang yang Mas sayangi ataupun Mas cintai!"

Entah kenapa Zahwan benar-benar kehilangan akal menasehati seseorang yang baru ia kenal.

"Maaf Mas, saya sudah lancang! Jujur, saya tidak suka mendengar kata-kata Mas yang sangat mencintai kekasih Mas sendiri. Seakan-akan Allah Mas nomor duakan!"

Robi bergeming. Hatinya benar-benar terketuk dengan nasihat pria yang lebih muda darinya.

Jujur, ia merasa malu.

Ditinggal Nikah ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang