- 3 -

111 67 23
                                    

     Hanna bukanlah gadis manis dan polos. Ia memang cantik, tak sedikit yang mengejar-ngejar Hanna. Bisa dibilang Hanna ini sedikit nakal. Ingat, hanya sedikit, tak banyak. Ia hanya nakal sebagai senang-senang saja tapi tak pernah sampai merusak dirinya.

     Hanna sudah beberapa kali berpacaran dengan laki-laki yang lumayan populer. Ia hanya ingin memacari lelaki yang di incarnya saja. Hanna pandai mencari perhatian kepada laki-laki yang sudah ia tandai sebagai target. Hanna tak mendekatinya secara terang-terangan, tetapi Hanna membuat seakan-akan mereka bertemu secara tak sengaja. Dan Hanna juga sering memberikan perhatian-perhatian kecil hingga membuat sang target menjadi kebawa perasaan.

     Hanna tidak suka dengan lelaki yang selalu saja mengejarnya, ia merasa risih. Tak segan-segan Hanna akan berbicara kasar bila ia benar-benar kesal pada lelaki yang selalu mengejarnya. Hanna juga tipe orang yang mudah bosan. Entahlah, Hanna sendiri juga tidak tahu. Ia selalu saja berhasil mendapati targetnya, namun itu tak pernah bertahan lama. Hanna mudah bosan dengan targetnya sendiri, dan pada akhirnya sifatnya akan berubah menjadi cuek.

      Dan sekarang target Hanna adalah William Tyson, seorang mahasiswa baru dikampusnya. Hanna tersenyum saat matanya menangkap sosok William di toko buku yang sedang ia kunjungi saat ini. Ya, saat ini Hanna sedang berada di toko buku, dan siapa sangka ia malah bertemu dengan William. Kira-kira Hanna harus bagaimana? Pura-pura menabraknya lalu terkejut bertemu dengan William? Sepertinya tidak. Hanna akan langsung menyapanya saja.

     Hanna menghampiri William dengan anggun sambil menyisir rambutnya menggunakan jari-jari tangan. Lalu menyiapkan senyum terbaik miliknya.

     "William?" Sapa Hanna sambil tersenyum.

     William menengok ketika telinganya mendengar suara yang memanggilnya. Keningnya berkerut saat melihat Hanna. Sepertinya William sedikit lupa dengan Hanna.

     "Kau.."

     "Hanna." Potong Hanna memberi tahu.

     "Oh ya, teman sekelasku bukan? Maaf aku sedikit lupa." Ucap William sambil tersenyum.

     "Tidak apa-apa." Jawab Hanna sambil tersenyum juga.

     Manis. Satu kata dalam benak Hanna saat melihat senyum William.

     "Kau sedang mencari buku apa?" Tanya Hanna.

     "Aku sedang mencari buku tentang bisnis yang disuruh oleh Pak Eric."

     Hanna menganggukkan kepalanya mengerti. "Setiap anak memang harus mengumpulkan buku tentang bisnis ke Pak Eric. Apa kau memang tertarik dengan bisnis?"

     "Iya, aku memang menyukai dunia perbisnisan dari dulu." Jawab William sambil tersenyum lagi.

     "Oh begitu."

     "Bagaimana denganmu?"

     "Aku mengambil program studi bisnis karena perintah ayahku. Sebenarnya aku lebih menyukai psikologi." Jelas Hanna.

     "Lalu apa kau tahu apa yang kupikirkan?" Tanya William bercanda.

     "Hahaha apa kau pikir aku seorang peramal?"

     William hanya mengangkat bahunya, "Entah."

     "Kau jangan asal memilih buku. Pak Eric suka buku yang penjelasannya lengkap. Dan semakin tebal buku yang kau kumpulkan maka semakin besar point yang ia kasih. Ingin kubantu?" Tawar Hanna.

     "Boleh, jika kau tidak keberatan."

     "Tentu saja tidak."

     Hanna mulai ikut membantu William mencari buku yang ingin dibelinya. Matanya menjelajahi rak buku yang tinggi dan lebar itu.

     "Saat itu aku mengumpulkan buku karya Harry Thomson, isinya sangat lengkap dan bukunya juga lumayan tebal. Aku mendapatkan point 95 dari Pak Eric." Jelas Hanna.

     Mata Hanna menangkap sebuah buku yang ia cari. Hanna berusaha untuk mengambil buku di barisan kedua dari atas, namun tubuhnya tidak sampai. Akhirnya ia berniat untuk meminta bantuan kepada William.

     "Wil, tolong kau ambilkan buku itu. Aku tidak sampai." Ucap Hanna sambil menunjuk ke atas.

     "Yang ini?" Tanya William dan ingin mengambil buku tersebut.

     "Bukan Wil, yang itu."

     "Ini?"

     "Bukan. Yang itu."

     Tanpa sengaja Hanna memandangi wajah William yang sangat dekat itu. Seketika Hanna merasa ada yang aneh yang belum pernah ia rasakan. Sesuatu yang menyenangkan.

     "Yang mana Hanna?"

     Tiba-tiba saja William menengok ke arah Hanna. Membuat jarak mereka semakin menipis dan hidung mereka hampir bersentuhan. Bisa Hanna rasakan nafas William yang wangi Mint menerpa wajahnya.

     "Mengapa kau bodoh sekali Wil?" Tanya Hanna lalu kemudian tertawa. Ia sengaja mengalihkan perhatian dengan sebuah candaan. Dan William pun ikut tertawa.

     "Kau menunjuknya kurang jelas hingga aku tak mengerti buku mana yang kau maksud."

     "Oke. Sekarang lihat tanganku. Itu buku yang kumaksud. Buku tebal yang bersampul biru." Tunjuk Hanna lagi.

     "Ini?"

     "Yap."

     William pun mengambil buku itu dan melihat covernya sebentar.

     "Oke, aku beli yang ini. Kau sebenarnya ingin membeli buku apa?" Tanya William.

     "Oh ya, aku hampir lupa. Aku sedang ingin mencari buku tentang psikologi."

     "Boleh kutemani?"

     "Tentu saja." Jawab Hanna sambil tersenyum.

     Hanna berjalan menuju rak yang berisi buku psikologi, diikuti dengan William dibelakangnya. Ketika sudah sampai Hanna mulai serius mencari buku yang akan dibelinya.

     "Sejak kapan kau menyukai tentang psikologi?" Tanya William.

     "Sejak berumur 7 tahun."

     "Sekecil itu? Kau belajar darimana?"

     "Diajarkan oleh ibuku. Ibuku adalah seorang psikiater."

     "Ohh. Ibumu hebat sekali. Lain kali aku akan menemuinya. Haha"

     Hanna langsung menatap William yang sedang tertawa itu lalu tersenyum miris, "Ibuku sudah tiada, Wil."

     "Oh, maafkan aku."

     "Tak apa." Jawab Hanna sambil tersenyum.

     Seketika suasana menjadi sedikit canggung. William merasa tak enak dengan Hanna. Sedangkan Hanna berusaha menyibukkan diri dengan membaca cover sebuah buku yang akan dipilihnya.

     Ketika sudah menetapkan buku yang akan dibeli Hanna, Hanna pun berbicara kepada William untuk memecahkan keheningan. "Ayo, aku sudah menemukan bukunya."

     Hanna dan William pun berjalan ke arah kasir. Ketika Hanna ingin membayarnya, William justru telah membayarnya lebih dulu. Dan berbisik, "Sebagai tanda terima kasihku"

     Hanna kembali menahan nafasnya saat William berbisik di telinganya. Dan perasaan aneh itu pun kembali muncul.

     "Ayo." Ajak William keluar toko. Dan memberikan bukunya ke Hanna.

     "Kau langsung pulang?" Tanya William. 

     "Iya." Jawab Hanna singkat. 

     "Apa kau sedang terburu-buru? Bagaimana kalau kita mengobrol sebentar?"

     Hanna tersenyum, ia paham betul apa mau William. "Wil, kau suka es krim?"

***

Vote and comment for me.
Thx;*

My Love WerewolvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang