Bagian 1

21 1 1
                                    

Kuangkat pergelangan tanganku yang berada tepat 10 cm di bawah daguku, aku menatap jam tangan yang masih setia bersamaku selama beberapa tahun terakhir ini. Aku sangat menyukainya, sebab jam tangan ini sungguh tak pernah rewel dan tak pernah meminta agar diantar ke tukang service jam tangan lokal yang bertempat di dalam pasar Karisa.

Sudah satu jam, bus antar kota yang kutunggu belum juga terlihat moncong besarnya. Aku menarik napasku sangat berat dan berusaha menahan sabar. Sebab sampai detik ini, kendaraan bongsor itu belum ada tanda-tanda kemunculannya. Jangankan moncong besarnya, bahkan bunyi klakson teloletnya saja yang pandai memekakkan telinga pun belum menyentuh gendang telingaku.

"Duh... sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanyaku pada diri sendiri.

Jujur kuakui, hal yang paling aku benci adalah menunggu, apalagi menunggu sesuatu yang tak pasti. Tetapi, aku masih berharap lebih, semoga saja bus kota ini tak sebejat para lelaki yang suka memberi harapan palsu dan membuat perempuan menungguinya sampai dungu.

Setelah lama mondar-mandir di pinggir jalan poros Jeneponto, dari kejauhan, Alhamdulillah, aku melihat sebuah bus melaju dengan pelan dan anggun ke arahku. Tanpa sadar bibirku membentuk seulas senyum. Aku bersorak sorai dalam hati, rasa jengkel yang sejak tadi menjangkitiku, kini sudah hilang tak berbekas.

Setelah menaiki bus, kembali aku sibuk mencari tempat duduk yang kosong. Aku menjadi salah tingkah karena bus sudah melaju sementara aku belum juga mendapat tempat duduk.

Tuhan...selamatkan aku dari situasi ini. Pintaku dalam hati. Sesekali aku melihat sekeliling.

Aku sudah mulai putus asa dan memilih untuk tetap berdiri,

Belum lama setelah itu, kulihat seorang pemuda dari jok belakang melambaikan tangan ke arahku.
"Dik, duduk sini" tawar pemuda tersebut seraya berdiri hendak memberiku jalan. Tidak sampai di situ saja, pemuda tersebut meraih ransel yang ada di bahuku dan membantuku meletakkannya di bawah kursi yang kutempati, sementara tas tanganku kubiarkan begitu saja di pangkuanku.

Aku tersenyum pada pemuda tersebut tanda terima kasih sambil duduk di sampingnya. Ternyata kursi kosong itu untuk temannya yang batal mengikuti perjalanan bersamanya. Napasku masih tersengal-sengal, peluh tak henti bercucuran di keningku, kutarik napasku pelan untuk menenangkan pikiran, aku tak peduli dengan pemuda di sampingku yang terus saja memperhatikan gerak-gerikku.

"Minum ini, dik" tawar pemuda itu sambil menyodorkan sebotol air mineral padaku. Spontan aku menatapnya dengan senyum malu, ia pasti tahu bahwa saat ini aku sangat kehausan.

"Terima kasih" ucapku seraya meraih air di genggamannya yang dia tawarkan padaku.

"Ini" katanya lagi seraya memberiku sebuah sapu tangan, aku heran mengapa ia memberikan sapu tangannya padaku. Aku mengernyitkan kening tak mengerti.

"Adik keringatan, mungkin ini bisa membantu" jelasnya padaku.

"Oh... maaf" kataku dengan senyum salah tingkah karena baru mengerti maksudnya.

"Adik mau kemana?" tanya pemuda tersebut yang mungkin usianya 2 tahun lebih tua dariku.

Penampilannya sederhana, ia hanya mengenakan baju kaos oblong berwarna putih, bertuliskan "Ini tanahmu, disini kau bukan turis" kutipan dari Widji Tukul, sementara untuk bawahannya, dia hanya mengenakan celana jeans. Walaupun usia kami terpaut 2 tahun tapi sikapnya sangat sopan terhadapku. Aku berdecap-decap kagum.

"Ke Makassar, kak" Jawabku tanpa berani menatapnya, aku merasa canggung.

"Kuliah? Semester berapa?" Tanyanya lagi.
"Semester 4, kak" Jawabku seraya menarik nafas pelan untuk menghilangkan rasa canggung. Kulihat dia hanya mengangguk-angguk.

"Jurusan Peradilan Agama, yah?" Tebaknya. Aku heran, dari mana dia bisa tahu? Kembali aku mengernyitkan kening. Pemuda itu tersenyum sambil memandang tas tanganku, aku mengikuti pandangannya. Aku tertawa kecil, ternyata ia tahu dari gantungan tas tanganku.

Entah mengapa aku merasa nyaman dengan pemuda tersebut. Dari awal, dia memberikan kesan yang baik.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang saat tanpa sengaja mata kami saling bertemu. Ada hawa panas yang menjalar di sekujur tubuhku. "Ada apa ini?" tanyaku dalam hati.

Aku menarik napas berusaha mengendalikan perasaanku yang tak menentu. Aku merasa ruangan dalam bus sudah mulai panas, aku mulai gerah. Mungkinkah itu hanya perasaanku saja? Tak henti kukipas wajahku dengan tangan sembari berusaha membuka jendela mobil agar udara bisa masuk, tapi ternyata ada masalah dengan jendela mobil ini. Aku sulit membukanya. Di saat aku sudah menyerah, tiba-tiba pemuda di sampingku meraih tanganku.

"Biar ku bantu" Tawarnya, masih dengan senyumnya yang khas. Kutarik tanganku kembali dan membiarkan pemuda itu membuka jendelanya. Hanya satu tarikan, jendela itu sudah terbuka. Aku jadi malu sendiri karena bahkan hal receh seperti itu pun tak mampu kulakukan.

"Sudah merasa baikan?" tanyanya seraya menarik diri kembali duduk di kursinya.
"Iya, terima kasih" ucapku. Kulihat pemuda itu bersandar sambil memejamkan matanya.

Apa dia membantuku karena aku telah mengganggu tidurnya? tanyaku dalam hati.
"Maaf karena mengganggu tidur kakak" ucapku lagi. Kulihat dia membuka matanya dengan pelan.
"Oh tidak. Aku sama sekali tak terganggu, aku hanya ingin membantumu" katanya seraya tersenyum padaku kemudian kembali memejamkan matanya.

"Nama adik siapa?" tanyanya tiba-tiba masih dengan mata terpejam. Aku sedikit terkejut karena kupikir dia sudah tertidur.
"Nur" Jawabku spontan.
"Cahaya, nama yang bagus." Ucapnya seraya tersenyum dengan mata tetap terpejam. Aku juga ikut tersenyum menanggapi ucapannya yang kuanggap sekadar basa- basi.

"Ichsan" Ucapnya. Kini ia sudah memperbaiki posisi duduknya. Dia kembali menatapku.
"Panggil aku Ichsan" Jelasnya.

Sebenarnya aku memang berniat menanyakan namanya, tapi ternyata dia memperkenalkan diri sebelum aku menanyakannya. Aku kembali mengangguk. "Ichsan..." ucapku lirih menyebut namanya.

Kusandarkan kepalaku seraya menikmati pemandangan dari balik jendela, semilir angin menambah suasana sejuk. Mataku terasa berat, aku merasa mulai mengantuk, ditambah dengan rasa lelah yang menyerangku. Atau mungkin hanya karena terbawa suasana? Entahlah, karena selang beberapa kemudian, aku pun terlelap.

***

🤭

Kau Yang Tak Sempat KusapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang