Bagian 2

5 0 0
                                    

AKU tersadar ketika sebuah goncangan terjadi. Kubuka mata dengan pelan seraya berusaha mengumpulkan ingatanku kembali.
Aku sangat terkejut saat kusadari kepalaku bersandar di bahu Kak Ichsan.
Segera aku menarik diri menjauh darinya dengan reaksi salah tingkah.

"Maaf." Ucapku dengan senyum kikuk. "Apa yang sedang terjadi, kak?" tanyaku.
"Tanpa sengaja bus menabrak pembatas jalan, jadi sementara bus sedang diperbaiki karena ada sedikit masalah." Jelasnya.
Aku hanya mengangguk, pantas saja aku merasakan sebuah goncangan, ternyata ada kecelakaan kecil.

"Tak ingin turun?" Tanya Kak Ichsan.
Aku berdiri dan memperhatikan sekelilingku. Hanya beberapa orang yang tinggal di dalam bus, termasuk aku dan Kak Ichsan.

Kulihat banyak di antara penumpang yang memanfaatkan situasi ini untuk beristirahat, bahkan ada yang mengabadikan pemandangan yang ada di sekelilingnya.

Aku pun tak ingin melewatkan kesempatan ini, kuraih ponsel-ku, namun aku sangat kecewa saat kuraih dan kutekan tombol powernya, ada bunyi tut..tut... yang disertai dengan sebuah peringatan di layar. Low battery. Aku menghela nafas berat sekaligus kesal.

"Sini, biar kufoto." Sebuah suara yang tak asing membuatku terkejut. Ternyata Kak Ichsan sudah berada di sampingku dan mengambil gambarku dengan ponsel-nya.

"Ayo foto bersama." Ajaknya.
Sebelum sempat kusetujui, dia sudah meraih bahuku dan menarikku mendekat. Jantungku berdebar asing, "ini debaran yang tak biasa" batinku.

Aku berusaha menolak tapi dia justru meminta kepada penumpang lainnya untuk mengambil gambar kami.

Setelah keinginannya tercapai, aku berjalan menjauh tapi tiba-tiba dia memanggilku.

"Nur..." teriaknya.
Aku menoleh kearahnya beriringan dengan bunyi "Klik" dari ponsel-nya. Aku sempat melongoh seraya mendengus jengkel.

"Curang!" kataku sambil mendekatinya. Dia tak merespon.
"Sini Handphonenya" Pintaku dan dia hanya tertawa cekikikan.

"Kenapa? Ingin menghapusnya? Takkan ku biarkan." Katanya seraya menghindariku.

Aku berusaha mengejar. Karena Kak Ichsan bertubuh jangkung, terpaksa aku melompat untuk meraih ponsel dari tangannya yang dia ayungkan keatas.

Kak Ichsan hanya tersenyum jahil. Tanpa sengaja untuk yang kedua kalinya mata kami saling bertemu. Aku menjadi salah tingkah. Untuk menghilangkan perasaan itu, aku menarik diri dan menjauh dari Kak Ichsan.

Dari arah depan suara keras dan padat memberi perintah seperti komandan batalyon yang menyeru kepada anggotanya dengan suara yang tak tanggung-tanggung. Bila saja aku berdiri tepat di hadapannya, pastilah suaranya akan memekakkan telingaku seperti klakson bus yang suka berbunyi telolet dengan suara padat dan kasar mengusik gendang telinga.

"Ayo semuanya naik, bus akan segera berangkat, ayo.. ayo..!" Teriak pak sopir.

Mendengar instruksi pak sopir, seketika aku dan kak Ichsan beserta penumpang yang lain segera menaiki bus.

Perjalanan yang tinggal memakan waktu satu jam kulalui bersama kak Ichsan dengan banyak bercanda. Kak Ichsan lebih banyak bercerita tentang masa kecilnya dan cita-citanya menjadi seorang hakim. Ia bercerita sampai aku kembali terlelap.

***

Kau Yang Tak Sempat KusapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang