Bagian 4

2 0 0
                                    

Aku membuka kamar kosku dengan rasa tak karuan, belum bisa kulupakan insiden di mobil bus tadi. Perihal kebaikan palsu dari Kak Ichsan dan juga seluruh perhiasan yang telah raib oleh lelaki bajingan itu.

"NUR, Ibumu tadi menelpon," kata temanku saat aku tiba di kos.
"Ibuku menelpon?"
"Iya." Jawabnya.

Aku merasa seluruh tubuhku tak lagi bertenaga, aku membayangkan sebuah kengerian bila saja Ibu nanti tahu perihal musibah yang menderaku.

"Ya Tuhan, aku harus bilang apa pada ibu atas musibah yang menimpaku. Ibu pasti sangat marah karena aku telah menghilangkan perhiasan pemberiannya, bahkan buku tabungan beserta kartu ATM juga hilang. Ibu pasti kecewa karena aku tak mendengar nasehatnya agar tak percaya pada orang asing di tempat-tempat umum." Aku menarik napasku sangat berat lalu duduk terkulai lemas bersandar di dinding kamar kosku.

"Ibumu meminta agar kau menghubunginya saat tiba di kos," tambah temanku dari balik kamar mandi.

"Iya, makasih yah, Lina." Ujarku setengah berteriak agar Lina mendenganya.

Kuberanikan diri untuk menghubungi ibu, namun aku berencana untuk sementara tidak menceritakannya pada ibu, sebab aku harus memilih waktu yang tepat untuk menceritakan semua masalah ini pada Ibu.

"Assalamualaikum, Bu." Sapaku.
"Waalaikumussalam, sudah sampai, nak?"
"Iya bu, sudah." Jawabku berusaha setenang mungkin.
"Tak ada masalah, kan selama di jalan?" Tanya ibu yang membuatku terkejut.
"Ya bu, Alhamdulillah. Hanya sedikit masalah, bus yang kutumpangi sempat menabrak pembatas jalan. Tapi mobilnya tak apa-apa kok bu, aku juga sudah sampai di kos dengan selamat" Jawabku meyakinkan agar ibu tak lagi menanyakan banyak hal yang mengarah pada masalah kecurian di atas bus.

"Syukurlah, ibu sempat khawatir karena dompet dan perhiasaanmu tertinggal di rumah, ibu ingin menghubungimu tapi ponsel-mu tidak aktif." Ujarnya.

Mendengar informsi ibu, seketika tubuhku serasa membeku, lidahku terasa keluh, aku terkejut luar biasa karena yang kubayangkan selama turun dari bus adalah bagaimana agar pelaku dari pencurian segala barangku yang kusangka hilang itu bisa mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan.

"Jadi, dompet dan perhiasanku tertinggal di rumah? Lalu bagaimana dengan Kak Ichsan yang telah kutuduh sebagai pencurinya?"

Kupejamkan mataku yang juga terasa berat tertutup, ada rasa sesal merasuk dalam benakku yang sungguh membuatku tersiksa.

Semestinya aku berbahagia karena segala perhiasan, uang, dan dompet yang kukira telah ludes, kini ternyata aman-aman saja. Namun aku tak bisa berucap syukur saat ini. Aku sangat sesak menerima kenyataannya. Seolah merasa bahwa lebih baik kalau perhiasan itu benar-benar hilang saja, agar aku punya alasan kuat membela diri dan tak perlu merasa bersalah karena telah menuding Kak Ichsan sebagai pelakunya. Meskipun kebenarannya memang bukan Kak Ichsan pelakunya.

"Tuhan, apa yang telah kulakukan?" aku mengadu sendirian dalam hati.

Tanpa pikir panjang, aku bergegas kembali menuju terminal. Aku ingin mencari secarik kertas yang di dalamnya ada pesan dari Kak Ichsan dan secarik kertas yang telah kubuang dengan penuh rasa keji.

Setibanya di terminal, aku segera mendekati tong sampah. Aku terperanjat melihat tong sampah tersebut sudah bersih meski masih meninggalkan bau yang sangat menyengat.

"Ada apa, dik?" Tanya seorang lelaki paruh baya yang kini berdiri di sampingku.

"Maaf pak, seingatku tadi tempat ini penuh dengan sampah." Kataku agak sedikit cemas.

"Oh... tadi petugas kebersihan datang mengangkut semua sampah yang ada disini." Ucap bapak tersebut.

Mendengar ucapan bapak itu, seketika badanku menjadi lemas, mataku mulai berkaca-kaca, bola-bola air dari balik kantung mataku sudah mendesak untuk melompat keluar.

"Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku hanya ingin memohon maaf pada Kak Ichsan karena telah menuduhnya. Aku tak peduli anggapan Kak Ichsan terhadapku, aku tak peduli jika Kak Ichsan membenciku, aku pantas menerimanya. Yang kuharapkan hanyalah kata maaf darinya."

Aku menyeka air mata yang telah membasahi pipiku.

"Tuhan, pertemukan aku dengannya. Walaupun menunggu adalah hal yang paling aku benci, namun kali ini aku rela menunggu seumur hidupku hanya untuk mendapat satu kata maaf darinya."

Air mataku sudah kadung banjir mengalir di sela-sela guratan yang ada di pipiku.
Dengan rasa penuh penyesalan, aku kembali ke kos. Kuhempaskan tubuhku di atas pembaringan.

"Kak, maafkan aku" Bisikku dalam tangis.

***

Kau Yang Tak Sempat KusapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang