Bagian 5

2 0 0
                                    

AKU berdecap kagum ketika aku bersama rombongan tiba di gedung Mahkamah Agung. Pada semester kali ini aku mendapat kesempatam melakukan study lembaga peradilan di beberapa kota di Indonesia. Setelah berbincang-bincang dengan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama, aku dan rombongan menyempatkan diri berkeliling di sekitar gedung Mahkamah Agung.

"Nur" kudengar seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh ke belakang, dan betapa terkejutnya aku, setelah tahu siapa orang yang memanggil namaku.

"Kak Ichsan?"
Tidak salah lagi, orang yang kini berdiri di hadapanku adalah kak Ichsan.

"Nur, ini aku, masih ingat?" katanya seraya menyiratkan sesimpul senyum di bibirnya.
Aku tahu, bahkan aku masih sangat mengingat senyuman khas miliknya. Hanya saja penampilannya kini sudah sangat berbeda. Dia terlihat lebih rapi. Aku masih mematung di tempatku.

Kutatap Kak Ichsan lekat-lekat, tanpa sadar sebutir air mata bening telah jatuh dari kantung mataku, aku tak bisa menggambarkan suasana hatiku saat ini.

Inilah akhir dari penantianku selama 2 tahun. Kini kak Ichsan tepat berada didepanku, dan sangat dekat denganku.

"Aku, minta maaf atas apa yang telah kulakukan terhadap kakak" ucapku dengan wajah tertunduk yang dibarengi dengan suara isak yang berasal dariku sendiri.

"Lupakanlah, kakak sudah maafkan dan kakak mengerti." Ucapnya.

Aku heran, mengapa begitu mudahnya kak Ichsan memaafkan aku, padahal aku telah menuduhnya bahkan telah mengumpatnya. Mengingat kejadian itu, aku sangat malu pada kak Ichsan. Terlebih pada diriku sendiri. Aku kembali terisak. Kak Ichsan tersenyum seraya berusaha menenangkanku dan memintaku untuk berhenti menangisi kebodohanku sendiri.

Aku tak peduli, bahkan aku tidak menghiraukan rombonganku yang sudah berlalu meninggalkanku, mereka tidak menyadari kehadiran Kak Ichsan.

"Sungguh, kakak telah memaafkanku?" Tanyaku lagi untuk memastikan.

Kak Ichsan mengangguk mantap.
Kutahu dia berusaha meyakinkanku.

Setelah aku merasa tenang, Kak Ichsan menemaniku keliling di sekitar gedung MA, kini aku benar-benar terpisah dari rombongan.

Jujur kuakui, saat ini ada rasa ceria yang merasukiku, seperti pepohonan kering yang diguyur hujan setelah lama dipenjarakan kemarau. Aku sangat bahagia.

"Kakak sedang apa di sini, apa kakak juga melakukan kunjungan?" tanyaku.
"Tidak, Kakak bekerja sebagai pegawai di sini." Jawabnya.
"Kakak hebat, aku doakan semoga suatu saat nanti kakak bisa menjadi hakim seperti yang kakak cita-citakan dahulu." Ujarku.
"Oh. Kamu masih ingat ya?" tanyanya.
"Iya dong kak. Aku tak akan pernah lupa dengan momen selama di atas mobil bus itu dulu." Jawabku.

Kak Ichsan hanya tersenyum. Sambil memamerkan senyum manisnya, Kak Ichsan menuntunku menuju masjid yang ada di samping gedung MA.

"Nur, kau sangat curang." Ujar kak Ichsan tiba-tiba saja mengagetkanku.

Aku tak mengerti maksud dari ucapannya. Aku mengernyitkan kening seraya menatapnya penuh tanya yang tersirat. Karena tak ada respon dariku dalam bentuk kalimat apapun. Kak Ichsan menjelaskan maksudnya.

"Aku telah meninggalkan nomor untukmu, berharap kau menghubungiku, tapi kau tak pernah melakukannya." jelasnya.

Aku tersenyum mengingat kertas yang telah ditinggalkannya untukku di atas bus telah aku buang dengan penuh rasa keji sebelum aku kembali menangisinya dengan penuh rasa penyesalan yang kubawa selam bertahun-tahun dan penyesalan itu baru berakhir di sini.

"Tapi tak apalah, setidaknya aku memiliki ini" Katanya lagi seraya menyodorkan ponselnya padaku.

Kulihat di dalamnya ada foto kami saat melakukan perjalanan 2 tahun yang lalu. Aku menyikut lengannya, seraya berbisik.

"Ternyata kakak yang curang."
Aku lalu menatapnya dengan tajam. Tapi Kak Ichsan tahu maksudku. Tanpa instruksi apapun, Kak Ichsan lalu merebut ponsel-nya dari genggamanku lalu berlari.

Aku pun tanpa aba-aba dari Kak Ichsan, aku kontan mengejarnya sambil meneriakinya.

"Hey, berhenti dulu!"

Kak Ichsan lalu menghentikan langkahnya.

"Ada apa?" sambil menoleh ke arahku.
"Dasar, cowok manis."
"Apa katamu?"
"Dasar cowok manis. Kau telah merebut hatiku."
"Benarkah?"

Kak Ichsan lalu berjalan ke arahku sambil mengangkat bahunya sebagai simbol tak tahu. Tepatnya pura-pura tak tahu menurutku.

Saat Kak Ichsan sudah berada tepat di hadapanku lagi. Dia lalu kembali menanyakan sesuatu.
"Benarkah?"
"Benar apanya?"
"Cowok manis, katamu."
"Tidak."
"Serius?"
"Iya."
"Lalu?"
"Iya. Maksudnya, tidak salah lagi."
Kak Ichsan mengernyitkan keningnya.
"Dasar, Cowok Manis."

Kau Yang Tak Sempat KusapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang