SPINAM - 1

32 3 2
                                    

Hari Senin mungkin menjadi hari yang paling dibenci oleh kebanyakan orang. Penyebabnya banyak, terutama adalah upacara di pagi hari. Tapi tidak untuk Duri dan semua murid SMA Aries, karena di sekolahnya tidak melaksanakan upacara setiap Senin, melainkan sebulan sekali. Nikmat, bukan?

Duri hanya perlu berjalan sedikit lagi agar sampai ke kelasnya-ketika seseorang menarik tangannya, ia menoleh dan mendapati seorang lelaki memakai Hoodie berwarna putih tulang. "Dur, apa kabar?"

"Si goblok, kita kan baru ketemu kemarin."

Arka cengengesan. "Ya enggak, takutnya hari ini lo lagi sakit gitu."

"Aaaaaw, kamu perhatian banget sih, Arka. Jadi sayang." Duri mencubit pipi Arka dengan gemas. "Tapi, hari ini gue lagi sehat."

"Yaudah sono masuk." Arka memutar tubuh Duri dan mendorongnya agar masuk ke dalam kelas.

Duri meniupkan kiss bye ke Arka. "Dadah, Arka."

Arka, Arkana Madava nama panjangnya. Duri mengenal Arka di awal masuk kelas 2 SMP. Saat itu, Arka memanggil dirinya untuk duduk bersama, dan Duri mengiyakan ajakannya. Pertama kali melihat Arka, Duri kagum akan pesonanya. Bagaimana tidak? Arka itu tampan dan manis disaat yang bersamaan, juga memiliki lesung pipi yang dalam dan hari itu ia memakai Hoodie-yang menambah ke'uwu'annya-berwarna hitam yang kontras di kulitnya yang putih, ya walaupun ia caplang.

Persahabatan mereka berlangsung hingga saat ini, yaitu kelas 2 SMA. Arka sangat perhatian padanya, Duri akui itu. Hanya karena setiap hari selalu bersama, teman SMP sampai SMA-nya selalu berasumsi bahwa mereka berdua berpacaran, padahal tidak. Banyak julukan yang ia dan orang lain lontarkan kepada Arka, Arka yang pintar, Arka yang tampan, Arka yang manis, Arka yang sempurna untuk dirinya, Arka yang-

"DURI! IBLISKU!" Seseorang berteriak dari arah pintu masuk kelas yang membuyarkan lamunan Duri tentang Arka.

"Dur, lo udah ngerjain PR?" tanya orang itu.

"Udah lah."

"Tumben lo ngerjain."

"Semalem Arka bantuin gue."

"Gue semalem nanya sama si Arka. Tapi, gak dikasih tau. Emang sialan tuh anak." Salsa mengadu.

Duri tertawa mendengarnya. "Yaudah lap dulu congenya, Sal."

"Iblis, sialan," sinis Salsa.

"Eh, Dur. Entar pas istirahat main sesuatu yuuuk, gue punya permainan baru nih. Yang lain juga pasti mau." Salsa melanjutkan dengan wajah misterius.

"Serah lo."

Tapi, yang harus kalian tahu, kelas Duri setiap Senin, mata pelajarannya begitu nikmat. Jam ke 1, 2, dan 3 yaitu pelajaran Seni Budaya dan gurunya sangat-sangat jarang masuk ke kelas Duri, lagipula setiap masuk ke kelas, guru itu hanya menayangkan film di laptopnya menggunakan proyektor. Jam ke 4 pelajaran PKN yang gurunya lebih senang menyuruh muridnya menyelesaikan ringkasan dari buku paket ke buku tulis, tapi jarang di nilai, hanya di paraf saja. Dan jam ke 5 istirahat selama 1 jam, setelah masuk sampai pulang disambung dengan pelajaran PKN. Omong-omong jam pulang sekolahnya adalah jam 12.

Begitu bel berdering dengan nyaring tanda istirahat, Salsa langsung menarik tangannya untuk ke kantin. Salsa berhenti sebentar dan mengedarkan matanya untuk mencari tempat duduk yang kosong-ketika Arka melambaikan tangannya ke arah mereka.

Kursi tempat duduk sudah terisi 4 orang, termasuk Arka. Zidan, Rendi, Arka, Kayla, Salsa, dan Duri sudah berteman sejak awal masuk SMA, mereka kenal karena tempat duduknya yang berdekatan. Seperti biasa, Duri dengan Arka, Salsa dengan Kayla, dan Zidan dengan Rendi. Mereka berkenalan dan langsung akrab.

"Pada mau makan apa? Gue yang pesenin." Zidan berdiri dari duduknya.

"Samain aja semuanya, Bang," ucap Rendi. Zidan dipanggil Abang bukan karena ia paling tua, tapi karena dari kecil sudah dipanggil Abang oleh keluarganya.

Zidan menyodorkan tangannya. "Duitnya mana?"

"Ye si Abang. Kirain di bayarin," sewot Salsa.

Zidan mendengus. "Enggak lah, gila aja lo."

Setelah mengambil uang, Zidan berbalik dan berjalan menjauh untuk mengantri di tempat yang berjualan bakso.

"5 kan, Bang?" tanya mang Udin si penjual bakso, Zidan mengangguk. Mang Udin memang kerap memanggilnya dengan panggilan Abang, karena sering mendengar panggilan itu dari sahabatnya.

Mang Udin telah selesai membuat pesanannya, ia taruh dinampan dan memberikannya kepada Zidan. Zidan menyodorkan uang pas. "Makasih, mang."

Zidan menaruh nampan yang berisi bakso di tengah meja. Yang lain langsung mengambil dan mulai makan dengan khidmat.

"Eh, gue punya game nih, yang kalah harus siap di hukum ya," ucap Salsa orang pertama yang menyelesaikan baksonya.

"Buset, Sal. Lo cepet amat makannya, laper lo?" Kayla berhenti mengunyah dan menatap Salsa.

"Ayo main." Salsa mengabaikan pertanyaan dari Kayla.

Zidan menatap Salsa dengan lembut. "Iya, Sal. Kita ngabisin makanannya dulu."

"Iya, Bang."

"Giliran di bilangin sama Abang baru nurut." Duri mencibir.

"Sirik aje lo, capung."

"Sialan lo." Duri menyodorkan garpunya ke wajah Salsa. "Mau gue bunuh lo?"

Arka menarik lembut lengan Duri. "Dur, udah."

Duri duduk kembali ketempatnya dan memakan baksonya yang tersisa.

"Gue mulai ya."

Salsa mulai memutarkan botolnya dengan cepat, mereka menunggu dengan harap-cemas, takut-takut diri sendiri yang terkena. Ketika kecepatan botol mulai berkurang dan berhenti, tutup botol itu mengarah ke satu orang.

Duri.

Duri menganga tidak percaya dan langsung menggebrak meja. "Ulang-ulang, gue gak terima."

"Gak bisa gitu, Dur." Salsa memegang botol. "Lo pilih Truth Or Dare?"

"Dare." Duri menjawab dengan malas.

"Oke." Salsa menatap sahabatnya. "Tantangannya adalah lo harus cium mang Udin di pipi."

"Lo gila?!" seru Duri. "Gue gak mau."

"Kalo lo gak mau berarti lo harus kena hukuman, Dur." Salsa menghela napas. "Tapi, lo gak boleh nolak lagi."

"Yaudah lah, gapapa."

"Hukumannya adalah...." jeda Salsa.

"Gece deh, Sal."

"Lo harus temenan sama orang introvert selama sebulan," lanjutnya dengan semangat.

"Lo bener-bener gila ya, Sal?!" Duri menggelengkan kepalanya tidak percaya, lalu ia menoel lengan Arka. "Ar, tolongin gue."

Arka berdecak. "Gak ada yang lain gitu, Sal?"

"Gak ada, Ar." Salsa menggeleng cepat.

Kayla angkat suara. "Kebetulan di kelas gue ada sekelompok anak-anak introvert dan mereka baik-baik semua."

"Serius?!" Duri memegang lengan Kayla. "Berarti gue pindah ke kelas lo ya?"

"Apa-apaan lo. Gak, gak boleh." Salsa mulai panik.

"Lo gak usah bacot, Sal." Duri berucap ketus. "Inikan juga ide lo."

"Gak usah nyampe pindah kelas juga, Dur. Di kelas gue juga ada anak introvert tapi main sama temen kelasnya Kayla kok." Rendi memberi saran.

"Oke." Duri sudah tidak tahu lagi harus menjawab apa, ia sudah cukup frustasi dengan hukuman itu, mungkin setelah ini ia akan menjadi orang gila.

"Sabar ya, Dur." Arka menepuk bahu Duri.

Duri mengangguk.

SPINAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang