Show Me

701 46 11
                                    

"Ceritakan sesuatu tentangmu."

Garpu menyentuh piring saat aku memotong pancake. Sekarang masih pagi dan aku memasak sarapan untuk kami, tapi ini sedikit menyulitkanku karena Draco tidak punya daging asap dan ujung rotinya sudah berjamur. Tapi, dia punya sekotak adonan pancake instan yang belum dibuka dan setengah lusin telur, jadi aku hanya memanfaatkan bahan yang tersedia.

"Aku hampir tidak punya waktu untuk memasak," ucapnya tadi. "Aku harus memastikan adonan pancake ini belum kadaluarsa."

Aku menatap kotaknya dengan bingung. "Adonan pancake bisa kadaluarsa? Aku belum pernah memasak pancake instan."

"Aku juga tidak tahu."

Ternyata, adonan pancake instan juga bisa kadaluarsa. Tapi untungnya, tanggal kadaluarsanya belum lewat, jadi aku tidak punya keraguan untuk melahap sarapan darurat kami ini.

Kami duduk di meja makan, di dapur, kami berdua duduk sangat dekat dan paha kami bersentuhan. Kami hanya mengenakan boxer dan baju kaos.

"Apa yang ingin kau ketahui?" tanyanya sebelum kembali menyuap pancake ke dalam mulutnya.

"Kenapa kau sering mengusak kepalaku?" tanyaku.

"Oh... um... itu... Ibuku sering melakukannya pada ayahku."

"Oh, apa artinya itu?" tanyaku malu-malu.

"Itu artinya aku... aku tidak tahu," jawab Draco. "Apa kota favoritmu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Kau mau aku menjawab jujur?" tanyaku.

"Tentu saja."

"Aku kira Hogwarts," jawabku.

Aku bisa merasakan wajahku memanas, tapi aku enggan mengatakan padanya kalau orang-orang yang tinggal di sinilah yang menjadi alasan kenapa aku paling menyukai kota ini. Harry, Cho, Lavender, Ayah... dan, tentu saja, Draco. Draco, yang membuat hampir semuanya menjadi lebih menyenangkan. Pekerjaan, bisbol, mandi, menginap...

Ia terlihat kaget. "Di sini?"

"Ya. Hogwarts kota yang indah," jawabku sambil mengangkat bahu.

"Kau benar," ia setuju sambil tersenyum.

"Bagaimana denganmu? Dimana kota favoritmu?"

"Aku dulu menyukai London. Tapi, Hogwarts sudah menggantikan tempatnya," jawabnya.

"Benarkah?"

Ia menatapku, matanya seperti menembus pikiranku. Ia tidak hanya melihat wajahku, kulitku, senyumku. Ia melihat lebih dalam dari itu. Dia benar-benar melihatku.

Dia selalu melihatku.

"Ya," jawabnya, sambil mengangkat tangan dan menyeka rambut dari wajahku. Ia membungkuk ke depan dan memberikan ciuman lembut di bibir yang membuat mataku terpejam. "Bahkan aku semakin menyukainya setiap hari."

Pagiku bersama Draco berjalan dengan menyenangkan. Kami terbangun di dalam pelukan masing-masing, kejantanannya di selangkanganku, wajahnya di rambutku; lengannya memelukku erat, dan saat ia sedikit menggerakan pinggulnya aku tidak bisa menahan erangan penuh kenikmatan.

Saat mandi, kami kembali mengulangi aktivitas seperti malam tadi. Aku kembali mengenakan pakaiannya untuk sarapan, dan kemudian kami menonton TV dan bersantai sampai tiba waktunya bagi Draco untuk bersiap-siap berangkat kerja.

Aku sempat berpikir untuk pergi keluar membeli kondom, tapi pada akhirnya, aku pikir kami tidak ingin pengalaman pertama kami berlangsung tergesa-gesa sebelum ia berangkat kerja. Dan juga, membayangkan harus keluar rumah hanya untuk membeli kondom sepertinya akan merusak suasana.

Doctor's OrderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang