Jika Fandi sebelumnya merasa sebal karena 'kalah' dari Dokter Haikal, perasaan itu ada baiknya segera direvisi. Nyatanya, dia memang kalah telak. Aruna mungkin saja telah menghubungi semua orang begitu bangun dari mimpi panjangnya. Semua orang, kecuali dirinya.
Saat Fandi tiba dari rumah sakit, Aruna tidak sendiri di rumah. Dia bahkan tampak sudah menyelesaikan acara makan siang bersama Dirga, Johan, dan ayahnya.
Situasi rumah ini tampak begitu normal. Johan terlihat mencuci piring kotor yang baru saja mereka gunakan. Dirga hanya duduk bersandar di sofa depan televisi sambil bermain handphone.
Calon ayah mertua Fandi juga dengan santainya berpamitan untuk kembali ke sekolah hanya beberapa saat setelah Fandi datang, seolah begitu yakin tak ada lagi hal yang perlu dicemaskan.
Hanya Fandi yang masih mencemaskan Aruna, setidaknya itu dibuktikan dengan betapa cerewetnya dia tadi kepada supir taksi, meminta supaya bisa segera sampai di lokasi tujuan.
Oh, tentu saja Fandi tidak diizinkan mengendarai mobil sendiri setiap kali insomnianya kambuh. Sejak kemarin, kunci mobilnya disita orang tuanya dan ditaruh entah ada di mana.
"Maaf karena pergi ninggalin kamu sendiri di rumah," Fandi membuka percakapan sambil mengekori Aruna yang berjalan menuju kamarnya.
"Nggak apa-apa. Pada akhirnya aku nggak sendirian juga, kan?" jawab Aruna tanpa menghentikan langkahnya. "Nggak lama setelah bangun, Johan masuk kamar. Barusan balik dari kampus. Tahu kakaknya udah bangun, dia langsung telepon Ayah. Mungkin dia ngabarin Dirga juga. Terus semuanya datang, deh."
"Kenapa nggak hubungin aku?" Fandi benar-benar merasa butuh menanyakan hal ini.
Aruna tersenyum mendengar pertanyaan Fandi. Dia membuka pintu kamarnya, masuk ke dalam, dan langsung mengambil sebuah memo yang tertempel di cermin lemarinya. "Call me!" begitu yang tertulis dalam memo tersebut.
"Ini Mas Fandi yang bikin, kan?" kini giliran Aruna bertanya.
"Kamu tahu siapa yang bikin dan sengaja mengabaikannya? Kamu cuma titip pesan via Dokter Haikal, minta aku balik ke sini. Setidaknya kamu bisa chat atau telepon aku juga setelahnya tapi nihil."
Aruna tertawa ringan. Fandi hampir tidak pernah merajuk secara terang-terangan. Lucu melihatnya tampak kesal karena masalah yang Aruna anggap sepele.
"Niatnya setelah telepon Dokter Haikal. Eh, tapi ternyata Mas lagi di sana. Jadi mending sekalian aja, kan?" jawab Aruna. "Kenapa, sih? Efek kurang tidur, ya? Mas Fandi ngegemesin kalau lagi kayak begini."
Fandi duduk di tepi kasur, melihat Aruna yang kini tampak sibuk memilih lipstik di meja riasnya.
Sesaat kemudian perempuan itu berbalik sambil menunjukkan dua warna lipstik berbeda, minta Fandi memilihkan dengan mengangkatnya bergantian.
Fandi menunjuk lipstik di tangan kiri Aruna. Tidak ada alasan khusus, cuma asal pilih. Namun melihat bagaimana Aruna kemudian tersenyum lebar dan kembali menatap cermin untuk memoleskan lipstik di bibirnya, Fandi yakin pilihannya memang pas.
"Kamu tidur kayak gitu setelah gagal ketemu Dokter Haikal, setelah mencoba minta bantuan tapi hasilnya nihil," kata Fandi lirih. "Itu agak mirip dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Rasanya...sedikit menakutkan...."
Suasana seketika hening. Aruna mendadak merasa bersalah, teringat beberapa insiden buruk yang pernah menimpa Fandi. Dia kini bisa membayangkan seberapa cemas pria itu.
"Maaf, Mas," kata Aruna setelah ikut bergabung duduk di kasur. Dia lalu mengambil boneka kaktus yang dibelinya tempo hari. "Sebagai permintaan maaf, ini buat kamu, Mas."
Tampak jelas jika Fandi agak kaget dan kebingungan. Aruna memberinya boneka sebagai permintaan maaf? Bukankah itu terlalu berlebihan? Kenapa juga harus boneka?
"Besok Mas Fandi ulang tahun, kan? Selamat ulang tahun! Hehehe...."
Ucapan Aruna berikutnya membuat Fandi semakin bingung. Dia menerima boneka itu dengan begitu kikuk, tidak tahu harus bagaimana.
"Terima kasih," kata Fandi. Dia akhirnya tersenyum tipis sambil terus memandangi hadiah yang menurutnya terlalu imut untuk pria berusia 29 tahun sepertinya. "Udah lama banget sejak terakhir kali aku dapat kado ulang tahun dari pacar."
Aruna mendadak ada yang salah dari ucapan Fandi. "Pacar? Emang kita pacaran, Mas? Kayaknya kita enggak pernah ada kesepakatan itu, deh."
"Kita udah bareng-bareng selama sekian bulan. Jalan bareng, makan bareng, bahkan sempat tidur seranjang bareng. Kenapa kita harus membuat kesepatan tentang cara menyebut hubungan ini?" Fandi dengan cepat menyalakan sinyal tak mau kalahnya.
"Status hubungan itu butuh kesepatan kedua belah pihak, Mas. Mana bisa Mas Fandi menganggapku pacar tanpa persetujuanku?"
Fandi mengalihkan pandangannya dari boneka kepada Aruna, mempertimbangkan jawaban lain yang kira-kira bisa membuatnya menang.
"Oke, jangan pacar. Gimana kalau calon istri?" ujar Fandi sambil memeluk erat bonekanya. Sebenarnya dia ingin memeluk Aruna tapi langsung ingat risikonya.
"Walaupun ada campur tangan orang tua, rencana pernikahan itu tetap belum pasti menurutku. Tanggalnya aja belum ditentukan. Jadi masih bisa nggak dilanjutkan dalam kondisi dan dengan alasan tertentu," jawab Aruna mantap.
Senyum Fandi semakin lebar. "Mana bisa kayak gitu? Tadi pagi aku udah bayar uang muka gedung pernikahan. Sore ini juga WO janji ngasih rekomendasi menu. Semua persiapan tetap berjalan apapun yang terjadi, Sayang."
Aruna kaget dengan informasi mendadak itu. Namun belum sempat dia membalas lagi, suara Dirga yang berteriak dari lantai satu menginterupsi.
"Ayo, berangkat! Ngapain kalian lama-lama di kamar?!"
Mengabaikan ekspresi kaget Aruna, Fandi lebih dulu keluar dari kamar sambil menenteng hadiahnya. Dia kembali tersenyum saat mendengar suara langkah Aruna yang seolah buru-buru menyusul.
"Kapan?" tanya Aruna dengan nada menuntut.
"Apanya?"
"Mas bilang udah ngurus gedung. Emang acaranya kapan?"
"Oh, sebentar," Fandi mencoba mengingat. “November? Aku lupa tanggalnya. Udah disetujui ayahmu juga, kok. Katanya, tanggal nikahan ngikutin sedapetnya gedung aja."
Aruna kembali kaget dengan jawaban Fandi. Dia menghentikan langkahnya. "Mas, November itu biasanya aku belum balik. Mas Fandi tahu, kan? Ada periode di mana aku...."
Fandi ikut berhenti melangkah. Masih ada beberapa anak tangga lagi di depannya. "Iya, aku tahu. Kamu biasanya liburan ke mana, sih? Nanti aku jemput. Beres, kan?"
"Caranya jemput?"
Kali ini Fandi balik kanan, menatap wajah penasaran Aruna. Menggemaskan, menurutnya. "Just like sleeping beauty, I’ll come in and wake you up! Deal?"
Cukup sudah. Aruna kehabisan kata-kata. Apa Fandi sedang menggombal? Bukankah itu terlalu cheesy dan kekanakan?
Aruna mengambil napas dalam-dalam untuk mengendalikan emosi. Namun, dia malah semakin kesal karena Fandi terus tersenyum kepadanya. Jadi, dia langsung memutuskan kembali melangkah menuruni tangga dan meninggalkan Fandi begitu saja.
Demi Tuhan, Aruna kesal dengan detak jantungnya sendiri!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Wake Me Up!
ChickLit- Aku suka tidur. Rasanya sangat nyaman karena seakan bisa melupakan beban, masalah, dan terbebas dari stres untuk beberapa saat. + If she sleeps a lot, it means she is sad.