F

17.7K 2.8K 263
                                    

Gunung

Terdengar suara ramai memasuki studio. Ternyata Karmila. Kami memang tengah punya proyek untuk ulang tahun sebuah stasiun televisi. Perempuan ini sedang naik daun. Dan pihak mereka memintaku untuk berkolaborasi. Masing masing kami akan menyanyikan lagu pasangan duet kami.

Secara materi, suara Karmila cukup bagus. Apalagi penguasaan panggungnya. Jangan ditanya. Ia juga sangat profesional. Hanya saja, tampilan dan cara bicaranya  memang seperti sengaja mengundang nafsu para lelaki. Tapi itu urusan pribadinya.

Awalnya aku juga suka, tapi sejak menikahi Nandhita tidak lagi. Toh ada seseorang yang bisa kuremas dan kuelus setiap malam. Punya affair dengan Karmila tak ada lagi dalam kamusku. Itu akan menyakiti pak Hadi dan keluarganya. Karena pasti, itu akan digunakan untuk menaikkan popularitasnya.

Setelah cipika cipiki kami mulai melakukan take vocal. Tidak butuh lama, Karmila ternyata sudah menguasai materi lagu. Malah aku yang sedikit sulit, karena dangdut bukan bidangku.

"Oh ya, kang Gun. Itu di depan yang pakai daster tadi masa sih ngaku ngaku istrinya?" Tanyanya manja.

Aku tersenyum, "memang iya. Kenapa?" Tanyaku balik.

Karmila terkejut. Kedua matanya terbelalak. Demikoan juga manajernya.

"Yang bener?! Iraha nikahna?" Teriaknya.

"Nikah sirinya udah dua bulan lalu. Resminya baru seminggu lalu."

"Nikah siri? Naha?"

Aku menarik nafas panjang atas keingintahuannya.

"Ya, aku menikahinya saat pulang ke kampung. Dan saat itu sama sekali nggak bawa surat surat."

"Maaf kang Gun, Mila kira teh tadi pembantu."

"Masa sih, secantik itu kamu  bilang pembantu." Aku tidak suka dengan kalimat terakhirnya. Jelas ia cemburu. Nandhita jauh lebih cantik dan seksi.

Karmila terkesan seksi karena pandai memilih busana. Dengan mengenakan push up bra. Juga sedikit oplas disana sini. Jauh berbeda dengan Dhita yang ukuran payudaranya memang besar alami. Selesai take vocal kami keluar ruangan. Untung ada empat orang lain termasuk asistenku dan manajernya disini. Sebelumnya Karmila meminta ijin berfoto denganku dan akan mengupload di Ignya. Kuijinkan untuk kepentingan pariwara acara kami.

Diluar, Nandhita sudah menyiapkan satu pitcher jus dan juga kue basah dipiring.

"Sudah selesai mas?" Tanyanya lembut.

Aku segera meraih pinggangnya, dan mengecup bibirnya sekilas dihadapan Karmila. Menandakan bahwa aku serius dengan ucapanku tadi. Aku tidak suka ada orang yang melecehkan istriku. Wajah Karmila terlihat kesal, meski demi sopan santun ia tetap duduk dan meminum jusnya. Sementara manajernya tampak terdiam bersama dengan asistenku.

Yang membuat senyumku melebar saat wajah kemerahan Nadhita muncul tiba tiba. Aku tetap memeluk pinggangnya meski kami sudah duduk disofa.  Bahkan sesekali menarik jemarinya yang mengenakan cincin kawin kami.

***

Nandhita

Sikap mas Gunung semakin lama semakin mengesalkan. Kepada siapapun ia menunjukkan statusnya yang sudah menikah tanpa ragu. Aku yang jengah. Apalagi dengan caranya menyentuh tubuhku. Tidak ada yang salah memang, aku miliknya. Tapi aku sangat tidak nyaman saat ia mencuri ciuman didepan umum. Apalagi memeluk erat pinggangku. Aku merasa sama dengan perempuan bayaran diluar sana.

GUNUNG /Terbit  Di IBUK/Fast POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang