H

17.8K 2.8K 241
                                    

Biarkanlah saya  yang mencari typo. Kalian membaca saja dengan cantik. Abaikan typonya ya.... Ada saatnya nanti cerita ini saya revisi. Typo yang bertebaran akan saya perbaiki.

***

Kutatap layar komputer didepanku. Tapi jelas pikiranku tidak disana. Kalimat kalimat mas Ben tentang Nandhita merasuki pikiranku. Aku bohong, karena kenyataanya aku tidak tahu apa apa tentang istriku sendiri. Aku hanya memahaminya dari sisisku sendiri.

Hubungan kami semakin dingin. Apalagi dengan diamnya. Beberapa hari yang lalu aku membentak dan menyuruhnya diam. Aku bosan dengan permintaan maaf berkali kali. Meski kemudian aku sedikit menyesal. Tapi paling tidak ia tidak lagi berada disekitarku. Malah menjauh.

Mestinya aku suka, karena aku yang menginginkan itu. Tapi ternyata aku salah. Ada yang hilang saat aksi diam kami berlangsung. Aku kehilangan teman  bicara dan pelayanannya.

***

NANDHITA

Kubuka jendela. Kamar. Suara burung  peliharaan mas Gun segera terdengar lebih kencang. Langit diluar sangat gelap. Pertanda sebentar lagi hujan akan turun.  Aku tidur sendirian sekarang. Seperti kebiasaan akhir akhir  ini. Dirumah juga  sendirian dan selalu begitu. Ia akan berangkat pagi dan pulang lewat tengah malam.

Tubuhku sudah berangsur pulih. Terutama bagian intiku. Hanya saja rasa trauma saat mas Gun memasukiku dengan paksa masih tertinggal.  Rasa sakit sekaligus takut. Tapi sejak itu ia tak lagi tidur dikamar kami. Melainkan dilantai dua. Beruntung setiap pagi masih mau sarapan. Meski tidak untuk makan siang dan malam.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Ia masih marah dan merasa tersinggung. Meski aku sudah meminta maaf puluhan kali. Kalimatku hanya dianggap sebagai angin lalu. Perlahan aku keluar kamar. Ku bersihkan kembali seisi rumah yang sebenarnya sudah bersih. Tidak tahu mau melakukan apa lagi.

Saat memasuki ruang tamu terdengar kembali bunyi alarm listrik. Menandakan kalau aku harus membeli pulsa listrik lagi. Aku  bingung, mas Gun sudah dua minggu tidak memberiku uang belanja. Bahkan makanan persediaan dikulkaspun sangat kuhemat. Aku segan meminta padanya. Apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin aku meminta.

Lama aku menimbang, sampai akhirnya keputusanku sudah bulat. Kubuka lemari, mengeluarkan bungkusan hadiah pernikahan dari ibu. Ini akan menjadi jalan keluar satu satunya.
.
.
.
Mas Parmo datang menjelang siang. Mengantarkan pakaian mas Gun yang sudah selesai dilaundry.

"Mas?"

"Ya mbak?"

"Bisa antar saya keluar?"

"Mau kemana?"

"Ke pasar juga boleh."

Ia menatapku tak percaya. Namun tak urung mengangguk. Aku segera bersiap. Tidak mungkin membiarkan rumah ini gelap gulita. Aku tidak ingin mempermalukannya.

***

Gunung

"Darimana mas?" Tanyaku saat melihat Parmo pulang. Tidak biasanya ia pergi begitu lama.

"Ngantar mbak Nandhita Gun."

"Kemana?"

"Ke toko mas. Habis itu beli token listrik."

"Maksudnya? Ngantar Nandhita beli emas?"

"Nggak tahu, saya nggak turun. Tapi habis itu ke indomaret buat beli token. Daritadi listrik di rumah sana  sudah bunyi terus."
.
.
.

GUNUNG /Terbit  Di IBUK/Fast POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang