B

18.7K 2.7K 243
                                    

Kumasuki kamar pengantin yang tadinya  akan menjadi milik mas Benua. Disana Nandhita sudah duduk  sambil tertunduk. Sesekali masih menyeka airmatanya. Apa dia tidak capek harus menangis sepanjang hari? Ia mengangkat wajah saat aku mendekat.

"Sudah malam. Mas mau mandi?" Tanyanya lembut disela isaknya. Entah tulus atau karena sungkan. Aku tak tahu! Kebayanya sudah diganti dengan sebuah daster berwarna hijau tua. Menunjukkan kulitnya yang bersih.

Aku mengangguk tanpa menjawab apa apa.

"Baju mas dimana?"

Teringat akan ranselku di mobil.  Aku kembali keluar sambil mengambil tas ranselku. Kemudian membawa ke kamar.

"Sorry aku lupa bawa handuk."

Perempuan yang hari ini resmi menjadi istriku itu membuka lemarinya lalu menyerahkan selembar handuk.

"Mas pakai ini saja."

"Kamar mandinya dimana?" Tanyaku.

"Dibelakang." Jawabnya singkat.

Kuambil pakaian dari dalam ransel. Kemudian bergegas kebagian belakang rumah. Beberapa orang yang berpapasan denganku mengangguk dengan hormat. Sesaat setelah membuka pakaian, pintu kamar mandi diketuk. Suara Nandhita memanggilku.

"Mas?"

"Ya?"

"Ini peralatan mandinya."

Aku membuka sedikit pintu. Ya peralatan mandiku tertinggal di kamar tadi. Dari dulu aku memang hampir tidak pernah menggunakan kamar mandi umum untuk mandi. Tampak tangannya yang putih menyerahkan sebuah tas kecil. Kuterima saja tanpa banyak tanya. Selesai mandi tubuhku terasa segar. Kemudian  kami makan bersama. Dimeja makan hanya ada telur dadar, ikan asin, sayur rebus serta sambal. Mengingatkanku akan masa kecil saat masih sering makan disini.

"Maaf mas Gunung, makannya cuma ini. Makanan untuk pesta tadi pagi, sudah keburu ibu berikan sama keluarga yang datang. Besok baru ibu belanja."

"Nggak apa apa bu. Ini malah lebih enak. Sudah lama saya nggak makan masakan ibu." Jawabku sambil berusaha tersenyum.

Kami kemudian makan dalam diam. Dirumah ini semua makan dengan menggunakan tangan. Awalnya aku ditawari menggunakan sendok. Namun kutolak halus. Aku harus menyesuaikan diri.

Selesai makan aku pamit ke kamar. Nandhita masih membantu ibunya membereskan meja makan. Kurebahkan tubuhku pada kasur yang sedikit keras. Lagi pula ranjang ini terlalu kecil untukku. Aku lelah dan mengantuk. Tak lama istriku masuk dan menutup pintu.

Ia tampak bingung, akhirnya memilih duduk didepan meja rias.

"Kamu mau disitu sampai pagi?" Tanyaku.

Ia menggeleng.

"Sini tidur." Perintahku sambil menepuk bagian kosong yang berdekatan dengan dinding.

Dengan ragu ia mendekat dan naik ke ranjang. Kemudian tidur sambil menghadap ke dinding. Aku mengambil selimut dan menutup tubuhnya sampai pinggang. Jangan kalian kira aku tidak bernafsu. Nandhita sangat cantik. Ia memenuhi  semua syarat untuk menjadi perempuan yang akan memuaskanku. Kulitnya bersih dan putih, payudaranya cukup besar. Rambutnya hitam dan panjang. Bokongnya bulat agak besar. Apalagi betisnya. Bisa kubayangkan kalau ia membuka pahanya didepanku. Benar benar tipikal mas Benua.

Kugelengkan kepala, berusaha meredam nafsu. Aku menjadi gelisah, antara keinginan melepaskan nafsu, atau menahannya sampai batas waktu yang tidak jelas. Lama kami saling diam. Sampai akhirnya Nandhita membalikkan tubuhnya. Bagian dada dasternya sedikit turun, membuat mataku segera melanglang buana kesana. Untung jemariku masih bisa kutahan.

GUNUNG /Terbit  Di IBUK/Fast POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang