Sesampai di rumah, aku membantu Nandhita mengisi kulkas. Barang belanjaan sebanyak itu rapi seketika. Perempuan ini sangat hebat.
"Mas mau makan malam pakai lauk apa mas?"
"Terserah kamu. Panggil aku kalau sudah selesai. Aku mau mandi dulu." Jawabku singkat.
Kutinggalkan ia sendirian di dapur. Aku ingin mandi. Kutatap kamar yang sudah sangat rapi. Catat! Sangat rapi! Rasanya menyenangkan tidur saat ini. Terlebih aku belum beristirahat. Tapi kasihan dia, sepertinya aku tidak menghargai kerja kerasnya memasak. Meski aku tahu kalau dia juga letih.
Ponselku berbunyi saat keluar dari kamar mandi. Mas Ben. Dengan malas aku mengangkat panggilannya.
"Ada apa mas?"
"Mana Anin?" Teriaknya tak sabar.
"Sedang masak di dapur. Kenapa?" Jawabku seolah menantang. Aku sangat tidak suka gaya bicaranya.
"Panggilkan dia, aku mau bicara!"
"Aku tidak mengijinkan, dia istriku."
"Kamu hanya mengambil kesempatan. Ponselnya tidak aktif sejak dua hari lalu. Aku tidak yakin kalau dia baik baik saja. Aku kenal kamu!"
"Aku suaminya, memastikan kalau dia baik baik saja. Kalau mas menghubungi aku hanya karena ingin berbicara dengan dia. Maka kujawab sekarang. Itu adalah hal yang sia sia. Mas nggak akan berhasil!"
"Kamu jangan mengancamku. Aku bisa ke Jakarta sekarang untuk menemui dia."
"Aku yang akan menghalangi. Urus saja istri mas yang tampilannya mirip ibu itu. Dan aku akan mengurus istriku sendiri!"
"Kamu...."
"Aku pastikan mas tidak akan menyentuhnya."
"Kenapa kamu membawanya kesana." Suara mas Ben melemah.
"Dia hakku sekarang."
"Suatu saat, aku akan mengambilnya dari kamu!" Setelah mengucapkan kalimat itu, mas Benua memutuskan sambungan telfon.
Aku meletakkan ponselku dikasur. Apa yang sudah kulakukan?
***
Sekilas Benua
Aku sudah pulang ke rumahku. Diikuti Alena tentunya. Perempuan itu terlihat sedikit kikuk sekarang. Tidak berani lagi sevulgar pertama kami menikah. Aku tertawa dalam hati, ternyata tidak sulit menaklukannya. Sikap diam dan dinginku mampu merubahnya dalam seketika.
Teringat saat pagi itu saat kami tengah sarapan bersama bapak dan ibu, ia menyodorkan segelas teh padaku. Tapi tidak kuminum sedikitpun. Ibu sampai bertanya,
"kenapa malah buat teh sendiri?"
Hanya kujawab,
"Aku tidak mau masuk dalam perangkap siapapun disini. Cukup sekali dalam hidupku."
Semua diam, apalagi Alena yang menunduk dengan jemari sedikit bergetar. Aku mulai bisa menebak sumber kebohongan itu. Tapi tidak sekarang, biarkan ia bermain main sebentar dengan mimpinya sebagai nyonya dokter Benua. Akan ada saatnya rasa sakitku dialaminya. Ketika mimpi selama bertahun harus hilang dalam hitungan menit.
Saat kami pulang kemari. Kulewati rumah Anin. Tak ada mobil Gun disana. Apakah ia sudah pulang? Awalnya aku berharap Anin masih disana. Meski tahu kalau Gunung sudah menikahinya. Sayang aku tahu dari bapak, kalau kekasihku dibawa serta. Saat kuhubungi besoknya, kami malah ribut. Aku takkan pernah rela melepaskan Anin. Apalagi pada Gunung. Meski adik kandungku sendiri aku tahu bagaimana kelakuannya diluar sana!
KAMU SEDANG MEMBACA
GUNUNG /Terbit Di IBUK/Fast PO
FanficNama pria itu Gunung. Putra kedua pak Pratikno orang terkaya di kampung kami. Sayang, penampilannya tidak seperti bapaknya yang selalu tampak lembut, santun dan berpakaian rapi. Gunung selalu tampil urakan. dengan kaos bergambar aneh. rambut panja...