Hujan

148 8 3
                                    

Aku sudah terlanjur berjalan ke arah bangunan tua itu, dimana kau juga sedang menunggu hujan bersama payung abu-abumu. Dua pasang mata bertemu ketika aku mulai mendekat dan terpisah ketika aku mulai membersihkan rintik air di tas kulit hitamku. Aku memperhatikanmu sejenak lalu memilih untuk diam. Sedangkan kau tampak berpikir, entah apa itu. Namun beberapa detik kemudian kau menyapaku.

"Bulan?"

"Gavin." Aku tersenyum.

"Kehujanan?" tanyamu.

Aku mendengus sebal sebagai ekspresi bercanda. "Kau pikir?"

Kau bereaksi biasa saja, atau mungkin lebih tepatnya kau menahannya.

"Ah.. Mau pakai payungku?" tawarmu tiba-tiba.

Aku melihat garis wajahmu yang serius, tak mengira bahwa kau masih pandai berpura-pura. Aku tersenyum tipis dan menolakmu untuk menawarkan payung itu lagi.

"Kau masih sama," katamu datar.

Aku terdiam, tidak menjawab. Bahkan aku sempat membuang muka ke arah berlawanan denganmu. Bukan.. Aku bukan malu, tetapi ada rasa yang aneh yang tiba-tiba memenuhi dadaku.

Seperti.. segerombolan rasa sedih.

"Terimalah," tawarmu lagi.

Aku meraih gagang payung itu dan tak sengaja menyentuh tanganmu. Bodohnya, kita berdua bertatapan dahulu sebelum akhirnya aku buru-buru mengambil payung itu. Aku tak sadar menggenggam payung itu dengan erat.

Ah, terjebak bersamamu membuatku tak bisa berpikir jernih. Perasaan aneh membuncah hebat dalam diriku, dan aku tak tahu itu sedih atau senang.

Pada akhirnya aku menunduk, melihat ke arah jalanan dan tetumbuhan yang basah. Kemudian menoleh, mendapatimu melihat ke arah langit yang gelap. Tak sadar, aku melakukan hal yang sama denganmu. Gelap. Kapan langitnya akan cerah?

"Aku duluan." Suaramu membuyarkan lamunanku. Ah, sudah mau pergi ya?

"Tapi kau.. Kehujanan nanti." Entah mengapa aku mengkhawatirkanmu seperti dahulu.

"Aku pergi."

Kau tak membalas perkataanku, pun mengucap kalimat yang aku inginkan. Kau menegaskan keinginanmu, pergi seperti masa itu tanpa penjelasan lebih banyak. Kau menjadi dingin. Tiba-tiba aku ingin mendengarkan tawamu, keluhmu, sedihmu seperti dahulu. Namun pada akhirnya aku takkan pernah mendengar itu lagi.

Hujan memang datang dan pergi tak terkira, seperti halnya kau dan berita itu. Hujan mengerti kita, memberi nuansa syahdu peristiwa itu. Hujan membuatku mengerti tentang bagaimana kesedihan menumbuhkan sesuatu yang baru.

Sesuatu yang berharga dalam kehidupan.

Kesadaran dan pelajaran.

When The Moon Knows HerselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang