Dedaunan

48 3 0
                                    

Mungkin keberadaan tidak terlalu penting untuk sebuah ingatan.

Kereta berlari cepat menembus angin pagi hari itu. Membelah hawa dingin yang menusuk untuk mengantarkan orang-orang dengan tujuannya masing-masing. Dedaunan tua yang muncul entah dari mana berterbangan di luar kereta, berformasi seperti partikel kecil dalam ingatan.

Di hari itu aku teringat bahwa selama ini aku tak pernah memperhatikanmu lebih dalam. Mungkin. Mungkin saja aku tak membiarkanmu masuk dalam ruang imajinasi bahagiaku sedangkan kau saja dengan mudahnya tersipu malu saat pertemuan pertama kita. Kau mengajakku yang tak tahu apa-apa ini untuk merasakan luapan hati paling menyenangkan.

"Gavin, aku ingat. Aku tak menghadirkanmu dalam keseriusanku," pikirku.

Entah itu benar atau tidak. Entah itu hanya anggapan yang dibuat-buat agar aku menyalahi diriku atas perpisahan ini ataukah itu caraku menghibur diri.

Aku tersenyum miris sembari menatap langit yang biru sehabis hujan dari kaca gerbong kereta. Melihat dunia yang indah ini dengan jangkauan pemikiran sempit seperti itu tidaklah menghasilkan apa-apa, kecuali jika diriku bisa kembali ke masa lampau. Itu tidaklah mungkin.

Ah, karena di situasi saat ini.. aku jadi ingat sesuatu, Gavin.

Itu dirimu, yang khawatir ketika aku tidak memiliki bekal untuk perjalanan kereta kala itu. Kau dengan parka organisasi yang basah kuyup karena tidak punya jas hujan, tetapi memaksakan diri untuk melihatku terakhir kali di liburan akhir tahun.

Tiga belas menit sebelum keretaku berangkat, kau berlari ke minimarket terdekat; memborong lima susu taro dan tiga roti keju dengan ukuran besar. Kau mengomeliku dengan gaya khasmu, seolah aku anak remaja baru baligh yang meremehkan banyak hal.

"Kenapa tidak bawa nasi dari kos-kosan? Atau beli paket nasi ayam?" tanyamu.

Aku terkekeh. "Aku telat, lho."

"Tapi.. tidak sampai 5 menit, " kau berdalih.

Aku diam sejenak, tetapi senyum tidak lepas dari bibirku. "Terima kasih banyak, Gavinku!"

Gavin tersenyum malu. "Sudahlah, cepat berangkat."

"Kau mengusirku?"

"Bukan begitu.. Katamu tadi telat kan?" jawabnya.

Pemberitahuan kedatangan keretaku mulai menggema di seluruh penjuru stasiun. Aku tersenyum, mulai menarik koperku ketika kau berucap, "Selamat liburan!"

"Kau juga.. Tolong jangan pulang dulu sebelum hujan reda, maaf aku tak bisa memberimu jaket," kataku.

"Tenang saja! Sudah, sana."

"Aku pamit, ya."

Kau melambaikan tanganmu. "Hati-hati."

Kutarik koperku bersamaku dan mulai berjalan ke peron lima. Sesekali aku menoleh dan kau masih ada di sana.

Tersenyum.

Ah, meskipun kita tak saling berpelukan, tapi aku merasakan kehangatan dari senyummu.

"Terima kasih, Gavin!" teriakku dari kejauhan.

Aku kemudian memotong ingatan itu, tersadar. "Terima kasih untuk apa? Untuk semua momen indah yang kita lalui?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When The Moon Knows HerselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang