EMPAT

18 0 0
                                    

23:33

Menunjukkan bahwa malam telah larut.

Sunyi. Tak ada suara yang bisa didengar selain suara hewan nokturnal kecil yang sudah terbangun dari tidurnya untuk memulai aktivitasnya.

Memegang handle pintu, Frayn menghela napas berharap orang yang ada di dalam rumahnya sudah tertidur lelap. Dia melangkahkan kaki berjalan menuju kamarnya. Tapi...

Sial. Cahaya lampu yang berasal dari ruang tamu masih menyala menandakan masih ada orang yang terjaga. Frayn berjalan pelan berharap orang yang ada di ruang tamu tidak menyadari kehadirannya.

"Lihat." Frayn menghentikan langkahnya. "Dia baru pulang. Entah apa yang dia lakukan di luar sana. Mungkin saja anak ini telah tidur dengan teman perempuannya, atau dia ditahan polisi karena melakukan sebuah kejahatan."

"Eddy!" bentak Elis, ibu Frayn ke suaminya.

Eddy mengangkat tubuhnya dari sofa, berjalan perlahan menghampiri Frayn yang masih mengenakan seragam sekolah dan ranselnya.

"Jelaskan apa yang kamu lakukan?!"

"Irena." Frayn menjawab pertanyaan ayahnya itu. "Rumah nenek." sambungnya.

Eddy mendorong kedua lengan Frayn ke tembok dengan sangat keras.

"Eddy!" teriak Elis.

"Rumah nenek? Bagus." Eddy menekan tubuh Frayn semakin kuat.

"Kamu ini anak yang tidak tau diri. Gak berguna. Lemah. Kamu pikir bisa mengelabui ayah?"

Tak ada satupun anak yang ingin mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulut orang tuanya sendiri. Kesakitan terbesar adalah ketika orang tua mengucapkan sebuah perkataan yang bisa memotong harapan anaknya.

Frayn berusaha melepas cengkraman ayahnya itu. "Apa salah Frayn sama ayah?! Hal apa yang membuat ayah benci sama Frayn?!" ucap Frayn menahan amarahnya.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Frayn. "Berani kamu berteriak pada ayah."

"Selama ini Frayn diam. Tapi gak lagi. Sekarang Frayn udah dewasa dan Frayn berhasil tumbuh dewasa tanpa kasih sayang seorang ayah." amarah Frayn sudah sampai puncaknya.

Frayn memang hidup dengan keluarga lengkap, seorang ayah, ibu, dan kakak. Tapi kasih sayang seorang ayah tidak pernah dia dapatkan. Ayahnya lebih menyayangi kakak perempuannya. Bahkan dia tidak menganggap Frayn ada.

"Kamu berpikir seperti itu, lalu bagaimana dengan kakakmu yang tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Dari ibumu. Jika ada orang yang patut disalahkan itu adalah ibumu."

"Cukup!" Elis berteriak.

"Ayah ingin jawaban yang sejujurnya dari kamu Frayn. Apa yang kamu lakukan diluar sana. Katakan kamu telah menghamili teman perempuanmu. Katakan kamu menjual narkoba atau bermain judi. Katakan! Apa kamu tidak bisa seperti kakakmu?!"

Terdengar ada suara dari balik pintu. Sepertinya ada orang lain di luar. Handle pintu bergerak, orang lain berusaha untuk masuk.

Eddy melepaskan cengkramannya dari kedua lengan Frayn setelah menyadari hal itu.

"Lihat. Lihat! Anak emas ayah pun pulang di jam segini. Tanya kenapa dia pulang semalam ini. Ayo tanya dan marahi dia seperti ayah memarahi Frayn."

Eddy terlihat kebingungan dengan kehadiran Firly, kakak perempuan Frayn yang juga pulang larut malam. Tetapi dia masih menyimpan kemarahannya dan dia menampar pipi kiri Frayn untuk yang kedua kalinya.

Tamparan yang sangat keras sehingga membuat ujung bibir Frayn mengeluarkan darah.

Frayn menyentuh darah itu, dia tersenyum menyeringai, "Sekali lagi, Frayn berhasil tumbuh dewasa tanpa kasih sayang seorang ayah. Itu artinya Frayn tidak butuh seorang ayah di hidup Frayn. Dan jangan lupa tanya putri kesayangan ayah ini apa yang membuat dia pergi dari rumah."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EquilibriumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang