Sekitar tiga puluh orang yang memadati sebuah ruangan cukup besar, bergerak berlutut ketika seorang laki-laki tua berjubah putih memasuki ruangan itu. Dua orang wanita tampak mengiringi dari belakang. Yang mengenakan baju kuning memegang sebatang tombak pendek berwarna kuning keemasan. Dan yang mengenakan baju merah muda membawa pedang yang tersampir di pinggang. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu berjalan tegap. Tongkat putihnya nampak lurus terayun mantap, mengikuti irama langkah kakinya.
Dia langsung menuju ke tengah-tengah ruangan yang telah dikosongkan. Tampak di sana sesosok tubuh tengah terbaring tertutup sehelai tikar pandan yang sudah lusuh dan ternoda darah. Laki-laki tua itu berhenti melangkah di dekat sosok tubuh yang terbaring. Dengan ujung tongkatnya, dibukanya tikar yang menutupi tubuh itu.
Sebentar dirayapi wajah yang sudah membiru. Darah menggumpal kental di leher yang koyak hampir buntung. Kemudian ditutupnya kembali tubuh tak bernyawa itu. Sekarang pandangannya beredar berkeliling. Sekitar tiga puluh orang laki-laki yang berada di ruangan itu tak ada yang berani mengangkat kepalanya. Mereka berlutut dengan kepala tertunduk menekuri lantai.
“Jarwa...!” panggil laki-laki tua itu.
Suaranya terdengar besar dan berat sekali. Seorang pemuda berwajah cukup tampan dan berbaju warna biru gelap, bergegas bangkit dan menghampiri laki-laki tua itu. Tubuhnya membungkuk setelah berada di depannya. Sebatang pedang tampak tergantung di pinggangnya.
“Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?” pinta laki-laki tua itu, masih tetap dengan suara berat dan agak tertahan.
“Tidak tahu, Eyang. Dua orang murid menemukannya sudah tergeletak di depan pintu pagar,” sahut pemuda yang dipanggil Jarwa.
“Siapa yang menemukannya?” tanya laki-laki tua itu.
“Jalil dan Mudor, Eyang,” sahut Jarwa.
Laki-laki tua yang sebenarnya bernama Eyang Jaraksa itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia juga dikenal dengan julukan Dewa Tongkat Putih. Tatapan matanya langsung tertuju pada dua orang pemuda yang duduk agak menyendiri berdampingan. Mereka berlutut dengan kepala tertunduk dalam.
“Benar kalian yang pertama kali melihatnya...?” tanya Eyang Jaraksa tajam. Tatapan matanya tetap tertuju pada dua orang pemuda itu.
“Benar, Eyang. Kami berdua yang pertama kali menemukannya,” sahut pemuda berbaju putih yang bernama Jalil.
“Kalian tahu, kenapa Santika sampai tewas...?” kali ini pandangan Eyang Jaraksa beredar berkeliling.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua tetap berlutut sambil menundukkan kepala, menekuri lantai. Jarwa yang berada dekat di depan laki-laki tua itu juga tidak bisa menjawab pertanyaan tadi.
Memang tak ada seorang pun murid Padepokan Tongkat Putih itu yang mengetahui peristiwanya.
Mereka hanya tahu setelah pagi hari tadi, Jalil dan Mudor menemukan Santika sudah tergeletak tak bernyawa di depan pintu pagar padepokan ini. Dari lehernya yang terkoyak hampir buntung, sudah dapat dipastikan kalau Santika terbunuh. Tapi siapa yang membunuhnya...? Pertanyaan ini tidak mungkin bisa cepat terjawab. Karena, tak seorang pun yang tahu peristiwanya.
“Jarwa, urus mayat Santika. Lalu, secepatnya temui aku di kamar semadi,” parintah Eyang Jaraksa.
“Segera, Eyang,” sahut Jarwa cepat
Setelah memberi perintah, laki-laki tua berjubah putih itu bergegas melangkah meninggalkan ruangan yang cukup besar ini. Dua orang wanita betubuh sintal yang mendampinginya, ikut melangkah meninggalkan ruangan itu. Salah seorang yang mengenakan baju merah muda sempat melirik dan mengerling pada Jarwa. Sedangkan pemuda itu hanya membalas dengan senyum kecil di bibir.***
“Masuk...!”
Jarwa tertegun sesaat begitu terdengar suara berat dari balik pintu. Belum juga pintu diketuk, sudah terdengar suara yang menyuruhnya masuk. Perlahan pemuda itu mendorong daun pintu di depannya, lalu melangkah masuk. Di dalam ruangan yang tidak begitu besar ini sudah menunggu Eyang Jaraksa. Laki-laki tua itu duduk bersila di atas sebuah batu putih berbentuk bulat ceper.
“Tutup pintunya, Jarwa,” perintah Eyang Jaraksa.
Jarwa bergegas menutup pintu ruangan semadi itu. Pemuda itu kemudian mendekati Eyang Jaraksa, dan duduk bersila di depannya. Selembar tikar pandan menjadi alas duduk pemuda itu. Gagang pedangnya digeser sedikit, agar tidak mengganggu kenyamanan duduknya.
“Aku menghadap, Eyang. Siap menerima perintah,” ucap Jarwa dengan sikap hormat.
“Jarwa, kau tahu mengapa aku memintamu datang ke sini?” tanya Eyang Jaraksa tanpa menghiraukan sikap hormat muridnya.
Jarwa hanya menggelengkan kepala saja. Sama sekali tidak diketahuinya, apa maksud gurunya ini meminta untuk menemui di ruang semadi. Jarwa hanya bisa menduga-duga dalam hati. Tapi, pemuda itu sudah yakin kalau panggilan ini ada kaitan dengan tewasnya Santika. Hanya saja sulit diduga, perintah apa yang akan diberikan gurunya nanti.
“Sudah berapa orang murid Padepokan Tongkat Putih yang tewas dengan cara seperti ini...?”
“Lima,” sahut Jarwa perlahan.
“Dalam berapa hari?” tanya Eyang Jaraksa lagi.
“Lima hari.”
“Berarti dalam satu hari, ada yang tewas satu orang. Dan semuanya tewas dengan leher tergorok hampir putus. Kau tahu, siapa orang gila yang berani main-main dengan Padepokan Tongkat Putih, Jarwa...?” berat sekali nada suara Eyang Jaraksa.
Jarwa hanya diam saja. Perlahan-lahan kepalanya bergerak menggeleng. Memang dalam lima hari ini, sudah ada lima orang murid Padepokan Tongkat Putih yang tewas tanpa diketahui sebab musababnya. Dan mereka semua tewas dengan leher terkoyak hampir buntung. Keadaan seperti ini memang tidak menguntungkan. Semua murid Padepokan Tongkat Putih kini diliputi kegelisahan.
Selama lima hari ini, tak seorang pun yang berani keluar rumah sendirian, meskipun di siang hari. Terlebih lagi sekarang ini, setelah Santika ditemukan tewas dengan cara yang sama. Santika adalah murid kesayangan Eyang Jaraksa, selain Jarwa. Malah, tingkat kepandaiannya tidak bisa dibilang enteng, meskipun masih satu tingkat di bawah Jarwa. Tapi tewasnya Santika membuat semua murid padepokan ini jadi gentar dan cemas.
“Kejadian ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Jadi, kita tidak bisa tinggal diam begitu saja. Secepatnya orang gila itu harus ditemukan,” tegas Eyang Jaraksa, agak ditekan nada suaranya.
Jarwa tetap diam. Dia tahu, gurunya ini tengah memendam kemarahan. Lima orang muridnya tewas secara gelap. Dan itu menyakitkan sekali. Hal ini merupakan sebuah tamparan keras bagi laki-laki tua ini Jarwa bisa merasakan, bagaimana marahnya laki-laki tua ini.
“Tinggal kau satu-satunya murid utama di padepokan ini. Maka aku hanya bisa menaruh harapan padamu untuk menyelesaikan persoalan ini, Jarwa,” sambung Eyang Jaraksa.
Jarwa tersentak kaget, sampai-sampai mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki tua itu. Pemuda itu seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sungguh tidak disangka kalau Eyang Jaraksa menaruh harapan yang begitu besar padanya untuk menyelesaikan kemelut ini.
“Kau bisa mengerti maksudku, Jarwa?” tanya Eyang Jaraksa seraya menatap tajam muridnya ini
“Mengerti, Eyang,” sahut Jarwa seraya menundukkan kepala.
“Aku memberikan kebebasan kepadamu. Hanya satu yang kuinginkan. Secepatnya, bekuk manusia gila itu sebelum jatuh korban lebih banyak lagi,” tegas Eyang Jaraksa lagi.
Jarwa hanya menganggukkan kepala saja, dan tidak tahu lagi harus berkata apa. Perintah sudah dijatuhkan, dan tidak mungkin bisa ditolak. Apa pun yang terjadi, perintah itu harus dijalankan. Meskipun, hatinya menjerit ingin menolak.
“Pergilah sebelum gelap, dan bawa ini untuk peganganmu.”
Eyang Jaraksa menyodorkan sebatang tongkat putih yang lurus sepanjang lengan. Dengan sikap ragu-ragu, Jarwa menerima benda itu, kemudian bangkit berdiri. Tubuhnya dibungkukkan sedikit, memberi hormat pada laki-laki tua itu.
“Tinggalkan pedang itu, Jarwa. Kau tidak memerlukannya lagi,” kata Eyang Jaraksa.
Tanpa membantah sedikit pun, Jarwa melepaskan pedangnya. Kemudian diserahkan pada gurunya. Eyang Jaraksa menerima pedang itu. Setelah memberi hormat sekali lagi, Jarwa bergegas keluar dari ruangan semadi ini. Tongkat putih yang menjadi lambang dari padepokan ini kini berada di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
57. Pendekar Rajawali Sakti : Penjagal Bukit Tengkorak
ActionSerial ke 57. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.