Di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir di lereng Bukit Tengkorak sebelah Timur, Suryadana duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang. Sehingga, tubuhnya ternaungi dari sengatan sinar matahari. Paha kanannya sudah terbalut kain putih yang bernoda darah, tapi sekarang tak ada lagi setetes darah pun yang keluar.
Laki-laki bertubuh tegap dan agak kecoklatan itu menggerakkan tubuhnya ketika dari sungai seorang gadis cantik berbaju biru muda menghampiri. Di tangannya membawa air yang ditampung oleh tempurung kelapa. Sambil menyunggingkan senyum, gadis itu menghampiri Suryadana dan menyerahkan tempurung kelapa berisi air jernih itu. Suryadana menerimanya sambil melemparkan senyum, lalu meneguk air hingga habis.
“Terima kasih,” ucap Suryadana.
“Bagaimana lukamu, Paman?” tanya gadis itu lembut.
“Masih terasa nyeri,” sahut Suryadana. “Di mana Rangga, Pandan?”
“Cari makanan,” sahut gadis cantik berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi atau si Kipas Maut.
“Hhh.... Untung saja dia cepat datang. Kalau tidak..., kalian pasti hanya akan menemukan mayatku,” desah Suryadana perlahan.
“Sudahlah, Paman. Yang penting Paman harus beristirahat dulu. Nanti kalau Kakang Rangga datang, kita bicarakan lagi,” kata Pandan Wangi mengalihkan kegalauan hati Suryadana.
Suryadana tersenyum dan menyerahkan tempurung kelapa yang sudah kosong pada gadis itu. Pandan Wangi menerimanya seraya bangkit berdiri.
“Mau lagi?” tanya Pandan Wangi.
“Sudah cukup,” tolak Suryadana.
Pandan Wangi kembali duduk di depan laki-laki setengah baya yang bertubuh masih kekar itu, meskipun rambutnya sudah ada yang memutih. Sebentar Suryadana memejamkan matanya, kemudian membukanya kembali. Pandangannya langsung tertuju pada seraut wajah cantik di depannya.
“Sudah berapa lama kau kenal Rangga, Pandan?” tanya Suryadana.
“Lama juga,” sahut Pandan Wangi. “Dan Paman sendiri, sudah berapa lama kenal Kakang Rangga?” Pandan Wangi balik bertanya.
“Sejak dia lahir. Aku kenal betul ayah dan ibunya. Tapi, lama juga aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Dan tahu-tahu, aku menerima undangan saat penobatan Rangga sebagai raja di Karang Setra. Aku sendiri tidak pernah membayangkan kalau Karang Setra bisa menjadi sebuah kerajaan yang begitu makmur,” Suryadana jadi terkenang masa-masa lalunya.
“Aku dengar, Paman seorang pejabat penting di Kadipaten Karang Setra dulu,” pancing Pandan Wangi, ingin mengenal lebih jauh lagi laki-laki setengah baya ini.
“Bukan pejabat penting. Aku hanya pesuruh yang harus menjalankan tugas menghukum mati penjahat-penjahat di Karang Setra,” ujar Suryadana merendah.
“Jadi itu sebabnya, kenapa Paman dijuluki si Penjagal Bukit Tengkorak...?”
“Benar! Apalagi, aku memang tinggal di puncak Bukit Tengkorak. Dan di sana juga aku menjalankan tugas. Semua terhukum yang akan menjalankan hukuman mati dibawa ke Bukit Tengkorak. Hanya sekali-sekali saja aku turun dan datang ke Karang Setra.”
“Lalu, kenapa Paman berhenti?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Ha ha ha...! Aku rasa kau sudah bisa menjawabnya, Pandan. Tidak ada seorang pun yang bercita-cita ingin menjadi penjagal kepala,” sahut Suryadana seraya tertawa bergelak.
Pandan Wangi jadi meringis, merasa pertanyaannya tadi begitu bodoh. Memang tidak ada seorang pun yang ingin jadi pemenggal kepala, meskipun yang dilakukan adalah tugas. Gadis itu bangkit berdiri ketika terdengar langkah kaki kuda, disusul ringkikan yang panjang dan keras.
Dari dalam semak, muncul seekor kuda hitam gagah yang ditunggangi seorang pemuda tampan. Dia berbaju rompi putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari punggungnya. Pemuda tampan itu melompat turun dari punggung kudanya, lalu memberikan sebuah bungkusan pada Pandan Wangi. Kemudian dihampirinya Suryadana yang menyambutnya dengan senyuman lebar terkembang di bibir.
“Bagaimana keadaanmu, Paman?” tanya pemuda itu.
“Tidak ada masalah. Pandan Wangi merawatku dengan baik,” sahut Suryadana.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah membuka bungkusan yang dibawa pemuda berbaju rompi putih itu, yang tak lain Rangga atau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Bungkusan itu ternyata berisi macam-macam makanan yang masih mengepulkan uap harum.
“Dari mana kau dapatkan makanan ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Dari desa. Tidak jauh dari sini, kok,” sahut Rangga.
“Yuk makan dulu, Paman. Biar cepat sembuh lukanya,” ajak Pandan Wangi.
“Ah! Aku tidak pernah membayangkan akan bisa makan sama-sama Penguasa Karang Setra,” desah Suryadana.
“Tidak ada penguasa di sini, Paman,” kata Rangga merendah.
“Bagaimanapun juga, kau tetap seorang raja, Rangga,” tegas Suryadana seraya menerima makanan dari Pandan Wangi.
“Tapi, kenapa Paman tidak menyebutnya Gusti Prabu...?” timpal Pandan Wangi.
“Gusti Prabu...? Ha ha ha...!” Suryadana jadi tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa tertawa, Paman?” tanya Pandan Wangi.
“Tanyakan saja pada Rangga. Kapan aku pernah menyebut gusti pada seseorang,” sahut Suryadana sambil melirik Rangga.
“Tidak pernah,” tegas Rangga.
“Nah, dengar itu. Meskipun seorang penguasa mayapada, tidak bakal aku akan panggil gusti, atau apa pun namanya.”
“Kenapa?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Karena aku si Penjagal Bukit Tengkorak,” sahut Suryadana. “Ha ha ha...!”
Rangga juga ikut tertawa. Sedangkan Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Suryadana memang mudah sekali tertawa. Mungkin karena pekerjaannya dulu, sehingga harus selalu tertawa agak tidak jadi gila. Karena, hampir setiap hari dia harus melihat darah mengalir dari kepala yang dipenggalnya. Mereka terus menikmati makanan yang dibawa Rangga sambil berbicara ringan. Sesekali tawa mereka meledak jika ada yang membuat lelucon menggelitik.
Rangga merebahkan tubuhnya dengan kedua tangan mengganjal kepala. Api unggun yang menyala di sampingnya, membuat sekitar tepi sungai itu jadi terasa sedikit hangat. Tidak jauh darinya, tampak Pandan Wangi sudah melingkar, dan mendengkur kecil. Rangga melirik Suryadana yang juga belum memejamkan mata. Padahal, ini sudah lewat tengah malam.
“Paman! Bisa dijelaskan sekarang, kenapa orang tua siang tadi menyerangmu?” tanya Rangga sambil memiringkan tubuhnya, menghadap pada Suryadana.
“Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja dia datang bersama murid-muridnya, lalu menyerangku,” sahut Suryadana pelan.
“Murid-muridnya...?” kening Rangga agak berkerut.
“Dia Ketua Padepokan Tongkat Putih. Namanya, Eyang Jaraksa. Padepokannya ada di lereng bukit sebelah Selatan, di sebuah lembah,” jelas Suryadana.
“Ooo...,” Rangga mengangguk-anggukkan kepala. “Lalu, kenapa dia menyerangmu?”
“Aku sendiri tidak tahu.”
“Mustahil bila seorang ketua padepokan menyerang tanpa alasan,” Rangga tidak percaya.
“Tuduhannya yang tanpa alasan.”
“Tuduhan apa, paman?”
“Aku dituduh telah membunuh murid-muridnya.”
“Kau lakukan itu?”
“Untuk apa...?! Sudah lebih dua puluh tahun aku tidak pernah melihat darah lagi, kecuali darah ayam atau kelinci. Memangnya aku sudah gila, main bunuh orang tanpa alasan...?!” agak tinggi nada suara Suryadana.
“Aku percaya padamu, Paman,” ujar Rangga.
“Kepercayaan tidak ada gunanya tanpa bukti yang jelas.”
“Maksudmu...?”
“Akan kubuktikan kalau tuduhan Eyang Jaraksa tidak benar. Aku yakin, ada orang yang menggunakan namaku untuk menghancurkan Padepokan Tongkat Putih,” tegas Suryadana.
“Kau tahu, siapa orang ketiga itu?” tanya Rangga.
“Terlalu banyak musuh Eyang Jaraksa. Juga, tidak sedikit musuhku. Sukar ditentukan, siapa dalang semua fitnah keji ini. Bisa kau bayangkan, Rangga. Pekerjaanku sebagai penjagal kepala, tentu tidak sedikit kepala yang sudah jadi korban pedangku. Entah, berapa banyak keluarga atau sahabat-sahabat mereka yang menaruh dendam padaku. Hhh...! Aku merasa akan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.”
“Barangkali kehadiranku bisa sedikit membantu, Paman,” kata Rangga menawarkan jasa.
“Persoalanmu sendiri sudah terlalu banyak, Rangga. Jangan melibatkan dirimu dalam persoalan ini,” dengan halus Suryadana menolak bantuan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya mengangkat bahunya sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau sifat Suryadana begitu keras, dan tidak pernah mau melibatkan orang lain dalam persoalan yang sedang dihadapinya. Dia akan menyelesaikan sendiri, walau apa pun yang harus dihadapi. Tapi Rangga tidak mungkin tinggal diam begitu saja, melihat orang yang pernah mengabdi pada ayahnya terlibat dalam kesulitan besar. Bahkan dapat mengancam jiwanya.
“Sudah terlalu malam. Sebaiknya kau tidur saja, Rangga. Besok kau harus ke Desa Jati, bukan...?” ujar Suryadana mengingatkan.
“Ya, ada urusan sedikit di sana,” sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kembali menelentangkan tubuhnya. Perlahan kemudian, matanya terpejam. Namun, Rangga sama sekali tidak bisa tidur. Benaknya terus berputar, memikirkan persoalan yang sedang dihadapi Suryadana. Dia percaya kalau laki-laki tegap itu tidak melakukan pembunuhan keji, seperti yang dituduhkan Eyang Jaraksa.
Sementara, Suryadana tengah membuka balutan pada pahanya. Dia tersenyum melihat luka di pahanya sudah mengering. Ramuan obat yang dibuat Pandan Wangi memang cukup manjur juga. Dalam waktu kurang dari satu hari, luka yang besar itu sudah mengering. Suryadana menggerak-gerakkan kakinya perlahan.
“Hm.... Aku rasa besok sudah bisa berlari cepat,” gumam Suryadana dalam hati.
Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang melingkar di samping Pendekar Rajawali Sakti. Dalam hati, diucapkannya terima kasih pada gadis itu, yang telah merawat dan memberikan obat pada lukanya. Untung saja hanya luka luar, sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
57. Pendekar Rajawali Sakti : Penjagal Bukit Tengkorak
AçãoSerial ke 57. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.