Rangga menggeser kakinya mendekati si Penjagal Bukit Tengkorak. Ada rasa iba di hatinya melihat keadaan laki-laki bertubuh tegap itu. Kelihatannya, dia terjepit sekali. Tiga anak muda dari Padepokan Tongkat Putih telah menuduhnya membunuh beberapa orang teman mereka. Dan persoalan itu belum juga selesai, muncul seorang perempuan tua berjubah hitam yang membawa persoalan baru lagi.
Meskipun tidak tahu persoalan apa yang dibawa si Dewi Jubah Hitam itu, tapi Rangga sudah bisa menebak kalau urusannya tentu menyangkut nyawa juga. Pendekar Rajawali Sakti teringat pembicaraannya dengan Suryadana semalam. Si Penjagal Bukit Tengkorak itu mengakui kalau dalam hidupnya selalu dikelilingi orang-orang yang hendak membalas dendam. Pekerjaannya sebagai penjagal kepala orang-orang hukuman, sudah barang tentu akan menimbulkan kebencian dan dendam bagi keluarga, maupun sahabat terhukum. Dan Rangga sudah menduga kalau urusan yang dibawa si Dewi Jubah Hitam tentu ada hubungannya dengan pekerjaan Suryadana di masa lalu itu.
“Tampaknya, tidak menguntungkan, Paman,” bisik Rangga. “Sebaiknya, kau cepat pergi. Biar mereka yang akan mengejarmu kuhadang.”
“Aku bukan pengecut, Rangga,” tolak Suryadana tegas.
“Kau memang harus membuktikan kalau tidak bersalah. Tapi, bukan dengan cara seperti ini, Paman,” kata Rangga lagi.
“Mereka sudah menjual, Rangga. Dan aku tidak bisa menolak untuk membelinya. Lagi pula, si Dewi Jubah Hitam punya urusan lain. Maaf, aku tidak bisa pergi dan dianggap pengecut.”
“Ada urusan apa antara kau dengan perempuan tua itu?” tanya Rangga.
“Adiknya seorang perampok, pembunuh dan pemerkosa yang dijatuhi hukuman mati. Dan akulah pelaksana hukuman itu. Sudah dua kali dia mencoba membalas kematian adiknya padaku. Dan aku tahu, dia tidak akan puas sebelum melihat darahku mengalir,” dengan singkat Suryadana menjelaskan.
Sementara Suryadana sudah bergerak ke samping menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan si Penjagal Bukit Tengkorak itu diikuti Dewi Jubah Hitam. Mereka lalu berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar dua batang tombak.
“Mau apa mereka?” tanya Arini berbisik pada Jarwa.
“Aku tidak tahu,” sahut Jarwa seraya mengangkat pundaknya.
Sementara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam sudah bersiap bertarung, Rangga memperhatikan sikap tiga orang dari Padepokan Tongkat Putih. Pendekar Rajawali Sakti berjaga-jaga agar ketiga orang itu tidak ikut campur. Pada saat itu, Pandan Wangi datang. Langsung dihampirinya Rangga begitu turun dari punggung kudanya.
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Nanti akan kujelaskan,” sahut Rangga.
Sebentar Pandan Wangi memperhatikan Suryadana dan Dewi Jubah Hitam yang sudah membuka kembangan jurus, kemudian melirik Jarwa, Arini, dan Purmita yang juga tengah memperhatikan dua orang itu. Sementara Rangga terus mengawasi tiga orang dari Padepokan Tongkat Putih ini.
“Hiyaaat!”
“Yeaaah...!”
Pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam tidak dapat dihindari lagi. Mereka langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat. Jarwa yang tadi sempat bertarung dengan si Penjagal Bukit Tengkorak, sempat terhenyak menyaksikan pertarungan tingkat tinggi yang begitu dahsyat dan mengagumkan.
Jarwa cepat menyadari kalau dalam pertarungan dengannya tadi, si Penjagal Bukit Tengkorak itu tidak bersungguh-sungguh mengerahkan semua kemampuannya. Walaupun demikian, sangat sukar bagi Jarwa untuk memasukkan serangannya. Bahkan sedikit pun tidak dapat mendesak. Kini seakan-akan mata murid Padepokan Tongkat Putih itu baru terbuka, kalau lawan yang tadi dihadapi bukanlah tandingannya.
Sementara pertarungan itu terus berlangsung, diam-diam Jarwa mendekati Rangga yang sejak tadi memang memperhatikannya. Jarwa berdiri sekitar dua langkah lagi di samping Rangga. Sedangkan Arini dan Purmita hanya melirik sedikit. Kedua gadis itu kembali memusatkan perhatian ke arah pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam.
“Sudah lama kau kenal si Penjagal Bukit Tengkorak?” tanya Jarwa, agak berbisik suaranya.
“Lama juga,” sahut Rangga seraya melirik sedikit pemuda di sampingnya ini.
“Aku rasa, mungkin kau benar. Kami telah salah menuduh,” kata Jarwa tanpa malu-malu lagi.
Rangga jadi berkerut keningnya. Wajahnya berpaling, menatap pemuda murid Padepokan Tongkat Putih itu dalam-dalam. Seakan-akan dia ingin mencari kepastian dari ucapan Jarwa barusan. Sedangkan Jarwa mengarahkan pandangan pada pertarungan. Pemuda itu seakan-akan tidak mempedulikan pandangan Rangga yang bernada menyelidik kebenaran dari ucapannya tadi.
“Menurutmu, siapa pelaku pembunuhan di Padepokan Tongkat Putih yang sebenarnya, Kisanak?” tanya Jarwa tanpa berpaling sedikit pun.
“Rangga! Panggil saja aku Rangga,” Rangga menyebutkan namanya tanpa menjawab pertanyaan tadi.
“Hm.... Kau tahu, siapa pelaku pembunuhan itu, Rangga?” Jarwa mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
“Sulit dipastikan,” sahut Rangga.
“Sewaktu aku meninggalkan padepokan, sudah lima orang yang tewas secara gelap. Dan baru tadi kudengar kabar, ada tiga lagi yang tewas. Satu orang sempat memberi tahu padaku kalau pelakunya si Penjagal Bukit Tengkorak. Purmita-lah yang memberi tahu. Dia sengaja meninggalkan padepokan untuk memberi tahu hal itu padaku,” jelas Jarwa tanpa diminta. “Dan kebetulan, waktu kami akan kembali ke padepokan, bertemu si Penjagal Bukit Tengkorak. Dia juga akan ke sana, makanya aku mencoba mencegah dan terjadilah pertarungan tadi.”
“Kau percaya kalau si Penjagal Bukit Tengkorak yang melakukan?” tanya Rangga agak menyelidik.
Jarwa tidak menjawab. Kelihatannya pemuda itu ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Kembali matanya beralih ke arah pertarungan yang berlangsung semakin sengit. Entah sudah berapa jurus, tapi tampaknya masih akan terus berlangsung lama. Belum ada tanda-tanda akan berakhir. Masing-masing kelihatan masih tetap tangguh, dan belum ada yang mampu mendesak.
Rangga mencolek sedikit lengan Pandan Wangi. Dan gadis itu berpaling menatapnya. Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan Pandan Wangi agar lebih mendekat dengannya. Gadis itu menuruti saja tanpa membantah.
“Kau tetap di sini. Kalau terjadi sesuatu pada Paman Suryadana, cepat bantu,” kata Rangga berbisik.
“Kau akan ke mana?” tanya Pandan Wangi langsung tanggap.
“Aku akan pergi bersama pemuda ini,” sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Jarwa lagi, sebelum Pandan Wangi bisa bersuara lagi. Jarwa sedikit melirik pada pemuda berbaju rompi putih itu.
“Antarkan aku ke padepokanmu,” pinta Rangga.
“Untuk apa ke sana?” tanya Jarwa heran.
“Katakan saja pada kedua gadis itu. Kalau bisa, jaga jangan sampai si Penjagal Bukit Tengkorak mendapat celaka,” ujar Rangga bersungguh-sungguh.
Sebentar Jarwa memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bergegas menghampiri Arini dan Purmita. Murid Padepokan Tongkat Putih itu bicara sebentar dengan kedua gadis cantik itu, kemudian kembali menghampiri Rangga sambil menuntun kudanya. Sedangkan Rangga kembali mendekati Pandan Wangi.
“Berhati-hatilah, Pandan. Jangan bertindak ceroboh,” pesan Rangga.
“Jangan khawatir. Kalau perlu, aku bisa mengatasi perempuan tua itu,” sahut Pandan Wangi.
Rangga cepat melompat ke punggung kudanya. Sedangkan Jarwa sudah sejak tadi berada di punggung kudanya sendiri. Tak berapa lama kemudian, kedua pemuda itu sudah memacu cepat kudanya menuju Padepokan Tongkat Putih.
Cepat sekali mereka memacu kudanya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka sudah begitu jauh dan lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Sementara pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam masih berlangsung sengit. Meskipun hanya dengan bertangan kosong saja, Suryadana kelihatan mampu mengimbangi permainan tongkat perempuan tua berjubah hitam itu.
“Hup! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Dewi Jubah Hitam melompat ke udara sambil berputaran dua kali. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras, dan tongkatnya berkelebat cepat mengincar kepala si Penjagal Bukit Tengkorak itu.
“Hap!”
Cepat sekali si Penjagal Bukit Tengkorak mengegoskan kepalanya, menghindari tebasan ujung tongkat yang runcing itu. Dan secepat kilat, dia melesat ke udara. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat ke arah dada Dewi Jubah Hitam.
“Hiyaaa...!”
Pada saat yang sama, Dewi Jubah Hitam juga menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambutnya pukulan tangan kanan Suryadana. Tak dapat dihindari lagi, dua pukulan bertenaga dalam tinggi beradu keras sekali di udara, sehingga menimbulkan ledakan menggelegar memekakkan telinga.
Dua orang yang bertarung itu berpentalan satu sama lain ke belakang. Mereka berputaran di udara beberapa kali, lalu sama-sama mendarat kokoh di tanah. Tapi Dewi Jubah Hitam kelihatan agak terhuyung sedikit. Dari sudut bibirnya mengalir darah kental. Tongkatnya kontan dihentakkan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya.
“Kau memperoleh kemajuan yang sangat pesat Dewi Jubah Hitam,” puji Suryadana tulus.
“Phuih!” Dewi Jubah Hitam menyemburkan ludahnya yang telah bercampur darah.
Perempuan tua berjubah hitam itu menyadari kalau sudah menderita luka dalam akibat benturan kekuatan tenaga dalam tadi. Dan dia melihat si Penjagal Bukit Tengkorak itu sama sekali tidak mengalami pengaruh apa-apa.
Bet!
Dewi Jubah Hitam kembali mengebutkan tongkatnya. Dan sambil berteriak nyaring melengking tinggi, dia melompat cepat sambil menghunjamkan ujung runcing tongkatnya ke dada Suryadana.
“Hait!”
Sedikit saja Suryadana mengegoskan tubuhnya ke kiri, maka tongkat itu lewat di depan dada. Lalu tangan kirinya cepat dikibaskan, menyodok ke arah lambung. Begitu cepatnya kibasan itu, sehingga Dewi Jubah Hitam tidak sempat lagi menghindar.
Des!
“Hugkh...!” Dewi Jubah Hitam mengeluh pendek Perempuan tua itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh agak membungkuk. Pada saat itu, Suryadana melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu keras dan cepatnya pukulan itu, hingga tepat mendarat di wajah Dewi Jubah Hitam.
“Hiyaaa...!”
Prak!
“Aaakh...!” Dewi Jubah Hitam menjerit melengking panjang. Kepalanya terdongak ke atas, dan tubuhnya berputar beberapa kali. Kemudian, dia ambruk menggelepar di tanah sambil meraung menutupi muka dengan kedua tangannya. Dari sela-sela jari tangannya, mengalir darah segar yang cukup deras. Agak lama juga Dewi Jubah Hitam menggelepar di tanah, lalu kembali melesat bangkit berdiri. Darah terus mengucur dari wajahnya yang retak akibat pukulan bertenaga dalam tinggi dari si Penjagal Bukit Tengkorak.
Sukar dikenali lagi wajah perempuan tua itu, karena terlalu banyak darah yang mengucur di wajahnya. Dengan ujung jari kakinya, wanita tua itu menjentikkan tongkatnya yang tergeletak di tanah, lalu dengan cepat menangkap tongkat itu. Secepat tongkatnya ditangkap, secepat itu pula meluruk deras menyerang Suryadana lagi.
“Hiyaaat..!”
“Hih! Yeaaah...!”
Kembali Suryadana memiringkan tubuhnya, dan cepat sekali menghentakkan tangan kanannya. Kontan dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak sampai di situ saja serangan Suryadana. Seketika, dilepaskannya satu tendangan keras ke arah dada perempuan tua berjubah hitam itu.
“Aaa...!” Dewi Jubah Hitam menjerit keras melengking tinggi.
Satu pukulan dan tendangan yang dilepaskan Suryadana, tepat menghantam dada wanita tua itu. Akibatnya Dewi Jubah Hitam terpental deras sejauh tiga batang tombak. Sebongkah batu yang cukup besar, menghentikan luncuran tubuhnya. Sebentar dia menggeliat, lalu mengejang kaku dan tak bergerak-gerak lagi. Suryadana menarik napas panjang seraya memandangi tubuh Dewi Jubah Hitam yang sudah tidak bernyawa lagi.
Penjagal Bukit Tengkorak itu memutar tubuhnya, langsung menatap Arini dan Purmita. Kedua gadis itu tampak gentar melihat kedigdayaan Suryadana. Terlebih lagi Arini, yang sudah pernah bertarung melawan Dewi Jubah Hitam. Saat itu Pandan Wangi bergegas menghampiri Suryadana.
“Kau tidak apa-apa, Paman?” tanya Pandan Wangi.
“Tidak,” sahut Suryadana. “Mana Rangga...?”
“Pergi, bersama teman kedua gadis itu,” sahut Pandan Wangi.
“Ayo kita susul, Pandan,” ajak Suryadana. Baru saja si Penjagal Bukit Tengkorak itu hendak melompat ke punggung kudanya, mendadak saja Arini berteriak lantang mencegah.
“Tunggu...!”
Suryadana tidak jadi melompat naik ke punggung kudanya. Langsung ditatapnya gadis cantik berbaju merah muda itu. Sementara Arini sudah melangkah beberapa tindak ke depan. Tangannya menggenggam erat gagang pedang yang masih tergantung di dalam warangkanya di pinggang. Tatapan mata gadis itu demikian tajam, meskipun di hatinya terselip rasa gentar.
“Apa yang kau inginkan lagi? Kau tahu kalau bukan aku yang membunuh murid-murid ayahmu!” agak bernada kesal suara Suryadana.
“Apa jaminan dan buktinya kau tidak bersalah?” tanya Arini tegas.
Suryadana melirik Pandan Wangi sedikit. Dan gadis itu bisa mengerti arti lirikan si Penjagal Bukit Tengkorak ini.
“Aku jaminannya, dan kau akan memperoleh bukti,” tegas Pandan Wangi mantap.
Arini menatap penuh selidik pada si Kipas Maut itu. Bibirnya langsung dicibirkan sedikit.
“Apa hubunganmu dengannya?” tanya Arini.
“Hanya teman,” sahut Pandan Wangi mulai tidak menyukai sikap gadis ini yang kelihatannya begitu angkuh.
“Hanya teman...?” terasa sinis nada suara Arini.
“Apa maksudmu, Nisanak...?” sentak Pandan Wangi.
Arini hanya mencibir saja. Meskipun sudah berusia setengah baya, tapi Suryadana masih kelihatan gagah. Ketampanan wajahnya masih tersisa. Tubuhnya juga tegap, meskipun agak kecoklatan, karena sering berpanas-panas di bawah teriknya sinar matahari. Tanpa dijelaskan pun, Pandan Wangi sudah bisa mengerti sikap dan tatapan mata Arini. Dan ini semakin membuatnya muak. Tapi Pandan Wangi mencoba untuk tetap bersabar. Dia ingat pesan Rangga untuk tidak bertindak apa-apa pada kedua gadis ini.
“Sudah! Jangan dilayani, Pandan. Ayo, kita cepat menyusul Rangga,” ujar Suryadana yang sudah memahami watak Arini.
Suryadana cepat melompat naik ke punggung kudanya. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Mereka cepat menggebah kudanya meninggalkan tempat itu. Arini berteriak-teriak kesal, karena tidak dipedulikan sama sekali. Maka, gadis itu segera memungut sebuah batu. Hampir saja batu itu dilemparkan ke arah Pandan Wangi. Untung saja Purmita cepat menangkap tangan Arini yang sudah terangkat naik.
“Jangan bodoh, Arini! Biarkan mereka pergi,” sentak Purmita.
“Huh!” Arini mendengus kesal.
Gadis itu menurunkan tangannya, dan melemparkan batu itu disertai rasa kesal sambil mendengus. Dipandanginya Pandan Wangi dan Suryadana yang sudah jauh meninggalkan tempat ini. Kemudian tubuhnya berputar, dan melangkah menghampiri kudanya. Sementara Purmita hanya memandangi adiknya. Dia cepat melesat begitu Arini naik ke atas punggung kudanya. Purmita kini sudah duduk di punggung kudanya sendiri.
“Hiya!”
“Hiyaaa...!”
Kedua gadis putri Eyang Jaraksa itu menggebah cepat kudanya. Mereka langsung menuju ke Padepokan Tongkat Putih. Cepat sekali mereka memacu kudanya, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan daerah berbatu itu. Tak ada sorang pun yang menyadari kalau di suatu tempat tersembunyi, sepasang mata selalu memperhatikan sejak tadi. Bersamaan dengan menghilangnya kedua gadis dari Padepokan Tongkat Putih itu ke dalam hutan, berkelebat sebuah bayangan biru gelap dari sebongkah batu yang cukup besar.
Tahu-tahu di dekat mayat Dewi Jubah Hitam, sudah berdiri seseorang yang mengenakan baju biru gelap panjang. Seluruh kepalanya terselubung kain biru, dengan dua lubang kecil pada bagian matanya. Dipandanginya mayat Dewi Jubah Hitam sebentar, lalu berpaling ke arah Padepokan Tongkat Putih yang berada di balik hutan di depannya.
“Rangga.... Hhh! Kau tidak akan bisa merubah keyakinan tua bangka itu dalam menuduh si Penjagal Bukit Tengkorak. Aku tahu siapa kau, Rangga...,” desis orang berbaju biru gelap itu dingin.
Mendadak saja sosok tubuh itu melesat cepat. Dan sekejapan mata saja sudah lenyap bagai tertelan bumi. Daerah berbatu itu jadi sunyi. Yang tinggal kini hanya mayat Dewi Jubah Hitam yang terbujur kaku.***
KAMU SEDANG MEMBACA
57. Pendekar Rajawali Sakti : Penjagal Bukit Tengkorak
БоевикSerial ke 57. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.