BAGIAN 3

632 23 0
                                    

Sementara itu suasana di Padepokan Tongkat Putih semakin menegang. Sejak Jarwa meninggalkan padepokan itu, sudah tiga orang lagi murid Eyang Jaraksa yang ditemukan tewas tidak jauh dari bangunan besar di tengah-tengah lembah di lereng Bukit Tengkorak ini.
Dan yang terakhir, satu orang sempat lolos. Dia kembali ke padepokan meskipun dengan tubuh berlumuran darah. Langsung ditemuinya Eyang Jaraksa yang saat itu tengah berbincang-bincang bersama putri sulungnya. Laki-laki tua itu terkejut melihat muridnya datang dengan tubuh berlumuran darah.
“Gandik.... Apa yang terjadi?! Kenapa kau berlumuran darah begini...?” tanya Eyang Jaraksa terkejut
“Dia.... Dia datang lagi, Eyang,” sahut Gandik seraya meringis menahan sakit.
“Dia siapa...?”
“Penjagal Bukit Tengkorak.... Akh!”
“Gandik...!”
Eyang Jaraksa bergegas menghampiri, tapi Gandik sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Saat itu, seluruh murid Padepokan Tongkat Putih ini sudah berkumpul. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mreka begitu ngeri melihat keadaan tubuh Gandik yang penuh luka dan berlumuran darah. Bahkan tangan kiri anak muda itu buntung dari pangkalnya.
“Penjagal Bukit Tengkorak...,” desis Eyang Jaraksa agak menggumam.
Laki-laki tua berjubah putih itu bergegas melangkah menuju samping rumah. Purmita, putri sulungnya segera mengikuti. Sedangkan semua murid-murid di padepokan ini hanya bisa memandangi tanpa melakukan sesuatu.
“Ayah....,” panggil Purmita seraya mempercepat langkahnya, dan mensejajarkan diri di samping lakilaki tua itu.
Eyang Jaraksa berhenti melangkah. Ditatapnya anak gadisnya ini lekat-lekat. Perlahan tangannya terulur dan memegang pundak Purmita.
“Kau lekas pergi, Purmita. Cari adikmu. Aku yakin, dia menyusul Jarwa,” ujar Eyang Jaraksa sebelum putri sulungnya ini berbicara.
“Ayah sendiri akan ke mana?” tanya Purmita.
“Aku harus menemui si Penjagal Bukit Tengkorak. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya ini,” tegas Eyang Jaraksa.
Purmita tidak mencegah lagi ketika ayahnya melompat naik ke punggung kuda yang tertambat di sebatang pohon. Eyang Jaraksa memandangi murid-muridnya yang berdiri saja di belakang Purmita.
“Kalian ambil kuda masing-masing, dan ikut aku!” perintah Eyang Jaraksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, sekitar tiga puluh orang murid laki-laki tua berjubah putih itu bergegas mengambil kuda. Tak berapa lama kemudian, mereka bergerak cepat meninggalkan padepokan. Tinggal Purmita sendiri yang memandangi kepergian mereka.
“Ke mana aku harus mencari Arini...?” keluh Purmita bertanya pada dirinya sendiri.
Arini pergi sejak kemarin, bersamaan dengan kepergian Jarwa yang mendapat tugas dari Eyang Jaraksa. Perlahan gadis itu menghampiri seekor kuda yang tidak jauh darinya. Lalu, dia naik ke punggung kuda itu. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Kemudian tali kekang kudanya disentakkan hingga bergerak perlahan meninggalkan padepokan ini.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Purmita segera menggebah kudanya begitu melewati pintu gerbang Padepokan Tongkat Putih, menuju ke arah yang berlawanan dengan yang dituju rombongan ayahnya. Arah yang dituju gadis itu jelas ke Desa Jati. Desa yang terdekat dari Padepokan Tongkat Putih.

***

Sementara itu Eyang Jaraksa dan murid-muridnya terus bergerak mendaki Bukit Tengkorak. Mereka menuju puncak bukit yang jarang didatangi orang. Meskipun ada jalan yang cukup lebar untuk menuju ke sana.
Rombongan itu baru berhenti setelah sampai di puncak Bukit Tengkorak. Eyang Jaraksa melompat turun dari punggung kudanya. Tatapan matanya begitu tajam tak berkedip, lurus ke arah sebuah gubuk kecil yang dikelilingi kebun sayuran. Seorang laki-laki berusia setengah baya dengan tubuh coklat dan kekar, tengah sibuk merawat tanamannya.
“Suryadana...!” teriak Eyang Jaraksa lantang menggelegar.
Laki-laki bertubuh tegap berotot itu mengangkat kepalanya. Dia seperti tertegun ketika melihat banyak orang di seberang kebunnya ini. Bergegas dia berdiri, lalu melangkah menghampiri. Keningnya semakin berkerut begitu mengenali orang yang memanggilnya. Laki-laki berperawakan kekar yang dipanggil Suryadana ini menghentikan langkahnya.
“Eyang Jaraksa.... Tidak biasanya kau ke sini? Ada perlu apa, Eyang?” tanya Suryadana seraya mengamati pemuda-pemuda yang berada di belakang laki-laki tua berjubah putih itu.
“Jangan banyak tanya! Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu, Suryadana!” bentak Eyang Jaraksa.
“Bertanggung jawab...?” Suryadana jadi kebingungan. “Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang Jaraksa?”
“Jangan pura-pura, Setan! Berapa orang lagi muridku yang akan kau penggal kepalanya, heh...?”
“Tunggu dulu. Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Kau tiba-tiba datang dan marah-marah begini. Bahkan menuntutku harus bertanggung jawab. Apa sebenarnya yang terjadi, sehingga kau marah-marah begini...?” Suryadana meminta penjelasan.
“Masih juga ingin berkelit kau, Setan Keparat! Hiyaaat..!”
Eyang Jaraksa tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Bagaikan kilat, tongkatnya dikibaskan ke arah kepala Suryadana. Sejenak laki-laki bertubuh kekar yang tidak mengenakan baju itu terperangah, namun cepat merundukkan kepalanya. Maka tebasan tongkat Eyang Jaraksa tidak sampai mengenai sasaran.
“Bagus! Bela dirimu sebelum kukirim ke neraka!” desis Eyang Jaraksa dingin.
Suryadana menggeser kakinya ke belakang dua langkah. Dia masih belum mengerti maksud kedatangan laki-laki tua berjubah putih yang dikenal sebagai Ketua Padepokan Tongkat Putih itu. Namun melihat sinar mata dan raut wajah yang memerah, Suryadana bisa memastikan kalau Eyang Jaraksa tengah memendam amarah yang sukar dikendalikan lagi.
“Kendalikan amarahmu, Eyang Jaraksa. Jelaskan dulu persoalannya. Kenapa tiba-tiba kau datang lalu meminta pertanggungjawabanku?” Suryadana masih meminta penjelasan dari ketidakmengertiannya.
“Sudah cukup kau membantai murid-muridku, Penjagal Bukit Tengkorak! Sekarang giliran aku menagih hutang nyawa murid-muridku!” desis Eyang Jaraksa dingin.
“Hutang nyawa...? Heh...! Apa yang telah kulakukan pada murid-muridmu?” Suryadana yang juga dijuluki si Penjagal Bukit Tengkorak oleh Eyang Jaraksa semakin tidak mengerti.
“Jangan banyak omong! Terimalah kematianmu, Setan Jagal! Hiyaaat..!”
“Hait!”
Cepat Suryadana melompat ke belakang begitu Eyang Jaraksa kembali mengebutkan tongkat putihnya yang terkenal dahsyat. Hampir saja ujung tongkat itu merobek dada si Penjagal Bukit Tengkorak. Untung saja dia segera melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Eyang Jaraksa sudah mengebutkan tongkatnya kembali ke arah kaki.
“Hup!”
Suryadana segera melentingkan tubuh ke udara. Dan pada saat itu, Eyang Jaraksa juga melesat ke atas. Laki-laki tua berjubah putih itu menghentakkan tangan kirinya ke arah dada. Pada saat yang bersamaan, Suryadana mendorong tangan kanannya ke depan. Tak pelak lagi, dua telapak tangan beradu keras di udara.
Blarrr...!
Begitu kerasnya benturan itu, sehingga terjadi satu ledakan keras menggelegar yang memekakkan telinga. Semua murid Padepokan Tongkat Putih bergegas berlompatan mundur sambil menarik tali kekang kudanya masing-masing. Sementara terlihat Eyang Jaraksa dan Suryadana sama-sama terpental ke belakang. Mereka melakukan putaran beberapa kali, lalu mantap sekali mendarat kembali di tanah.
“Hiyaaat..!”
“Hap!”
Eyang Jaraksa langsung melompat kembali menyerang si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Tapi, Suryadana juga cepat melakukan tindakan menghindar dengan membungkukkan tubuhnya ketika tongkat laki-laki tua itu berkelebat cepat menyambar ke arah kepala.
Suryadana langsung menegakkan tubuhnya kembali, dan cepat melenting ke belakang saat Eyang Jaraksa mengebutkan tongkatnya kembali ke arah dada. Dua kali Suryadana berputaran ke belakang. Dan tangan kanannya menyambar cangkul yang tergeletak di tanah. Manis sekali kakinya dijejakkan di tanah kebun yang baru saja dipaculi.
“Rupanya kau bersungguh-sungguh hendak membunuhku, Tongkat Putih!” desis Suryadana, agak dingin nada suaranya.
“Tahan jurus 'Tongkat Seribu' ku, Setan Jagal Keparat! Hiyaaat…!” teriak Eyang Jaraksa lantang menggelegar.
Laki-laki tua berjubah putih itu cepat memutar tongkatnya bagaikan baling-baling. Lalu, tubuhnya meluncur deras ke arah Suryadana. Cepat sekali tongkatnya dikebutkan beberapa kali, membuat Suryadana jadi kelabakan menghindarinya. Si Penjagal Bukit Tengkorak itu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari serangan Eyang Jaraksa yang begitu dahsyat luar biasa.
Tongkat putih itu berkelebatan cepat mengurung tubuh Suryadana, seakan-akan ada di sekitar tubuhnya. Tongkat itu seperti menjelma jadi seribu banyaknya. Beberapa kali tongkat itu hampir mengenai tubuh Suryadana. Dan untungnya si Penjagal Bukit Tengkorak itu masih mampu berkelit menghindar. Namun lewat suatu gerakan yang tidak terduga, mendadak saja....
Bet!
Eyang Jaraksa membalikkan tongkatnya. Dan secepat itu pula ditusukkan ke arah dada Suryadana. Gerakan berbalik yang begitu cepat, sama sekali tidak diduga si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Akibatnya, dia terlambat menghindar.
Des!
“Akh...!” Suryadana terpekik keras begitu ujung tongkat menghantam dadanya yang bidang berotot
Laki-laki bertubuh tinggi tegap penuh otot itu terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya didekap karena terasa nyeri dan sesak. Untung saja bukan ujungnya yang runcing, sehingga tidak sampai menembus dada si Penjagal Bukit Tengkorak.
“Ha ha ha...! Bersiaplah ke neraka, Jagal Keparat! Hiyaaat..!”
Bagaikan kilat, Eyang Jaraksa melompat sambil membalikkan tongkatnya. Dan kali ini ujung tongkat yang runcing mengarah lurus ke dada Suryadana. Pada saat itu, si Penjagal Bukit Tengkorak masih berusaha menguasai pernapasannya yang mendadak sesak.
“Hait..!”
Meskipun pernapasannya belum lagi sempurna, Suryadana bergegas membanting tubuhnya ke tanah. Dan cangkul yang berada di tangan kanan langsung dikebutkan ke arah tongkat putih itu.
Trak!
Cangkul itu seketika terbelah jadi dua begitu membentur tongkat putih di tangan Eyang Jaraksa. Mata Suryadana jadi terbeliak. Ternyata ujung tongkat itu terus meluruk deras ke arahnya, tidak terpengaruh oleh benturan tadi. Maka cepat-cepat tubuhnya bergelimpangan, sehingga hunjaman ujung tongkat yang runcing itu hanya mengenai tanah.
“Hup!”
Suryadana cepat melompat bangkit berdiri. Sementara Eyang Jaraksa sudah kembali bersiap hendak menyerang kembali. Cepat sekali tubuhnya melesat menyerang dengan tongkat berkelebat cepat ke kepala si Penjagal Bukit Tengkorak.
“Hiyaaat…!”
Bet!
“Uts!”
Suryadana merundukkan kepala sedikit, tapi hatinya jadi terkejut. Ternyata tiba-tiba saja Eyang Jaraksa sudah memutar tongkatnya, yang melayang deras ke arah kaki. Si Penjagal Bukit Tengkorak tak sempat lagi menghindar.
Wuk!
Crasss...!
“Akh...!” Suryadana memekik tertahan begitu ujung tongkat putih yang runcing merobek paha kanannya. Seketika, darah mengucur deras dari luka yang cukup panjang dan dalam di paha kanannya. Suryadana terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi paha kanannya yang mengucurkan darah segar. Pada saat itu, Eyang Jaraksa sudah kembali bersiap hendak menghunjamkan tongkatnya untuk mengakhiri hidup si Penjagal Bukit Tengkorak ini.
“Mampus kau, Keparat! Hiyaaat...!”
Tinggal sejengkal lagi ujung tongkat putih yang runcing itu menembus dada Suryadana, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih menyambar si Penjagal Bukit Tengkorak sambil menyentakkan tongkat Eyang Jaraksa.
Tak!
“Heh...?!” Eyang Jaraksa terperanjat.
Cepat Eyang Jaraksa melompat mundur sambil menarik tongkatnya kembali. Laki-laki tua berjubah putih itu jadi terlongong, karena si Penjagal Bukit Tengkorak tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Pandangannya beredar ke sekeliling, tapi tak terlihat satu bayangan pun berkelebat.
“Setan keparat..!” geram Eyang Jaraksa.
Matanya memandangi semua muridnya yang juga bengong menyaksikan kejadian itu. Si Penjagal Bukit Tengkorak benar-benar lenyap, di saat maut hampir saja merenggutnya.
“Kalian semua...! Periksa seluruh tempat ini, dan bakar rumah itu!” perintah Eyang Jaraksa mengumbar amarahnya.
Tak ada seorang pun yang berani membantah. Murid-murid Padepokan Tongkat Putih itu bergegas berhamburan. Sementara dua orang berlarian menuju ke gubuk kecil yang terbuat dari bilik bambu. Tak berapa lama kemudian, terlihat api berkobar membakar gubuk itu. Eyang Jaraksa mendengus sambil mengumpat kesal. Dia melompat naik ke punggung kuda, dan langsung menggebahnya. Kuda itu meringkik keras, lalu berlari cepat.

***

Eyang Jaraksa melompat turun dari punggung kuda begitu sampai di depan rumah besar yang menjadi tempat tinggalnya, sekaligus tempat pendidikan ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan bagi para pemuda. Dengan ayunan kaki yang lebar, diterobosnya pintu itu untuk masuk ke dalam. Langsung dirinya dihempaskan di atas balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar anyaman daun pandan.
“Satira...!” panggil Eyang Jaraksa.
Belum juga gema teriakan itu menghilang dari pendengaran, dari salah satu pintu muncul seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Langkahnya tampak tergopoh-gopoh menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu. Senyumnya langsung terkembang, lalu duduk di samping Eyang Jaraksa. Diambilnya sehelai saputangan, kemudian disekanya keringat yang membanjiri leher laki-laki tua itu dengan sikap lembut sekali.
“Dari mana, Kakang? Sampai berkeringat begini,” lembut sekali suara wanita yang dipanggil Satira ini.
“Kau tahu...? Aku hampir saja melenyapkan pembunuh edan itu!” dengus Eyang Jaraksa, memberi tahu.
“Pembunuh edan...? Maksud Kakang, pembunuh yang telah...,” Satira tidak meneruskan ucapannya.
“Iya.... Pembunuh edan itu ternyata si Penjagal Bukit Tengkorak!”
Satira tertegun. Seketika tangannya ditarik dari leher laki-laki tua itu. Dipandanginya wajah yang penuh debu dan berkeringat itu dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari ucapan yang didengarnya barusan.
“Kenapa...? Kau terkejut...?” agak sinis nada suara Eyang Jaraksa.
“Rasanya tidak mungkin kalau Kakang Suryadana melakukan itu,” ujar Satira, agak ragu-ragu nada suaranya.
“Kenapa tidak...? Kau ingat ancamannya ketika aku mengawinimu?”
Satira tidak menjawab, namun tentu saja tidak akan melupakannya. Di hari perkawinan dengan laki-laki tua yang pantas menjadi ayahnya ini, Suryadana melontarkan ancaman akan memusnahkan Padepokan Tongkat Putih sampai ke akar-akarnya. Memang, sebelum memilih laki-laki tua ini, Satira sempat menjalin hubungan dengan Suryadana. Satira tidak mungkin bisa menikah dengannya, karena waktu itu Suryadana masih menjadi pelaksana hukuman penggal kepada penjahat-penjahat besar. Wanita itu tidak ingin kehidupannya selalu diwarnai darah dan jeritan menjelang ajal dari orang-orang yang terpenggal kepalanya oleh pedang Suryadana. Makanya, dia lebih memilih Eyang Jaraksa yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada suami.
“Seharusnya tadi aku bisa membunuhnya, kalau saja tidak muncul setan edan yang membawanya kabur!” dengus Eyang Jaraksa.
Satira menatap laki-laki tua itu. Entah kenapa, hatinya merasa bersyukur mendengar Suryadana belum tewas dan sempat tertolong oleh seseorang yang tidak dikenal. Hatinya memang tidak yakin kalau semua pembunuhan gelap yang terjadi dalam beberapa hari ini di Padepokan Tongkat Putih, adalah perbuatan Suryadana. Tapi, dia juga tidak mungkin membelanya di depan Eyang Jaraksa.
“Siapa yang menolongnya, Kakang?” tanya Satira ingin tahu.
“Aku tidak tahu! Gerakannya begitu cepat. Tahu-tahu dia hilang begitu menyambar Suryadana,” sahut Eyang Jaraksa.
“Kau tidak mengejarnya?”
“Kalau aku bisa, sudah kulakukan!” dengus Eyang Jaraksa.
Satira jadi terdiam. Dia tahu, laki-laki tua ini sedang diliputi kekesalan. Tepat pada saat itu terdengar derap langkah beberapa ekor kuda di depan. Dari pintu yang terbuka lebar, terlihat murid-murid Padepokan Tongkat Putih yang tadi ikut bersama gurunya mulai berdatangan memasuki halaman yang cukup luas. Mereka langsung menuju bagian samping untuk menaruh kuda. Seorang menghampiri kuda Eyang Jaraksa yang masih berada di depan pintu, dan membawanya ke samping kanan bangunan besar ini.
“Istirahat di dalam saja, Kakang. Nanti kupijiti badanmu,” kata Satira lembut.
Sebentar Eyang Jaraksa menatap wanita itu, kemudian bangkit berdiri. Satira membimbingnya melangkah masuk ke dalam kamar. Pintu kamar itu tertutup rapat begitu mereka berada di dalam.

***

57. Pendekar Rajawali Sakti : Penjagal Bukit TengkorakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang