BAGIAN 8

659 27 2
                                    

"Ohhh...," Arini merintih lirih. Gadis itu menggerak-gerakkan kepalanya perlahan, lalu kelopak matanya mulai bergerak terbuka. Dia hendak bangkit, tapi langsung terkejut. Ternyata dia mendapati seluruh tubuhnya dalam keadaan terikat. Arini terbeliak begitu mengetahui dirinya terikat di lantai kayu.
"Arini.... Kau sudah sadar...?"
"Oh...!" Arini terkejut ketika mendengar suara tidak jauh dari sampingnya.
Gadis itu semakin terkejut, karena di sampingnya ada orang lain yang seluruh tubuhnya juga terikat tambang. Bahkan sampai ke kaki. Dan orang itu adalah si Penjagal Bukit Tengkorak. Di samping laki-laki itu, tampak tergolek seorang gadis lain. Juga dengan seluruh tubuh terikat tambang.
"Kau...?" Arini tidak dapat meneruskan kata-katanya.
"Rupanya nasib kita sama, Arini. Dia begitu manis dan pandai bermain kata-kata. Dia menyuguhkan secangkir teh padaku. Setelah kuminum..., entah apa yang terjadi. Aku tidak sadarkan diri, dan tahu-tahu sudah berada di sini," Suryadana yang juga dikenal sebagai Penjagal Bukit Tengkorak mengisahkan kejadiannya, sampai berada di tempat ini.
"Bagaimana denganmu, Arini?"
"Aku...," Arini tidak bisa menjawab. Masih sulit baginya untuk bisa mengerti.
Arini menatap wanita yang tergolek di samping tubuh Suryadana. Seluruh tubuh wanita itu juga terikat, seperti dirinya dan juga Suryadana. Sulit dikenali, karena wajahnya tertutup tubuh laki-laki kekar ini.
"Siapa dia?" tanya Arini.
"Kakakmu," sahut Suryadana.
"Purmita...? Dia juga...," lagi-lagi Arini tidak melanjutkan.
"Dia kakakmu yang asli," jelas Suryadana.
"Maksudmu?" Arini tidak mengerti.
"Dia kakakmu yang asli, Arini. Sedangkan yang selama ini ada di padepokan adalah Purmita palsu," Suryadana mencoba menjelaskan lebih lanjut
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu," Arini meminta penjelasan lagi.
"Cukup sulit menjelaskannya, Arini. Sayang, Purmita tidak sadarkan diri lagi. Kesehatan tubuhnya sangat lemah. Entah sudah berapa hari dia berada di sini. Yang jelas, sewaktu terjadi pembunuhan-pembunuhan di padepokan ayahmu. Orang yang melakukan pembunuhan itu adalah si Purmita palsu. Dia sebenarnya bernama Wiranti, putri tunggal Nyai Kalamurti," Suryadana menghentikan ceritanya.
"Teruskan. Aku ingin tahu seluruhnya," pinta Arini yang mulai bisa memahami sedikit demi sedikit
"Nyai Kalamurti dulu adalah istri pertama ayahmu. Sebelum mendiang ibumu, Arini. Dia telah kepergok melakukan hubungan gelap dengan sahabat ayahmu sendiri. Akibat perbuatannya, ayahmu mengusir dan membuat cacat wajahnya. Sedangkan laki-laki itu tewas di tangan ayahmu. Sejak saat itu Nyai Kalamurti tidak terdengar lagi kabarnya. Tapi ternyata dia menyepi di tempat ini hingga melahirkan seorang putri hasil hubungan gelapnya. Anaknya itu dinamakan Wiranti. Kemudian Nyai Kalamurti mengajarkan segala cara pada anaknya. Dan Wiranti diminta agar membalaskan dendam dan sakit hatinya setelah dia meninggal...," sampai di situ Suryadana berhenti lagi.
"Aku mengerti sekarang," ujar Arini yang memang pernah mendengar sedikit tentang istri pertama ayahnya itu. "Tapi..."
"Tapi kenapa, Arini?"
"Wajahnya.... Kenapa begitu mirip kakakku?"
"Sebelum meninggalkan Padepokan Tongkat Putih, Nyai Kalamurti sempat mencuri beberapa kitab dari sana. Dan salah satunya adalah kitab yang berisi ilmu-ilmu pengobatan dan ramuan yang langka, selain kitab-kitab berisi ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Dari kitab-kitab itu, Wiranti berhasil menemukan satu ramuan untuk membuat topeng yang sangat halus dan tipis dari campuran kulit binatang. Topeng itu bisa membentuk wajah siapa saja. Begitu halusnya, sehingga tidak bisa membedakan antara yang asli dan yang palsu," jelas Suryadana kembali.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang itu semua?" tanya Arini.
"Bukan hanya aku, tapi ayahmu juga tahu."
"Ayahku...?"
"Ya, hanya saja dia tidak berpikir sejauh itu. Bahkan tidak menyadari kalau di dekatnya ada seseorang yang siap menikam dari belakang. Mungkin dia sudah melupakan kitab-kitab yang hilang itu. Dan menganggap persoalannya dengan Nyai Kalamurti sudah berakhir. Sedangkan aku tahu betul sejarah ayahmu, dan istri pertama ayahmu itu."
"Boleh aku bertanya lagi...?" pinta Arini.
"Silakan."
"Kenapa dia melibatkanmu, Paman?" tanya Arini yang kini memanggil si Penjagal Bukit Tengkorak itu dengan sebutan paman.
"Dia tahu dari ibunya, kalau antara aku dan ayahmu tidak pernah cocok, sehingga selalu saja terjadi perselisihan paham. Padahal, antara aku dan ayahmu masih terikat tali persaudaraan. Aku adalah adik sepupunya. Dan memang sudah sepantasnya kau memanggilku paman."
"Oh...," desah Arini.
Sungguh tidak disangka kalau si Penjagal Bukit Tengkorak ini adalah pamannya. Sama sekali dia tidak tahu. Dan lagi, ayahnya memang tidak pernah menceritakan tentang si Penjagal Bukit Tengkorak ini. Tapi, kenapa di antara mereka terjadi permusuhan, sampai-sampai bisa tega untuk membunuh. Dan itu langsung ditanyakan Arini.
"Ayahmu memang ingin sekali membunuhku, Arini," kata Suryadana seraya tersenyum pahit.
"Kenapa...?" tanya Arini ingin tahu.
"Dia pernah meminta agar tidak menghukum mati adik iparnya. Tapi, tidak kupedulikan. Perbuatan yang dilakukan adik iparnya sudah terlalu berat. Membunuh, merampok, dan memperkosa wanita-wanita. Bahkan berani memperkosa dan membunuh putri seorang bangsawan. Ayahmu meminta agar aku melepaskan adik iparnya itu, yang juga adik kandung ibumu. Tapi, aku tidak pernah menuruti dan tetap menjalankan tugasku. Sejak saat itu, kebencian semakin berkobar di dada ayahmu. Kami seperti dua orang musuh, dan bukannya dua orang saudara yang seharusnya saling melindungi."
"Oh...," Arini mendesah perlahan. Kini segalanya bani jelas bagi gadis itu. Bukan hanya persoalan pembunuh gelap itu yang terungkap. Bahkan persoalan keluarganya yang tersimpan puluhan tahun pun jadi terungkap ke permukaan. Gadis itu jadi senang dan tidak menduga kalau masih mempunyai paman, yang sebenarnya begitu dekat dan sudah dikenalnya. Tapi dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin seluruh perasaannya ditumpahkan.
"Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Arini.
"Berdoa," sahut Suryadana.
"Berdoa...?"
"Benar. Berdoa agar penolong yang membebaskan kita dari sini segera datang."
"Huuuh...! Kita harus melakukan sesuatu, Paman!" rungut Arini.
"Apa yang bisa kita lakukan?"
"Putuskan tambang ini!" sahut Arini.
"Tambang ini terbuat dari campuran otot binatang dan urat-urat kayu yang sangat kuat. Meskipun kau mengerahkan seluruh tenaga dalam, tidak akan mampu memutuskannya. Coba saja kalau tidak percaya," jelas Suryadana.
"Huuuh...!" Arini jadi kesal.
"Tenang saja, Arini. Pendekar Rajawali Sakti pasti bisa menemukan kita di sini," ujar Suryadana menenangkan gadis itu.
"Jangan terlalu berharap, Paman. Siapa tahu dia sudah jauh meninggalkan Bukit Tengkorak ini."
"Arini! Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Suryadana.
"Aku diajak Purmita..., eh! Siapa tadi namanya?"
"Wiranti."
"Iya! Aku diajak Wiranti ke sini. Tiba-tiba saja dia memukul tengkukku hingga pingsan," singkat saja Arini menceritakan tentang dirinya.
"Kau datang dalam keadaan sadar?"
"Tentu saja."
Suryadana tersenyum-senyum.
"Kenapa tersenyum, Paman?"
"Aku yakin, sebentar lagi Pendekar Rajawali Sakti pasti datang membebaskan kita," ujar Suryadana.
"Harapan kosong!" dengus Arini.
"Mau taruhan...?"
"Tidak! Aku tidak pernah menang taruhan!" sentak Arini.
"Itu berarti kau juga berharap Pendekar Rajawali Sakti datang ke sini."
"Huuuh...!" Arini mencibir.
Brak!
Suryadana dan Arini terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja pintu kamar tempat mereka disekap, hancur berkeping-keping. Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda berbaju rompi putih ke dalam kamar itu.
"Rangga...," desis Suryadana gembira melihat kedatangan pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa berkata apa-apa, Rangga bergegas melepaskan ikatan tambang di tubuh Suryadana dan Arini. Dan begitu terbebas, Suryadana segera melepaskan ikatan pada Purmita yang masih juga belum sadarkan diri.
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini Rangga?" tanya Suryadana.
"Sejak semula, aku sudah curiga pada Purmita. Aku mengikuti dia dan Arini sampai ke sini," sahut Rangga.
"Tapi.... Bukankah kau tadi sudah pamitan hendak pergi?" selak Arini.
"Itu hanya siasatku saja untuk memberi kesempatan padanya membawamu."
"Tuh.... Percaya, tidak? Sudah kukatakan kalau Rangga pasti datang," kata Suryadana seraya memencet hidung Arini.
"Huuu...," Arini hanya mencibirkan bibirnya saja.
"Ayo! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, selagi Purmita pergi," kata Rangga menengahi gurauan itu.
"Ah! Masa. kau lupa! Dia bukan Purmita, tapi Wiranti," Suryadana membetulkan ucapan Rangga.
Suryadana memang telah menceritakan segalanya pada Pendekar Rajawali Sakti. Termasuk, latar belakang Eyang Jaraksa yang masih ada hubungan saudara dengan dirinya. Juga tentang perkawinan Eyang Jaraksa terdahulu, di mana istri pertamanya telah berbuat serong sehingga menghasilkan seorang anak perempuan. Siapa lagi kalau bukan Wiranti, si Purmita palsu.
"Siapa pun dia, yang penting kalian harus secepatnya meninggalkan tempat ini," tegas Rangga.
Suryadana memondong tubuh Purmita asli. Mereka bergegas keluar dari kamar berdinding papan halus yang tidak begitu besar ukurannya ini. Di luar pondok. Pandan Wangi sudah menunggu. Gadis itu bergegas menghampiri Rangga yang melangkah paling depan.
"Dia sudah kembali?" tanya Rangga.
"Kulihat dia menyeberang jurang tadi," Pandan Wangi memberi tahu.
"Hm.... Dia pasti ke padepokan," gumam Rangga.
"Aku pergi duluan. Kalian langsung saja ke padepokan."
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
"Ayo, Paman, Arini. Aku sudah buat jembatan bambu di sebelah sana. Biar lebih mudah melewatinya," ajak Pandan Wangi seraya memberi tahu.
"Ayolah.... Lebih cepat sampai, lebih baik," sahut Suryadana, tetap memondong Purmita asli.
Tanpa bicara lagi, mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi berada di depan, menunjukkan jalan tempat jembatan bambu yang telah dibuatnya untuk menyeberangi jurang.
Sementara itu di Padepokan Tongkat Putih, kekacauan sedang terjadi. Eyang Jaraksa mendapati mayat-mayat muridnya bergelimpangan di mana-mana. Dan begitu keluar, tampak lima orang muridnya tengah bertarung sengit melawan seseorang yang berkelebatan cepat menghajar mereka. Jeritan-jeritan panjang terdengar melengking saling susul.
Dan begitu kaki Eyang Jaraksa menjejak halaman, kelima muridnya sudah bergelimpangan dengan tubuh bersimbah darah. Kedua bola mata laki-laki tua itu jadi terbeliak, begitu mengenali orang yang telah membantai habis murid-muridnya. Eyang Jaraksa hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri!
"Purmita..., apa yang kau lakukan ini...?" agak bergetar suara Eyang Jaraksa.
"Membalas perlakuanmu terhadap ibuku!" desis Purmita dingin
"Purmita..., kau sadar apa yang kau ucapkan?"
"Kau pikir aku sudah gila, Tua Bangka! Kau rusak wajah ibuku, lalu kau campakkan seperti sampah busuk tak berguna!"
"Heh...?! Siapa kau sebenarnya...?" Eyang Jaraksa tersentak kaget
Laki-laki tua itu langsung teringat istri pertamanya. Seketika dipandanginya gadis yang berdiri di depannya dengan pedang tergenggam berlumuran darah. Sedangkan perlahan-lahan gadis itu mengangkat tangan kirinya ke muka, lalu....
Rrrt..!
Bola mata Eyang Jaraksa semakin terbeliak, begitu menyaksikan Purmita merobek kulit wajahnya sendiri. Dan kini, timbul wajah lain yang sama sekali beda dengan wajah Purmita. Wajah seorang gadis yang mengingatkan Eyang Jaraksa pada istrinya dulu. Wajah Nyai Kalamurti.
"Kau...?" suara Eyang Jaraksa terputus.
"Aku Wiranti, putri tunggal Nyai Kalamurti. Sudah saatnya kau harus membayar hutang-hutangmu pada ibuku, Eyang Jaraksa," ujar Wiranti yang kini sudah berubah pada wajah aslinya.
Eyang Jaraksa tidak sempat lagi mengucapkan sesuatu, karena Wiranti sudah melompat cepat menerjangnya sambil mengebutkan pedang.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Bet!
"Hait..!"
Eyang Jaraksa cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, lalu berputaran beberapa kali. Manis sekali kakinya kembali mendarat begitu berhasil mengelakkan serangan gadis itu. Namun Wiranti rupanya tidak akan memberi kesempatan pada laki-laki tua berjubah putih ini untuk mengatur serangan. Dengan cepat kembali diberikannya serangan dahsyat dan berbahaya sekali.
Terpaksa Eyang Jaraksa bertimpangan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan gadis itu. Pedang yang berlumuran darah itu berkelebatan di sekitar tubuhnya. Akibatnya, Eyang Jaraksa jadi kelabakan menghindarinya. Dan begitu memiliki kesempatan, dia cepat melompat mundur untuk keluar dari lingkaran serangan Wiranti.
"Gila...! Jurus-jurus dari kitabku yang hilang telah dikuasainya dengan sempurna," dengus Eyang Jaraksa dalam hati, langsung mengenali jurus-jurus yang digunakan Wiranti. "Betapa bodohnya aku, karena telah menyepelekan kitab-kitab yang hilang itu!"
"Kau tidak akan lolos dari tanganku, Eyang Jaraksa! Semua anakmu sudah ada di tanganku!" dengus Wiranti.
"Keparat..! Apa yang kau lakukan pada anakku?" geram Eyang Jaraksa jadi memuncak amarahnya.
"Membantu mereka ke neraka."
"Setan...! Kubunuh kau, hiyaaat..!"
Eyang Jaraksa tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya mendengar kata-kata Wiranti barusan. Bagaikan kilat tubuhnya melesat cepat dan melontarkan dua pukulan keras bertenaga dalam tinggi secara beruntun. Namun manis sekali Wiranti meliukkan tubuhnya, menghindari serangan laki-laki tua berjubah putih ini. Bahkan tanpa diduga sama sekali, mampu membalas dengan mengebutkan pedangnya.
Wuk!
"Hih!"
Tongkat putih Eyang Jaraksa cepat menangkis tebasan pedang itu.
Trang!
"Heh...?! "
Wiranti terkejut, karena tangannya terasa bergetar saat pedangnya beradu dengan tongkat kakek itu. Dan belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak saja Eyang Jaraksa sudah kembali menebaskan tongkatnya ke arah dada gadis itu.
Bet!
"Uts!"
Wiranti sudah berusaha cepat menghindar, namun sama sekali tidak menduga kalau Eyang Jaraksa dapat menghentikan arus tebasan tongkatnya. Bahkan cepat sekali berputar menusuk ke arah dadanya. Wiranti tersentak kaget, lalu buru-buru menarik tubuhnya ke samping.
Wus!
Tongkat Eyang Jaraksa lewat di depan dadanya. Dan sebelum Wiranti bisa menegakkan tubuhnya kembali, mendadak saja tongkat putih di tangan kiri laki-laki tua itu sudah dikebutkan dengan cepat.
Tak!
"Hih...!" Wiranti tersentak kaget.
Pedang gadis itu terpental ke udara, namun cepat dikejarnya. Dan pada saat Wiranti berhasil meraih gagang pedangnya di udara, Eyang Jaraksa sudah melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras ke dada gadis itu.
Begkh!
"Akh...!" Wiranti terpekik keras.
Gadis itu terpental deras ke belakang, namun berhasil menguasai diri sebelum mendarat di tanah. Bersamaan dengan itu, di depannya juga mendarat Eyang Jaraksa.
"Setan...," desis Wiranti.
"Semuanya sudah berakhir, Wiranti. Semua jurus-jurus yang kau miliki sudah kuketahui," tegas Eyang Jaraksa, agak dalam nada suaranya.
"Phuih!" dengus Wiranti sambil menyemburkan ludahnya. Belum sempat Wiranti melakukan sesuatu, Eyang Jaraksa sudah kembali menyerang. Tongkat putihnya berkelebatan cepat mengurung tubuh gadis itu. Membuat Wiranti harus jumpalitan menghindar.
"Hiyaaa...!"
Satu sabetan tongkat yang cepat membuat Wiranti jadi terperangah. Cepat pedangnya dikebutkan, menangkis tongkat Eyang Jaraksa. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, satu tendangan menggeledek dilepaskan laki-laki tua itu.
Des!
"Akh...!" Wiranti terpekik keras. Di saat gadis itu terpental ke belakang, Eyang Jaraksa sudah menusukkan ujung tongkatnya yang runcing. Begitu cepatnya tusukan itu, sehingga Wiranti tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Crab!
"Aaa ...!"
Wiranti langsung ambruk menggelepar. Darah mengalir keluar dari dada yang tertembus ujung tongkat yang runcing hingga ke punggung. Sebentar gadis itu mengerang. Kemudian mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. Eyang Jaraksa menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pada saat itu Rangga tiba di tempat halaman padepokan. Dan tak lama kemudian, Suryadana, Pandan Wangi, Arini, dan Purmita yang sudah sadar dari pingsannya tiba pula di tempat itu.
"Ayah...!" teriak Arini dan Purmita bersamaan.
"Oh, Anakku...," desah Eyang Jaraksa seraya memeluk hangat kedua putrinya.
"Oh, semua murid-muridmu telah tewas, Ayah!" teriak Arini kaget, ketika melihat banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitar halaman padepokan.
"Mereka telah menunjukkan pengabdian yang tulus. Aku benar-benar bahagia. Terlebih lagi, melihat kalian selamat, tak kurang satu apa pun juga," ujar Eyang Jaraksa.
"Tapi aku lapar, Ayah...," rengek Purmita manja.
"Eh...?!" Eyang Jaraksa memandangi putri sulungnya ini.
Sebentar kemudian, laki-laki tua itu jadi tertawa terbahak-bahak. Sungguh anak sulungnya ini hampir terlupakan. Memang, Purmita kelihatan pucat dan kurus. Mungkin selama menjadi tawanan Wiranti tidak pernah mendapat makan. Atau barangkali makanan yang disediakan tidak enak dan tidak mengundang selera. Sedangkan Rangga, Pandan Wangi, Arini, dan Suryadana hanya tersenyum saja.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 57. Pendekar Rajawali Sakti : Penjagal Bukit Tengkorak 🎉
57. Pendekar Rajawali Sakti : Penjagal Bukit TengkorakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang