BAGIAN 6

607 26 0
                                    

Saat itu Rangga dan Jarwa sudah sampai di Padepokan Tongkat Putih. Rangga sendiri tidak menyangka kalau laki-laki tua berjubah putih yang dikenal dengan nama Eyang Jaraksa, mengenali dirinya sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Ketua Padepokan Tongkat Putih itu menyambutnya dengan hangat. Padahal Jarwa telah membisikinya, kalau kedatangan pemuda berbaju rompi putih itu saat dirinya tengah bertarung melawan si Penjagal Bukit Tengkorak.
Eyang Jaraksa meminta ditinggalkan berdua saja bersama Rangga di ruangan depan bangunan besar padepokan ini. Tak ada seorang pun di sana, kecuali Eyang Jaraksa dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri. Bahkan Jarwa juga sudah lenyap entah ke mana.
“Maaf, mungkin kedatanganku ke sini tidak tepat pada waktunya,” ucap Rangga sopan.
“Ah, tidak.... Aku senang padepokan kecil ini dikunjungi seorang pendekar besar dan digdaya sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti,” sambut Eyang Jaraksa.
“Aku sudah sering mendengar tentang Padepokan Tongkat Putih yang dipimpin orang bijaksana dan patut menjadi teladan bagi semua orang,” puji Rangga.
Eyang Jaraksa hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya seperti tersentil atas ucapan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Bisa dibaca arah pembicaraan pemuda berbaju rompi putih itu. Memang diakui, tindakannya menyerbu si Penjagal Bukit Tengkorak kurang bijaksana. Saat itu dia terlalu menuruti kata hati dan amarah. Mungkin karena tidak tahan lagi melihat murid-muridnya tewas setiap hari, tanpa diketahui siapa pelakunya.
“Rasanya tidak pantas aku menerima pujianmu, Pendekar Rajawali Sakti,” sergah Eyang Jaraksa agak tersipu.
“Ini bukan pujian kosong, Eyang Jaraksa. Sudah banyak padepokan yang kau pimpin melahirkan pemuda tangguh. Bahkan tidak sedikit yang mengabdikan diri untuk memperkuat barisan pertahanan di Karang Setra. Maaf, kedatanganku ini bukan karena aku raja di Karang Karang Setra. Tapi atas nama dunia kependekaran dan diriku pribadi,” ujar Rangga.
“Maaf, cara penyambutanku kurang baik,” ucap Eyang Jaraksa.
Laki-laki tua ini memang sudah tahu kalau pemuda yang duduk di depannya ini adalah Raja Karang Setra. Dan Bukit Tengkorak ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Hanya saja, Rangga belum mengenal betul tentang padepokan ini, juga pemimpinnya yang sudah berusia lanjut. Rangga memang sengaja mengelilingi seluruh wilayah Karang Setra, untuk mengenal lebih dekat tentang wilayah kerajaannya.
Padepokan Tongkat Putih ini bukan padepokan pertama yang disinggahi Pendekar Rajawali Sakti. Sudah banyak padepokan yang dikunjunginya, baik yang terkenal maupun yang belum dikenal. Tapi pada umumnya, pemimpin padepokan di seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra, sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti. Entah tahu dari mana, dan Rangga tidak pernah mempersoalkannya. Seperti halnya Padepokan Tongkat Putih ini, yang tidak diketahui sebelumnya. Eyang Jaraksa sudah mengenal dirinya.
“Aku senang atas penyambutanmu ini, Eyang Jaraksa. Meskipun kau telah tahu siapa diriku, tapi tidak kau tunjukkan di depan murid-muridmu. Sungguh kuhargai sikapmu. Dan aku menaruh hormat atas kebijaksanaanmu yang juga telah menghormatiku sebagai sesama kaum pendekar,” kata Rangga, lagi-lagi memuji laki-laki tua ini.
Dan itu membuat Eyang Jaraksa semakin tersipu. Laki-laki tua itu tahu arah pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti ini. Jelas, itu ditujukan atas tindakannya yang menyerang si Penjagal Bukit Tengkorak. Tindakan yang sebenarnya sangat ceroboh, karena tidak diselidiki terlebih dahulu kebenarannya. Ada rasa malu menyelinap dalam hatinya. Karena dia yang sudah berumur dan jauh lebih tua daripada Pendekar Rajawali Sakti, masih juga tidak dapat mengendalikan diri. Bahkan tak mampu bertindak bijaksana. Itu bisa menimbulkan citra buruk di depan murid-muridnya sendiri. Bahkan tidak mungkin, dunia luar akan mencemoohnya kalau hal ini sampai tersebar luas.
“Aku memang ceroboh, Pendekar Rajawali Sakti. Aku akan meminta maaf pada si Penjagal Bukit Tengkorak, tapi itu kalau terbukti tidak bersalah,” tegas Eyang Jaraksa langsung pada pokok persoalannya.
Laki-laki tua itu tidak ingin berlarut-larut, sehingga dapat membuat dirinya semakin merasa rendah di depan pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja. Dalam hatinya, dia semakin memuji laki-laki tua berjubah putih ini, karena bisa menangkap cepat arah pembicaraannya.
“Aku yang menyelamatkannya dari ujung tongkatmu, Eyang Jaraksa,” jelas Rangga, jujur.
“Oh...,” Eyang Jaraksa terkejut tidak menyangka.
Pantas saja si Penjagal Bukit Tengkorak bisa lenyap begitu cepat, di saat maut tengah berada di depan matanya. Kalau Pendekar Rajawali Sakti ini yang menyelamatkannya, laki-laki tua itu tidak bisa menyangsikan lagi. Memang sudah sering didengarnya kehebatan dan kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, yang sukar diukur tingkat kepandaiannya.
“Waktu itu, aku tidak tahu apa persoalannya. Dan aku juga tidak mengenalmu. Paman Suryadana yang memberitahuku. Itu sebabnya, mengapa aku segera datang kemari. Dan muridmu, aku lihat sempat bertarung dengannya,” jelas Rangga lagi, tanpa diminta.
“Maafkan atas kelancangan muridku,” ucap Eyang Jaraksa.
“Sudahlah, kita lupakan saja hal itu. Kedatanganku hanya ingin tahu, apa benar di sini terjadi pembunuhan gelap, sehingga kau dan murid-muridmu mengira Paman Suryadana yang melakukannya,” kata Rangga. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau lagi membicarakan tindakan laki-laki tua ini dengan murid-muridnya pada si Penjagal Bukit Tengkorak.
“Benar. Dalam beberapa hari ini, sudah hampir sepuluh orang murid-muridku tewas tanpa diketahui pembunuhnya. Aku sendiri tidak tahu, mengapa murid-muridku dibantai dengan cara seperti itu,” Eyang Jaraksa membenarkan pertanyaan Rangga.
“Kau tidak berusaha menyelidikinya?” tanya Rangga lagi.
“Sudah! Bahkan aku mengutus Jarwa untuk menyelidiki dari luar. Tapi sampai sekarang ini, belum jelas hasilnya. Dan semalam jatuh satu korban lagi. Lehernya hampir putus terpenggal,” sahut Eyang Jaraksa.
Saat itu muncul seorang wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik. Bajunya biru agak ketat. Rangga mengangkat kepala, dan menatap wanita itu. Yang ditatap langsung menganggukkan kepala sedikit sambil memberi senyum. Rangga membalasnya dengan anggukan kepala juga. Eyang Jaraksa buru-buru memperkenalkan wanita itu pada Pendekar Rajawali Sakti.
Hampir Rangga tidak percaya kalau wanita setengah baya dan masih kelihatan cantik ini adalah istri Eyang Jaraksa. Mereka bukan seperti suami istri, tapi lebih pantas anak dengan ayahnya. Wanita setengah baya yang dikenalkan Eyang Jaraksa bernama Satira itu, duduk si samping laki-laki tua berjubah putih ini.
Sementara Rangga seakan-akan masih belum percaya, kalau wanita secantik ini lebih suka menikah dengan laki-laki tua yang pantas menjadi ayahnya ini. Dan usianya juga pasti tidak lebih dari empat puluh tahun.
“Cukup lama kami menikah. Sekitar dua puluh tahun,” kata Eyang Jaraksa memberi tahu tanpa diminta.
Rangga hanya tersenyum saja. Sukar baginya untuk bisa memberi tanggapan tentang pasangan yang dipandangnya sangat aneh dan tidak masuk akal ini. Tapi, dia hanya diam dan tidak mau memikirkannya. Sedangkan Satira tanpa ada yang menyadari selalu merayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan dia begitu terpikat pada ketampanan dan kegagahan pemuda yang duduk di depannya ini.
“Eyang, boleh aku melihat-lihat sekitar padepokanmu ini?” pinta Rangga seraya bangkit berdiri.
“Oh, silakan. Apa perlu diantar...?” Eyang Jaraksa juga bergegas berdiri.
“Tidak perlu. Aku bisa meminta Jarwa menemaniku,” tolak Rangga halus.
Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan kepala sedikit pada Satira, kemudian melangkah keluar dari ruangan ini. Eyang Jaraksa memandangi sampai pemuda itu menghilang di balik pintu, kemudian beralih pada Satira yang kini sudah berdiri di sampingnya.
“Dari mana saja kau, Satira? Kenapa baru datang...?” tegur Eyang Jaraksa.
“Habis dari pancuran. Aku tidak tahu kalau akan ada tamu,” sahut Satira beralasan.
“Kau tidak bertemu Basrin?”
“Tidak. Memangnya kenapa...?”
“Aku menyuruhnya menyusulmu ke pancuran.”
“Mungkin berselisihan jalan, Kakang. Aku tidak lewat jalan biasa.”
“Hhh..., sudahlah. Sebaiknya, siapkan kamar untuknya. Ingat! Kau harus melayani segala keperluannya dengan baik. Dia tamu terhormat kita,” pesan Eyang Jaraksa.
“Memangnya dia siapa, Kakang?”
“Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Eyang Jaraksa. “Aku ingin menemaninya melihat-lihat padepokan ini.”
Eyang Jaraksa bergegas melangkah keluar dari ruangan ini. Sedangkan Satira hanya memandangi saja kepergian laki-laki tua itu. Keningnya jadi sedikit berkerut. Dan dia masih berdiri di sana meskipun Eyang Jaraksa sudah menghilang di balik pintu.
“Pendekar Rajawali Sakti...,” desis Satira setengah bergumam. “Hm.... Jadi itu yang bernama Pendekar Rajawali Sakti...? Hm....”
Satira mengangguk-anggukkan kepala, kemudian bergegas meninggalkan ruangan ini dari pintu yang lain. Sebentar saja wanita itu sudah lenyap di balik pintu yang berwarna hijau. Dan ruangan itu kembali sunyi tak seorang pun terlihat di sana.

57. Pendekar Rajawali Sakti : Penjagal Bukit TengkorakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang