Sebenarnya,
Kita bukan hanya ingin didengar saja
Kita juga perlu ruang
Menumpahkan semua beban tanpa segan***
Sepanjang perjalanan pulang tadi, Sakha meracau tidak jelas sebab dia mengingat kejadian tadi. Merasa kesal dan marah tapi dia berusaha mengontrol emosi nya supaya tidak meledak. Sakha tidak habis pikir kenapa dia bisa sekhawatir dan secemas itu kepada Melcy. Sebenarnya, Sakha berprinsip bahwa dia tidak ingin sedikitpun melihat seorang perempuan yang menderita, perempuan yang tersakiti, dan perempuan yang meneteskan air mata. Apalagi, kalau itu semua terjadi karena ulah dia sendiri. Entah mengapa jika sesuatu yang berhubungan dengan seorang perempuan Sakha sangatlah merasa sensitif. Bahkan jika semua itu terjadi kepada sang Bunda dan adik perempuannya, sungguh dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri maupun orang lain. Seketika, Sakha tersadar bahwa perkataan serta bentakan yang tadi dia lontarkan kepada Melcy sangatlah menyakitkan. Perasaan bersalah pun hinggap dalam hatinya.
Saking terlalu fokus memikirkan semua yang terjadi, dia tidak mendengar bahwa sang Bunda dari tadi tengah memanggil namanya. Karena khawatir kepada Sakha yang terlihat lesu duduk di sofa, sang Bunda segera membawakan secangkir minuman hot chocolatos greentea.
Fyi, minuman itu adalah minuman favorite Sakha. Bahkan Sakha bisa menghabiskan 4 bungkus chocolatos greentea dalam sehari. Sebab, menurut Sakha dengan dia meminum minuman yang beraroma dan be-rasa greentea membuat tubuhnya menjadi rileks.
"Sayang, kamu kok kelihatan lesu begitu? Nih bunda bawain greentea kesukaan kamu " tanya sang Bunda kepada Sakha penuh kasih sayang sambil memberikan cangkir berisi greentea tersebut.
"Wihh Bunda tahu aja kalau aku lagi pingin minum ini. Makasih ya Bunda." ucap Sakha dengan raut wajah senangnya sambil menghirup aroma dari cangkir tersebut lalu meminumnya.
"Iyah sama-sama. Apa ada sesuatu hal yang mengganggu pikiran kamu?" tanya Bunda dengan nada serius.
Sakha hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Bunda tahu kamu bukan sehari atau dua hari, insting seorang ibu terhadap anaknya itu kuat dan ngga pernah salah. Dan Bunda merasa kalau kamu lagi ngga baik baik aja. Cerita sama Bunda ada apa? Kamu tahu kan, kamu itu ngga boleh terlalu banyak pikiran. Jangan pernah memendam perasaan apapun sendirian," ujar Bunda karena dia merasa kesal, putranya ini selalu saja begitu. Memendam semuanya sendirian, kalu dipaksa baru akan menceritakan semuanya.
"Maafin aku Bun, aku udah melanggar janji aku sama Bunda untuk tidak menyakiti hati perempuan. Bahkan tadi aku membentak dia dan melontarkan perkataan yang mungkin secara tidak langsung membuat hati dia terluka. Dan bingungnya lagi sekarang aku merasa bersalah banget padahal aku baru ketemu dia sekali itu aja," jelas Sakha kepada sang Bunda dengan rasa bersalah itu.
"Lho memangnya dia salah apa sampai sampai kamu berbicara seperti itu?" tanya sang Bunda penasaran.
"Sebenarnya tadi itu waktu aku dijalan pulang dari supermarket aku ngedenger suara seorang perempuan minta tolong aku cari tahu dong arah suara itu darimana pas aku lihat ternyata ada seorang perempuan dikursi roda yang jalan sendiri ditengah jalan saat itu didepan jalan sana ada truk yang melaju dengan kencang. Dan aku langsung aja lari sekencang mungkin buat selamatin perempuan itu dan aku dorong dia ke pinggir jalan. Ternyata perempuan itu lagi nunggu temennya dan entah gimana bisa kursi rodanya itu jalan sendiri sedangkan temennya menghilang gitu aja, lalu datang tanpa rasa bersalah. Paling parahnya lagi temen perempuan itu ternyata si Natali, anaknya om Bayu, dan disitu tiba tiba aku ngga bisa mengontrol emosi aku, Bun. Makanya itu aku ngata ngatain si Nata bahkan aku sampai ngebentak perempuan itu." jelas Sakha panjang lebar tanpa mengurangi atau menambahi kejadian tadi. Dan sekarang Sakha dipenuhi rasa bersalah.
Bundanya pun merasa terkejut mendengar penjelasan putranya tersebut dan menghela napas kasar "Astagfirullah, tapi kamu ngga papa kan terus perempuan itu gimana keadaanya sekarang ? Ya ampun Bunda bener bener ngga habis pikir sama kamu. Kejadian itu bisa aja membuat kamu celaka. Gimana kalau tadi terjadi sesuatu sama kamu? Bun-" pembicaraan Bunda dipotong oleh Sakha.
"Bunda, udah lah ngga usah sepanik itu. Coba lihat sekarang kan aku ada didepan Bunda. Apakah ada yang lecet di tubuh aku? Apa terjadi sesuatu sama aku? Kalau pun memang terjadi sesuatu sama aku mungkin aku ngga disini, ya mungkin aku di rumah sakit sama perempuan itu dan perempuan itu pun baik baik aja," balas Sakha berusaha meyakinkan sang Bunda bahwa dia baik baik saja.
"Bunda ngga suka ya kamu ngomong kayak gitu, kamu bisa ngomong kayak gitu ya karna itu belum terjadi gimana kalau itu sampe terjadi, kamu tuh bener bener bikin Bunda khawatir kamu rela selamatin nyawa orang lain tanpa memperdulikan keadaan kamu sendiri. Kamu harus tahu gimana kondisi kamu. Pikirkan dulu diri kamu sendiri, baru orang lain," pembicaraan antara ibu dan anak itu semakin serius.
"Tapi kan, buktinya aku sekarang ngga papa. Bunda ngomong begitu seakan akan aku ini manusia ter-rapuh, ter-lemah yang kapan pun waktunya tiba bisa jatuh begitu aja. Aku ngga selemah itu Bun, aku bener bener ngga habis pikir sama jalan pemikiran Bunda. Bunda tuh egois tahu ngga, padahal dari waktu aku kecil Bunda yang selalu ngajarin aku untuk bisa menolong sesama manusia siapapun itu yang membutuhkan bantuan kita. Bunda, pikir deh gimana kalau misalnya aku yang ada di posisi perempuan itu. Tanpa ada seorang pun yang mau menolong aku padahal jelas jelas disitu ada orang lain yang lihat kejadian itu. Lalu aku bakal diem aja lihat kejadian yang jelas jelas ada didepan mata kepalaku sendiri? Gimana perasaan Bunda kalau itu terjadi sama aku, hah? " tanpa terasa air mata menetes begitu saja di pipi Sakha. Jujur Sakha kecewa kepada Bundanya. Sakha tahu Bunda nya tidak setega itu. Sakha sadar perkataannya itu sudah membuat hati sang Bunda terluka.
Sang Bunda tidak menjawab pertanyaan Sakha. Dan hanya diam saja. Sang Bunda bingung berada diposisi seperti ini. "Kenapa Bunda diem aja? Ngga bisa jawab, iya?" tanya Sakha penuh penekanan dalam setiap perkataannya.
Sementara sang Bunda yang daritadi menahan tangis akhirnya luruh juga karena ucapan Sakha yang begitu menyakiti hatinya. Tapi, Bunda tahu Sakha tidak bermaksud seperti itu. Sungguh, ini suasana yang begitu mencekam antara ibu dan anak ini. "Bukan begitu nak. Bunda ngomong begini karena Bunda sayang sama kamu, Bunda ngga mau kalau kamu kenapa napa dan Bunda ngga ingin kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya. Bunda khawatir Sakha. Maafkan Bunda, kalau memang perkataan Bunda membuat kamu tersinggung. Bunda sayang kamu, nak." ucap Bunda kepada Sakha penuh penyesalan sambil membawa Sakha kedalam rengkuhannya.
Sakha bisa melihat dalam binar mata Bundanya kalau Bundanya benar benar ketakutan akan kehilangan Sakha. Sakha sungguh merasa menyesal dan bersalah sudah salah paham pada Bundanya sendiri. Sekarang Sakha berada dalam rengkuhan Bundanya sambil berkata "Ngga Bun, seharusnya Sakha yang minta maaf. Sakha tahu pasti perkataan Sakha tadi buat hati Bunda terluka. Sakha minta maaf, Bun. Sakha melakukan ini karena Sakha ngga mau melihat sebuah kecelakaan didepan mata Sakha seperti waktu dulu. Sekali lagi Sakha minta maaf. Sakha juga sayang sama Bunda," Sakha mempererat pelukan pada sang Bunda, menangis serta menumpahkan segala keluh kesah yang dia alami selama ini. Sakha sangat bersyukur dia bisa terlahir dari rahim Bundanya. Yang begitu sangat menyayangi dia. Bisa menjadi tempatnya untuk pulang saat lelah dengan dunia ini.
"Bunda, sayang sekali sama kamu. Apapun akan Bunda lakukan untuk kamu."
"Sakha lebih sayang melebihi sayangnya Bunda ke aku."
***
Gimana nih part 3?
Menguras emosi para readers ngga?
Monmaap kalau ceritanya semakin gajelas mwhehe 😂
YOU ARE READING
The Sacrifice
Teen FictionMELCY & SAKHA Hiduplah bagaikan matahari meski dia menyinari bumi hanya sendirian pada siang hari dilangit, tetapi dia sangat dibutuhkan oleh semua orang. Dan jadilah seperti bunga matahari yang memiliki simbol kesetiaan karena dia selalu setia meng...