Mengapa kita mesti beranjak dari negeri sendiri, berangkat ke benua yang jauh, bila hanya karena amarah? Ini bukan melulu soal amarah, kau tahu? Pun bukan perkara siri(1), kita telah berbilang tahun kehilangan itu. Tak ada siri bagi mereka yang keberadaannya terletak di ujung telunjuk orang lain dan merangkak di bawah telapak kaki tuan.
Kita pergi, menempuh jarak yang jauh, berparak dari tanah kelahiran, bila perlu kita meniti wirinna bittaraé –ufuk dan tepian gemintang. Kita digerakkan oleh pessé(2), sebentuk ikatan batin yang memilin kukuh anak negeri. Lahir dan menghidupi diri dari tanah yang sama, serta berakar pada tradisi serupa. Pun ditempa pada derita yang satu, dan menanggungkan sakit yang tak berbeda.
Lalu mengapa kita harus kembali, berlawan dengan mereka yang pernah menganggap kita sebagai saudara? Tak lain, semua karena pessé memanggil kita berbalik, tak rela menyaksikan siri bertekuklutut di hadapan keangkuhan dan hasrat kekuasaan. Pessé pantas dikuatkan, siri lantas ditegakkan.
Maka kita sesungguhnya tak pernah benar-benar berangkat, kita hanya berjalan memutar menyiasati nasib. Dari sinilah kisah melingkar itu dimulai, pada sepetak tanah berbukit di pesisir utara tanah Bone.
CATATAN KAKI
(1) Siri adalah konsep tentang harkat dan martabat kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh manusia Bugis-Makassar
(2) Pessé atau paccé dalam bahasa Makassar, bermakna empati: merasai derita, susah dan sedih orang lain sebagai deritanya jua
KAMU SEDANG MEMBACA
Sompung Kajao
Historical FictionKisah petualangan seorang Pangeran Bugis yang bernama La Tenritatta di Tanah Makassar. Oleh induk semangnya, dikenal dengan nama Daeng Serang