03. Mangkatnya Karaéng Pattingalloang

3 0 0
                                    

Malam meremang, langit yang seharusnya benderang karena bulan tanggal tiga belas, justru temaram. Sehari lagi purnama akan tiba, tapi malam ini rembulan redup. Ibarat mata, seperti ada butiran debu yang menghalangi jernih sorotnya. Ada mendung yang menggelayut di punggung bulan, menjelma seumpama payung yang menaungi. Padahal musim hujan masih juga jauh.

Angin berembus pelan, tak seperti biasanya angin pantai yang gerah, malam ini dingin menusuk. Daéng Mangung mendesah ringan, angin menembus celah dinding gedek pondoknya yang terletak di pesisir pantai Galésong. Istrinya terbangun.

"Daéng, dingin sekali ya malam ini." Seru Daéng So'na sambil membetulkan sarung yang menutupi tubuh anaknya yang belum genap lima bulan.

"Iya, sepertinya akan hujan"

"Tapi bukankah sekarang lagi musim kemarau?"

"Mungkin musim hujan datang lebih cepat." Daéng Mangung menjawab sekenanya, tak ada lagi tanggap dari istrinya.

Perlahan Daéng Mangung bangkit, dia berkemul dengan kain sarung, beranjak menuju pintu.

"Mau ke mana, Daéng?" Pertanyaan itu tiba saat Daéng Mangung sudah menjangkau gagang pintu.

"Membereskan ikan kering yang kita biarkan di halaman, nanti kena hujan." Jawab Daéng Mangung di sela derit pintu yang terkuak.

"Betulkah akan hujan?" Tanya Daéng So'na menggantung di udara, suaminya telah berada di luar dan pintu kembali menutup, deritnya terdengar. Daéng So'na memperbaiki lagi sarung di tubuh putranya, lalu bangkit menyusul suaminya.

Di luar, rupanya bukan cuma mereka yang terbangun, beberapa tetangga yang juga berprofesi nelayan pun keluar rumah. Mereka memang tak melaut bila bulan lagi purnama, konon ikan-ikan lebih memilih menepi di celah karang untuk menikmati bias rembulan yang menembus permukaan. Niat awal mereka keluar rumah pun sama: menyelamatkan ikan yang sementara dikeringkan dari terjangan hujan yang mengancam.

"Betulkan akan hujan?" Daéng So'na mengulang tanya, dan Daéng Mangung kembali tak menjawab. Bukan karena tak mendengar tanya istrinya, tapi perhatiannya lebih tersedot pada hal lain.

"Lihat bulannya, nampaknya semua menatap ke sana." Daéng Mangung menunjuk langit. Daéng So'na ikut mendongak.

"Masuklah, siapa tahu Kulle terbangun. Saya akan menemui Daéng Nanring, mungkin dia punya penjelasann tentang tanda-tanda ini."

Daéng Nanring, orang yang dituakan oleh komunitas nelayan tersebut telah dirubung oleh tetangganya ketika Daéng Mangung turut bergabung.

"Kalau berdasarkan cerita orang tua saya, ini pertanda berkabung." Semua terdiam.

"Mungkin besok, kita akan mendengar berita duka." Lanjut Daéng Nanring.

"Lalu, siapa gerangan yang meninggal, Daéng?" Daéng Mangung mendekat.

"Bisa saja petinggi kerajaan, seorang ulama, atau bahkan bisa juga Karaéngta."

"Karaéngta siapa Daéng Nanring? Karaéng Galésong?" Seorang anak muda memastikan.

"Lebih dari itu, mungkin saja Karaéngta ri Gowa, Sombayya." Daéng Nanring menarik nafas panjang, yang lain pada terperenyak mendengarnya. Suasana menjadi hening, hanya desau angin yang kian menusuk tulang. Semua yang hadir kian mengeratkan kemul mereka.

Bulan tanggal tiga belas makin sendu di langit, mendung yang memayunginya kian tebal, namun hujan tak kunjung tiba. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Lihat itu! Itu kawanan burung gagak." Seru anak muda yang duduk mencangkung di sudut halaman Daéng Nanring.

"Betul, ada apa mereka terbang malam-malam?"

Sompung KajaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang