01. Petta Malampé'é Gemme'na

10 1 0
                                    

Mentari beranjak pelan mendaki kaki langit, cahayanya berpendar kemerahan menerobos sela dedaunan. Menyeruak, menyusur gelombang laut yang menggulung pelan. Hembusan angin laut yang membawa angin timur, mengantar perahu nelayan merapat ke pantai berpasir putih dengan air yang jernih. Burung laut terbang rendah, mengintai mangsa yang berenang di balik permukaan air.

Di atas bukit Cempalagi, pagi disambut dengan kesibukan yang tak biasa oleh pasukan –lebih tepatnya rakyat yang memilih berperang demi siri dan pessé– gabungan Bone dan Soppeng. Selepas subuh, mereka bergerak tanpa suara mempersiapkan pemberangkatan, beberapa perahu mereka jajar di sepanjang pantai. Meski belum diputuskan pasukan itu akan bergerak ke mana, namun sudah bisa dipastikan, mereka akan berlayar.

Bukit Cempalagi adalah bukit sebelah utara dari dua bukit kembar yang menghiasi wilayah sekira empat belas kilometer sebelah utara Lalebbata(1), sementara bukit yang sebelah selatan adalah daerah Tanjung Palletté. Bukit yang banyak ditumbuhi oleh pohon Cempa(2) ini menjadi pilihan strategis oleh Datu Mario dan pasukannya, selain karena penduduk yang menetap di sana masih jarang, bukit itu juga sulit dijangkau dan terdapat ceruk tersembunyi yang ideal menjadi tempat peristirahatan Datu Mario.

Sudah beberapa hari mereka menjadikan Cempalagi sebagai markas sementara. Pemimpin mereka, Datu Mario –beberapa waktu yang lalu sebelum pertempuran di Lamuru, ditahbiskan sebagai Arung Palakka, masih mengurung diri di dalam gua peristirahatannya di pesisir pantai, agak ke utara. Hanya istri dan pelayannya, serta beberapa orang kepercayaannya yang menemaninya di sana, berjaga di sekitar mulut gua, termasuk Todani Arung Bakke'.

Hasil pertemuan semalam yang dipimpin langsung oleh Datu Mario, menyepakati meninggalkan Cempalagi sebelum matahari setinggi penggalah. Meskipun tujuan perjalanan belum disebarkan ke pasukan, tapi begitu subuh berlalu, buntalan yang berisi bekal perjalanan dan pakaian sekadarnya telah siap, begitupun dengan persenjataan yang ada.

Sambil menunggu instruksi selanjutnya, beberapa pasukan yang bertugas sebagai pengelola dapur umum membagikan potongan-potongan Bajé(3) dan Kaddo' Bari(4) kepada setiap anggota pasukan, yang lain membagikan air minum dengan menggunakan gelas dari penggalan bambu. Mereka menikmati sarapan dalam beberapa gerombol sambil merumpi dan menyanyi menghibur hati.

"Seppuloni pitu taung ripoata to Boné, sudah tujuh belas tahun orang Bone diperbudak," gumam seorang prajurit –bekas budak penggali parit pertahanan di Somba Opu, sambil menggigit ujung Bajé-nya.

"Sejak kekalahan Puatta La Maddaremmeng(5) dan menyusul pula Puatta To Senrima dalam Béta ri Pasémpek(6), Bone berada di bawah kekuasaan Gowa, dan aku sudah menjadi budak sejak itu." Dia mengusap pelan rambutnya yang mulai beruban, disapa Daéng Manrapi oleh yang lain.

"Untung Puatta La Tenri Tatta mau memimpin kita untuk menegakkan harga diri, mengembalikan siri orang Bone." Timpal seseorang di depannya.

"Dan juga Soppeng, kita tak boleh lupa. Bone dan Soppeng tak bisa dipisahkan." Imbuh yang lain pula.

"Betul! Waktu Béta ri Pasémpek, sekira tujuh puluh ribu pasukan yang dipimpin oleh Puatta To Senrima adalah gabungan rakyat Bone dan Soppeng." Terang Daéng Manrapi.

"Apalagi Puatta La Tenri Tatta, selain sebagai Arung Palakka juga Datu di Mario ri Wawo, beliau tak akan melupakan rakyatnya." Pungkasnya.

Ada pula gerombol yang menikmati sarapannya dengan menghibur diri melalui nyanyian, ada yang berdendang meski dengan nada sendu, ada yang mengiringi dengan kecapi dan seruling, yang lain tertunduk pekur, menikmati irama yang menyayat pagi, dan juga hati.

"Ooo... maté colli', maté colli'ni warué.....(7)" Untaian lagu mengalun dengan berat seperti dari hati yang matang didera beban dan membesi ditempa derita. Sudut mata lelaki muda yang melantunkan syair perlahan berembun, hatinya dibelasah pedih, sesah yang perih.

Sompung KajaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang