06. Manu Bakkana Boné

10 0 0
                                    

"Apakah memang kita harus selalu berperang dan saling mengalahkan?" I Malegga menghantamkan paculnya pada tanah yang menggumpal.

"Mau bagaimana lagi, kalau tidak perang. Mereka ingin berkuasa, dan kita menolak takluk." Timpal Pawélai, Dulung Pajalélé yang ikut bergabung dalam penggalian kanal, seperti para budak.

"Tapi kenapa kita yang harus jadi korban, Daéng?" Kembali I Malegga melontar tanya sambil menatap tajam ke arah lawan bicaranya yang muncul tiba-tiba.

"Nah, itu yang menarik. Kenapa harus kita yang jadi korban!" Mata Pawélai berbinar, dia teringat dengan misinya ikut jadi budak.

"Saya Pawélai, siapa namamu anak muda?"

"I Malegga..."

"Saya suka keberanianmu memprotes keadaan, tapi harus tetap hati-hati..."

"Saya sudah lelah bersabar, Daéng!"

"Jangan sampai kau lepas kontrol kalau tak mau jadi korban sia-sia..."

"Mau bagaimana lagi, Daéng. Toh, juga tak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan."

"Jangan putus asa begitu, Malegga. Kau masih muda, banyak hal yang bisa dilakukan."

"Tapi apa!?" Suara Malegga meninggi. Pawélai celingukan memastikan tak ada mandor yang terprovokasi oleh teriakan I Malegga.

"Begini saja, temui saya di tengah kebun pisang setelah makan malam." Ujar Pawélai hampir tak terdengar.

"Tapi..." Suara I Malegga menggantung di udara, Pawélai berlalu sambil mengangkat keranjang yang telah penuh tanah. Dia menghindari kecurigaan para mandor.

* * *

Selepas isya, Wé Tenri Sui' meminta anaknya, lelaki yang telah ditahbiskannya sebagai Datu Mario ri Wawo untuk menemuinya di bilik tidur. Memang, sejak ditinggal suaminya, putri La Tenri Ruwa itu lebih sering memanggil putranya menghadap. Rombongan budak dari Boné sudah sepekan tiba di Makassar.

"Ada apa gerangan, Ibunda memanggil Ananda kali ini?"

"Apa kau tak suka bila aku memanggilmu, Anakku?"

"Bukan begitu Ibunda. Apa tidak sebaiknya Ibunda memanfaatkan waktu lebih untuk istirahat demi pemulihan kesehatan? Anakmu ini bisa menunggu..."

"Aku yang tidak bisa menunggu..."

"Kalau begitu, terserah Ibunda saja." Sambil memijit betis ibunya.

"Kau tahu, Sérang? Kejadian yang kita alami beberapa tahun terakhir mengingatkanku pada cerita kakekmu, tentang kunjungan Puatta' La Uliyo Boté'é ke sini, pada tahun 1540." Matanya tetap terpejam. Datu Mario tetap diam, hanya tangannya yang terus saja bergerak memijit.

"Puatta' La Uliyo Boté'é pernah ke sini?"

"Ya! Itu kunjungan balasan, Karaéng ri Gowa yang lebih dulu berkunjung ke Boné."

"Pada tahun 1538 dengan tangan terbuka Puatta' La Uliyo Boté'é menyambut kedatangan Karaéng Tumapa'risi Kallonna di Laccokkong, bahkan keduanya menyandingkan pusaka masing-masing." Lanjutnya.

"Apakah itu semacam gencatan senjata, ibunda?"

"Lebih dari itu, Anakku. Ini pernyataan saling mengangkat sebagai saudara. Kunjungan Puatta' La Uliyo Boté'é ke sini merupakan penegasan akan komitmen tersebut."

"Tapi mengapa, Sultan Alauddin menyerbu Pamanda La Maddaremmeng? Bukankah telah ada ikatan saudara antara Boné dan Gowa?"

"Perang tak bermula di situ, Nak. Serbuan ke Boné, mulai terjadi setelah 24 tahun masa damai. Pada tahun 1562, terjadi serangan militer pertama Gowa ke Boné yang dipimpin oleh Daeng Bonto Karaéng Lakiung. Kala itu, Boné diperintah oleh Puatta La Tenri Rawé."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sompung KajaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang