02. Daéng Sérang di Somba Opu

8 0 0
                                    

Pagi buta, remaja tanggung usia 16 tahun berlomba dengan waktu menyiapkan diri untuk ikut bermain sepak raga di halaman belakang Balla' Lompoa(1) Kerajaan Gowa. Sudah tujuh tahun dirinya menjadi pelayan pribadi Mangkubumi Kerajaan, Karaéng Pattingalloang(2). Karena posisinya itu, remaja yang sehari-hari disapa Daéng Sérang, merasa bertanggungjawab untuk menyenangkan tuannya dengan prestasi, termasuk dalam permainan sepak raga, olahraga kesukaannya.

Dengan mengenakan celana warna hitam sebatas lutut, serta lipa' garusu' –sarung untuk kaum lelaki– warisan kakeknya, La Tenri Ruwa(3), yang dia ikatkan ke perut seumpama bara-bara(4). Dia berdiri dengan mantap, kedua kaki terpancang ibarat mengakar ke tanah. Bersama bangsawan-bangsawan muda Kerajaan Gowa, mereka membentuk lingkaran.

Sepakan pertama dilakukan oleh Daéng Mattawang –putra mahkota Gowa, setelah naik tahta bergelar Sultan Hasanuddin, bola yang terbuat dari anyaman rotan melambung tinggi, setelah itu mendarat kembali dengan mulus di kakinya. Dia lalu menyepak raga dengan tendangan-tendangan pendek, bahkan sesekali menahan raga dengan menjepitnya di antara punggung kaki dan betis sambil menari berputar.

Melihat itu, mereka yang hadir memberi tepukan riuh. Bahkan beberapa prajurit yang bertugas menjaga Balla Lompoa ikut menyemangati calon raja mereka. Lain halnya dengan Daéng Sérang, melihat kehebatan Daéng Mattawang memainkan raga, dia merasa tertantang untuk melakukan hal yang sama, bahkan lebih. Mereka berdua memang murid Karaéng Pattingalloang yang menonjol dibanding yang lain.

Begitu tiba gilirannya, Daéng Sérang memainkan raga dengan lihai. Di awal, bola raga dia jepit di tengkuk, setelah itu dia memantul-mantulkannya di kedua paha secara bergantian. Sekali waktu, dia sepak bolanya melayang tinggi, sambil menunggu bolanya turun, Daéng Sérang memainkan satu kembangan jurus silatnya dengan indah. Semua mengakui permainannya, termasuk Daéng Mattawang.

Bahkan, tanpa sepengetahuan mereka yang bermandi keringat di halaman menyepak-nyepak bola rotan itu, beberapa pasang mata dari anak dara bangsawan Gowa beserta para pelayannya menyaksikan, bahkan menikmati permainan mereka sampai cekikikan. Di sana nampak I Mangkawani, I Maming, I Patimang, I Rannu, dan I Ga'ga, lima gadis bangsawan yang menjadi indaman para pemuda.

Kelakuan para gadis itu diperhatikan dengan saksama oleh seorang bangsawan muda yang tak turut serta pada permainan sepak raga, dia tak menyukai olahraga sedemikian, hari-harinya hanya diisi dengan latihan berkuda, memakai pedang dan tombak, serta ammanca'. Sepak raga baginya tak lebih dari permainan remaja manja. Dialah Abdul Hamid Karaéng Karunrung, putra Karaéng Pattingalloang.

Karaéng Karunrung merasa risih dengan kelakuan para gadis itu,terutama I Mangkawani yang seperti punya perhatian khusus pada Daéng Sérang, padahal sudah sejak lama dirinya menaruh hati pada gadis itu. Maka melihat kejadian pagi itu, dirinya menjadi kegerahan, beskap yang dikenakannya sebagai pakaian resmi pegawai istana, seperti memanggangnya.

Namun, demi menjaga citra di hadapan para gadis istana, gemuruh di dadanya dia sembunyikan begitu dalam. Saat permainan sepak raga usai, dan para gadis membubarkan diri dari dekat jendela, Karaéng Karunrung memanfaatkan kesempatan itu untuk menyapa I Mangkawani yang berjalan bergandeng tangan dengan pelayan pengiringnya.

"Wah, ceria sekali mentari pagi ini, sampai semua yang menatapnya ikut semringah." Gumam Karaéng Karunrung yang merupakan sebentuk sapaan tak langsung kepada I Mangkawani. Dia yang disapa lantas tersipu saling melirik dengan pelayannya lalu meneruskan langkah, namun sebelumnya juga melemparkan gumam balasan, "Hanya mereka yang matanya berkabutlah yang tak bisa melihat indahnya pagi."

Mendengar jawaban dari I Mangkawani, hati Karaéng Karunrung menjelma menjadi taman bunga. Senyum lebar mengambang di permukaan bibirnya, langkahnya menjadi ringan seumpama burung Kepodang yang beralih dari dahan ke dahan. Tujuannya, ruang administrasi istana, dirinya harus mempersiapkan bahan untuk rapat pemantapan ekspedisi dagang kerajaan ke timur.

Sompung KajaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang