05. Mewarisi Mario Ri Wawo

4 0 0
                                    

Melihat intensitas tekanan dari VOC, Karaéng Karunrung bergerak cekatan. Atas restu Sultan Hasanuddin, untuk mengamankan pesisir Makassar dan menguatkan pertahanan, benteng yang dihancurkan VOC diperbaiki, bahkan dirinya merasa perlu membangun benteng baru di sisi utara Somba Opu, dinamainya Benteng Mariso. Tak hanya itu, Karaéng Karunrung berencana membangun tembok dan parit sepanjang dua setengah mil sepanjang bibir pantai dari Binang-Beru tembus ke Ujung Tanah.

"Tentu ini membutuhkan biaya besar dan tenaga yang tidak sedikit, Karaéng." Komentar Daéng Kullé, orang kepercayaannya sejak Daéng Sérang jarang melaksanakan tugasnya sebagai abdi pribadi Karaéng Karunrung.

"Itu risiko perjuangan, Kullé."

"Jadi apa yang Karaéng pikirkan?"

"Kita akan meminimalisir biaya."

"Caranya?"

"Kita memanfaatkan tenaga kerja dari negeri taklukan." Karaéng Karunrung tersenyum tipis.

"Oh ya Kullé, tolong segera sampaikan ke Sekretaris Kerjaaan untuk menyiapkan maklumat ke Tobala, jennang(1) kita di Bone."

"Maklumat apa yang akan Karaéng kirimkan."

"Permintaan sepuluh ribu tenaga kerja." Karaéng Karunrung berlalu, Daéng Kullé masih berdiri melongo mendengar jumlah yang disebutkan.

*     *     *

Begitu menerima maklumat dari Gowa, Tobala langsung mengundang Ade' Pitué(2) untuk membicarakan permintaan negeri yang dipertuan tersebut.

"Apa yang bisa kita lakukan, Bone tak punya kuasa untuk menolak." Arung Poncéng bersuara dengan getir.

"Ya, sejak kekalahan Puatta To Senrima, kita tak punya daya." Imbuh Arung Macégé.

"Jadi kita penuhi permintaan ini?" Tobala meminta keputusan Ade' Pitué.

"Mau bagaimana lagi? Beginilah takdir orang-orang kalah." Nampak mata Arung Ta' berkaca-kaca.

"Adikku Arung Ujung, silahkan disebar informasi ini. Jangan sampai keterlambatan kita menyiapkan apa yang mereka minta membuat rakyat kita lagi-lagi harus menderita akibat perang." Arung Tibojong mengambil-alih kendali suasana.

"Saya harap jumlah itu bisa terkumpul dalam tujuh hari, jadi bisa segera diantar langsung oleh Adikku Tobala." Lanjutnya.

Maka demikianlah, bila-bila disebar, pengumuman disuar ke seluruh wilayah Bone, bahkan secara khusus Tobala mengirimkan surat kepada para Arung yang bernaung di bawah konfederasi Kerajaan Bone untuk mengirimkan rakyatnya sejumlah tertentu. Karena besarnya jumlah yang diminta, banyak yang mengirim orang tua dan anak-anak, bahkan ada beberapa arung yang mengirimkan mereka yang masih tergolong bangsawan rendah.

"Kita mau ambil ata(3) dari mana? Itu bukan jumlah yang sedikit." Arung Pattiro menunjukkan kekesalannya, saat menggalang pertemuan dengan sejawatnya, Arung Parippung dan Arung Barebbo'.

"Bersabarlah, mudah-mudahan Déwata Séuwwaé, Tuhan yang Maha Tunggal tidak melupakan kita, orang Bone." Arung Parippung mencoba menenangkan.

"Kita tidak bisa seperti ini terus, kita bukanlah keturunan kucing yang badannya mengkerut bila kepalanya diketuk!" Arung Pattiro sedikit ngotot.

"Betul katamu Adikku. Kita tak bisa hanya berdiam diri, kita harus melakukan sesuatu!" Sergah Arung Barebbo.

"Tapi, tak mungkin kita mengobarkan perlawanan lagi dalam situasi kita sekarang. Bone tak lagi punya apa-apa, dengan apa kita membiayai perang?" Tanggap Arung Parippung.

Sompung KajaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang