[ 11 ] Rain

2.9K 461 173
                                    

"Apa yang aku lakukan ..." 

Akaashi mengusak-usak rambutnya lalu turun ke wajahnya. 

Mengungkapkan perasaan orang melalui selembar kertas sangat tidak gentlemen. Sebagai seorang pria harusnya mengucapkan secara langsung. Sekalipun jantungnya minta dikeluarkan atau resiko di tolak lebih besar, tapi itu menunjukkan sebuah keberanian. Begitulah menurut Akaashi.

Ya, tapi setidaknya Akaashi merasa lebih lega. Hatinya berhasil melepas sesuatu yang sudah lama ditahan dan sukses membuatnya frustasi selama berhari-hari.

Pemuda itu berhenti di halte. Mendung dan gelap. Daripada harus terlambat sampai rumah sebaiknya aku naik bis, batinnya.

"Harusnya aku tak menulis namanya tadi." Akaashi masih bergumam-gumam. Merutuki kelakuan yang bisa membuatnya tak bisa lagi melihat [Name] di cafe maupun sekolah. Gadis itu pasti menghindarinya.

Pemuda itu menghela nafas. Jam menunjukkan pukul 6 tepat. Langit semakin gelap dan bis tak kunjung datang. Tak biasanya. Padahal di waktu ini bus akan ramai berdatangan. Satu persatu lampu di halte menyala. Ada beberapa orang yang juga menunggu kedatangan bis. Sampai selang 10 menit sebuah bus datang.

Hanya saja, kapasitas nya sudah maksimal menampung orang yang menunggu di halte, minus Akaashi. Jadi terpaksa ia menunggu bis berikutnya.

"Hari ini sepertinya sial sekali." Akaashi duduk di kursi panjang. Beruntung. Tidak sampai 5 menit bis berikutnya datang. Akaashi menghela nafas lega, ia langsung melangkahkan kakinya menuju bus.

"Akaashi-kun!"

Sampai suara yang sangat familiar berhasil menghentikan langkahnya. Derap suara kaki yang semakin mendekat dengan tubuh berlapis seragam maid yang belum diganti. Mantel coklat tua tersampir di lengan kanan dan tas sekolah menyangkut dibahunya.

Dan jangan lupa. 

Dua lembar sticky notes dan sebuah bolpoin masih setia digenggam.

"[Lastname]..?"

"T-Tunggu... Jangan dulu.. pergi.."

[Full Name] mengatur nafasnya sambil membungkuk. Rambut yang tertata rapi sedikit terurai berantakan karena berlari dengan gusar.

"Ah."

'Gawat.. padahal aku berpikir [Lastname] akan ilfeel karena kelakuanku,'

Akaashi berkeringat dingin. Pemuda itu akhirnya batal naik bus dan perlahan melangkah ke arah [Name] yang berdiri didepan halte.

"A-..Ano!" [Name] menyentak, kepalanya tertunduk menatap lurus ke lantai . Akaashi menatapnya bingung.

"[Lastname]..."

"A-aku-!"

TRIK TIK TIK

Tetesan hujan sedikit demi sedikit mulai meramaikan suasana hening yang sempat menyelimuti keduanya. [Name] yang masih berdiri cukup jauh dari halte langsung ditarik oleh Akaashi.

"He-hei. Sudah tau hujan kenapa masih diam?" tanya Akaashi. Lengan putih yang masih digenggamnya terlihat bergetar. Akaashi melongok ke wajah sang gadis yang sedikit mendongak.

Merah sempurna dengan imajiner kepulan asap dikepalanya.

"A-ah.. maafkan aku.." Akaashi langsung melepaskan pegangannya. Pipi pemuda itupun ikut merona.

"Iya.. Tidak masalah." 

Akhirnya keduanya berdiam diri dan duduk dihalte sambil menatapi rintikan hujan yang semakin ramai dengan pantulan suara makin keras. 

« Cafetaria » - Akaashi K. [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang