“ sering mendengar belum tentu terbiasa ”
sudah jam delapan kurang berapa sekarang?
rasanya baru beberapa menit sejak anak ipa 4 menyelesaikan rencana yang mereka buat dan sepakat jika Saeron datang di jam biasanya, maka masalah ini harus beres tanpa celah sebelum bel berdentang.
tunggu, apa? Saeron datang lebih cepat hari ini? okay tidak masalah, mari beralih ke rencana B.
sip! yakin seratus persen, pasti berhasi-
eits!!
sebelum berandai terlalu tinggi sebaiknya diperingatkan terlebih dulu,
ingat, masih ada tiga cecunguk itu(Felix, Hyunjin, dan Sanha)—dengan tidak beruntungnya, mereka datang dan langsung berteriak tanpa tahu jika Saeron sudah ada di dalam kelas saat itu.
"GAIS GUE CARI DI LANTAI 1 GAADA!"
"DI LANTAI ATAS JUGA GAADA"
"GUE DAPET NIH, ADA DI KELAS 10. AYO DAH KITA BERESIN, SAERON BELUM DATANG KAN?"
merasa namanya dipanggil, Saeron menoleh kebelakang.
JDARR
well, mungkin kerja otak mereka mendadak berhenti ketika wajah Saeron berbalik dan mulai melempar tatapan tidak ramah ke arah mereka.
"... Saeron?"
"AH LO UDAH DATENG--"
"tck, iya! gak bisa liat sendiri apa? punya mata, kan? dua-duanya masih berfungsi, kan?" potong Saeron. gadis itu menepis tangan Felix yang hendak merangkulnya.
detik selanjutnya, hening. yang terdengar sekarang hanya tegukan tidak nyaman dari setiap orang di kelas. pasalnya... yang benar saja, Saeron? Saeron yang ini membentak teman nya? how can? itu terdengar tidak mungkin.
"ehm.."
".. bercandaaaa!" Saeron merubah ekspresinya sembari tertawa renyah seperti biasa. "ini kalian kenapa sih? bercanda tadi gue ah, gausah dibawa ke hatiiii," lanjut Saeron dan tetap pada tawanya.
yang lain juga sama, tetap pada keheningan mereka masing-masing.
"kok.. kenapa diam? biasanya aja lo pada kayak kuda lumping, gak bisa diam"
masih hening.
"kalian jangan diam-diaman gini dong, ngeri nih gue"
tak ada suara.
"hei??? ngomong napa ngomong!"
KAMU SEDANG MEMBACA
mistake | sae
Teen Fictionbagi Saeron jatuh pada orang yang tidak tepat tidak serumit kelihatannya. itu hanya tentang melepaskan, merelakan, dan menyadari kesalahan. tapi apakah benar begitu? nyatanya, konklusi dari ini semua hanyalah ilusi belaka. seperti hal jenaka semaca...