Bisakah kau membantuku? Tolong hilangkan fungsimu walau sehari. Sungguh, di kejar oleh rasa gelisah tak pernah nyaman terasa
INGATAN.
*************************************
'Ehhh ada anak haram.'
'Anak haram ngapain duduk sendirian?gak ada yang mau nemenin ya? Kasihan ihh.'
'HAHAHA ,anak haram'
Sebuah notifikasi sosial media milikku membuyarkan ingatan tentang kejadian yang membuat jiwaku terancam pada masa itu.
Mader
Kak, kalau pulang sayur ada di lemari makan
Aduhh dasar emak, satu rumah loh bukan LDR, ntar pas aku udah nyampe rumah kan bisa di bilang. Mama yang sangat luar biasa bukan?
"Siapa Ra?" tanya Ifi padaku, dan spontan aku memberikan ponsel ku pada Ifi, agar dia saja yang membacanya.
"Gilak, kalian satu rumah kan?" tanya nya lagi. Dan hanya ku jawab dengan anggukan.
"Ehh, kayak nya cerita tentang keluarga kalian gokil nih, ceritain dong." Pinta Ifi padaku.
Sebenarnya malas untukku menceritakan itu semua, tapi jika itu menyenangkan bagi mereka mengapa tidak?
Aku mulai membuka suara, hingga satu persatu teman yang lain datang dan ikut mendengarkan cerita yang aku suguhkan. Percaya atau tidak, aku memang pandai menceritakan suatu kejadian.
"Yang gilanya lagi, bayangin nih ya bayangin. Kemarin aku buat snap foto lakiknya Tasya Kamila, trus tau gak respon emak pas ngelihat snap ku? Mama trus ngechat dan bilang 'itu suami siapa?' Ya aku jawab dong suaminya Tasya Kamila, trus emak ngomong lagi, 'duhh Ra, jangan jadi pelakor, jangan ngulang cerita lama ' " ucapku yang memang begitu nyatanya,
Spontan teman-temanku tertawa tanpa menyadari satu fakta yang tersirat dari leluconku, hmmm mamaku istri kedua DULU. Seakan semuanya masih berjalan sesuai keinginanku, sungguh sampai saat ini tak ada yang bertanya tentang maksud dari 'mengulang cerita lama' sangat miris ya. Mereka hanya tertawa tanpa mencerna.
"Trus Ra? Ada lagi gak? Belum puas nihh ngakaknya." Ucap salah satu teman ku.
"Menurut kalian alis buk Wida gimana?" tanyaku. Bik Wida adalah salah satu guru biologi di sekolahku.
"Gilak, alis buk Wida yang tebal, lurus tanpa bentuk, dan warnanya gak kontras banget sama muka itu." Jawab salah satu temanku yang sontak semuanya tertawa dan mengangguk seakan semua yang ia katakan benar adanya. Memaang tak bisa di pungkiri, buk Wida bersifat layaknya anak muda zaman sekarang, bahkan ia memiliki akun tiktok dongg. Dia mudah berbaur dengan para murid, kalau ada gosip wajib deh cerita sama buk Wida karena dia selalu up to date banget. Tapi, kalau soal ngajar jangan pernah ngajak main-main ya, sumpah serem.
"Udah pernah lihat alis yang ngalahin buk Wida belum?" tanyaku lagi
"Bentar mikir dulu." Ucap Dira
"Hah? Mikir? Emang punya otak?" tanyaku pada Dira. Spontan teman-temanku kembali tertawa.
"Sumpah sejauh ini aku mikir, ngebayangin emak-emak yang pernah aku lihat dengan dua bola mata telanjang ini belum ada yang bisa ngalahin kekuatan alis dari buk Wida." Ucap salah satu teman ku.
"Kalau gitu, dateng kerumah aku dan saksikan alis kayak gunung menjulang, tanpa ketentuan ukuran, dan sumpah, alis yang seharusnya jadi pengindah pandangan malah jadi perusak penglihatan." Ucapku panjang lebar.
"Alis emak mu?" tanya salah satu temanku.
"Jelas lah. Pensil alis boleh mahal, tapi bentuk tetaplah luar biasa." Ucap ku lagi
"Wahh parah, oh iya ulang tahun yang kemaren bakal ada makan – makannya kan?" tanya temanku
"Ada kalau kalian mau." Ucapku
"Orang gila aja gak pernah nolak makanan." Ucap Ifi
"Giliran makanan aja nomor satu, giliran tugas pada ogah-ogahan." Ucap Ira. Ira menyahut dari belakang. Hmm, dia nimbrung tapi gak ikut ngumpul. Gak tau deh kenapa? Kan aku udah pernah bilang kan? Hubungan kami emang lagi gak bagus banget.
"Yaudah, minggu deh, di rumah aku. Supaya kalian bisa nyaksiin alis yang lebih cetar dari alisnya buk Wida." Ucapku sambil tersenyum licik. Anjirr. Emang mau ngelicikin siapa.
"Ehh, soal indomaret belum kelar." Ucap salah satu temanku.
"Aelah, gak usah nanya Ara, aku dah tau semuanya." Ucap Novi yang berperan sebagai humas di kelas. Orang yang bakal ngorek sampek ke akar apapun permasalahan yang ada di dunia ini.
" Kalau gitu, jelasin apa yang terjadi di depan indomaret kala itu." Ucap Nanda dengan rangkaian puitisnya.
" Oke, jadi ceritanya tuh kan ada tuh anak SMA Bima Sakti, anak kelas 12 kayaknya"
Selama mereka bercerita, aku kembali mengingat hal yang tak ingin ku lihat. Kata-kata yang menusuk ku, kata-kata yang tak dapat ku jelaskan hingga mampu membuatku merasa menjadi anak yang paling menyedihkan.
Waktu benar-benar berlalu begitu cepat, jam pulang sekolah sudah terdengar di indra pendengar. Semua anak bergegas untuk pulang tentunya, begitu juga aku. Masih dnegan senyum berjalan menuju gerbang sekolah, menunggu angkot langgananku menjemput. Rutinitas yang kadang aku sesali sebab ini adalah kegiatan yang sangat membosankan.
Kegiatan malam masih sama seperti biasanya, aku masih membantu mama dengan segala tuga yang biasanya ia berikan kepadaku. Aku masih seperti Ara, si anak yang bekerja di malam hari dan mengerjakan tugas sekolah di dini hari. Ingin menangis memiliki takdir yang begitu kejam, namun hanya syukur yang bisa terus di panjatkan, sebab sampai saat ini aku memiliki kehidupan yang baik, kedua orangtua yang lengkap, bahkan abang yang sangat menyayangiku, serta ada adik yang bisa tiap hari menjadi objek taman bermainku.
" Kak, kata abang, nanti lulus mau nyambung kemana?" Ucap mama yang membuyarkan lamunanku.
" Hmm, belum kepikiran ma, masih bingung mau ngapain."
" Dipikirin mulai sekarang, jangan udah mau dekat hari H baru heboh." Ucap mama lagi.
" Iya ma, ini bakal mulai dipikirin." Ucapku sambil berlalu meninggalkan mama dan kembali melanjutkan pekerjaanku.
Andai dia masih di sini, mungkin aku bisa berbagi cerita, meminta pendapat, bertukar pikiran dan mungkin dia yang akan membantu ku untuk menccapai semua yang aku rencanakan. Tapi itu semua hanya berjuta kata andai yang aku agung-agungkan.
YOU ARE READING
epiphany
Non-FictionAku membiarkan orang-orang menganggapku sebagai apa yang mereka lihat. Tak peduli di sebut apa itu. Jika tanggapan itu berakhir disebuah kata sifat "labil",lalu kau sebut apa masalahku? Mudah? Tidak perlu tau bagaimana perasaanku. Teruslah berimajin...