01. Namanya Nabila

6.1K 290 20
                                    

Sinar mentari pulang ke peraduan. Hari beranjak sore, ketika anak perempuan dengan sepedanya membelah jalanan sepi. Dia mengerem mendadak, ketika netranya menangkap sesosok perempuan bertubuh mungil dengan pakaian kerjanya berjalan sendiri.

"Manusia bukan?" tanya gadis remaja itu takut-takut.

Perempuan yang lebih tua, menatap remaja di atas sepedanya. "Bidadari."

Balasan asal itu membuat remaja mengelus dadanya lega. Karena yang suka becanda, narsis dan juga ngawur ya memang hanya manusia. Kalau setan apa hantu, sukanya serius, cenderung kaku kaya kanebo kering.

"Mau nebeng aja nggak Kak?" tawarnya sambil turun dari sepeda.

"Namaku Azizi, anak SMA seberang." Dia mengulurkan tangannya, berusaha ramah.

Azizi menunggu respon yang tak kunjung didapatkannya, lantas menarik lagi tangannya. Dia menyesal sudah mencoba ramah pada orang asing. Namun 'mbak-mbak' yang mengaku bidadari ini hanya diam membatu sambil terus menelusuri jalanan sepi ini.

Remaja ramah itu mendapat ide iseng di kepalanya. Lalu secara mengejutkan dia mendekat pada perempuan asing dan mengendusnya. Mencium bau dari tubuh perempuan itu. Tentu saja, kelakuan uniknya mendapat pukulan kesal pada bahunya.

"Lo apaan sih?!" Bidadari jutek menaikkan nada bicara.

"Aku takut beneran bukan manusia, makanya aku cium aromanya. Kalau ada aroma anyir, fix bukan manusia. Tapi kakak wangi, aku suka," timpal Azizi ngawur.

"Lihat deh kakinya kalau ngambang baru hantu, lagian hantu tuh mukanya rusak. Mana ada hantu secantik gue." Fix, dia terjangkit narsisme akut. Azizi hanya menggeleng malas, tak habis pikir mbak-mbak di depannya habis makan apa.

"Hati-hati ya kak, jarang ada kendaraan lewat di jam segini. Kayanya dari pengamatanku, kakaknya baru sekali lewat jalan ini. Niatnya aku yang baik hati mau membantu, tapi karena kakaknya nggak mau, yaudah deh. Aku balik duluan, takut dimarahin Ibu kalau sampai malam."

Azizi mengayuh sepedanya, meninggalkan di belakang bidadari yang belum diketahui namanya itu. Tapi dalam hatinya, dia sedikit cemas meninggalkannya sendiri. Jalanan ini memang sepi karena dibangun jalan baru yang lebih bagus. Namun aksesnya memang lebih cepat, makanya Azizi tetap memilih melalui jalan ini. Hanya saja beberapa pemuda desa, memanfaatkan momentum ini untuk menggoda gadis-gadis yang lewat dan terkadang kalau dalam keadaan kacau, tak segan menyakitinya. Itu yang membuat Azizi takut.

Lagi, Azizi mengerem sepedanya, ketika melihat Badrun dkk menunggu di ujung jalan. Badrun dan temannya sebanyak tiga orang adalah pemuda desa yang iseng itu. Tapi mereka tidak pernah menyentuh Azizi karena dia anak kepala desa.

"Drun," panggil Azizi.

"Paan?"

"Nanti kalau lihat cewek mungil pakai rok hitam, rambutnya pendek, itu gue nitip ya jangan digangguin. Kalau sampai digangguin, gue bilangin ke bapak lo."

"Alah, mainnya ngaduan lo anak kemaren sore. Bang Put, gimana nih? Turutin nggak?"

Teman Badrun bernama Putra itu hanya mengangkat bahu, menyerahkan keputusan pada pemimpin geng yang tak lain Badrun sendiri.

"Ngapain nggak lo jagain sendiri deh, Ji?" Kali ini si ramah Gito yang salah pergaulan masuk ke geng itu angkat suara.

"Harus balik buru, takut diomelin ibu Mas Git."

"Siapa si dia? Gebetan lo Ji?" Satya nyamber ikut bertanya.

"Hm, i-iya Bang Sat."

"Lah lo suka cewek Ji? Gue bilangin sama bapak lo ya." Badrun tak berkaca pada kaca, ikut main adu-aduan pada orang tua.

Anak Kemarin SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang