19. Usai

1.2K 179 36
                                    

Masa-masa kelas sebelas adalah datangnya kebebasan. Azizi belum harus memikirkan ujian akhir dan sudah mulai mengerti tentang SMA. Gadis tomboy itu masih aktif di ektrakurikuler basket dan band sekolah. Dia memang bukan tipikal siswa yang pandai di akademik, peringkatnya tengah saja. Bersebelahan dengan Eve di peringkat lima belas, Azizi bertengger di posisi enam belas.

"Zee, besok ikut yuk ngecamp di pantai barengan anak kelas," ajak Eve usai menggigit plastik batagor.

Azizi masih menyalin PR untuk pelajaran selanjutnya. Dia mengambil ponsel untuk melihat tanggal. "Sabtu besok ya Nto? Gue nggak bisa nih."

"Halah, ngapa lo nggak bisa?"

"Malam mingguan," sahut Azizi singkat.

Eve menoyor kepala Azizi kesal. "Lo ya! Malam mingguan tuh seminggu sekali, tapi ngecamp begini kan nggak pasti setahun sekali. Bucin banget sih jadi orang. Emangnya lo nggak bosen tuh dikeremin sama tante?"

Memang setelah delapan bulan berpacaran. Azizi kentara perbedaannya. Eve sebagai sahabat dekat sangat merasakannya. Azizi sering absen dari main maupun acara-acara bersama lainnya. Alasannya mudah ditebak, pasti petugas puskesmas itu.

"Lo kalo ngomong dijaga Nto. Dia nggak pernah nyuruh gue kok, ini kemauan gue sendiri," timpal Azizi ikutan sewot.

"Gue udah nahan buat nggak ngomong ini, Zee. Tapi lo ngerasa nggak sih, selain waktu sekolah, lo pasti sama dia terus? Gue nggak ngerti hubungan juga sih, tapi itu toxic banget. Lo nggak bebas buat pergi, main. Tiap saat lo sama Lala Lala mulu."

Tangan Azizi berhenti menulis. Dia memandang Eve sebal. "Lo nggak tahu, gue bahagia. Mungkin ini lagi waktunya aja. Lo nggak bisa bilang gue terkekang apa gimana, karena nyatanya gue senang aja tuh."

"Nggak tahu deh, terserah lo. Besok gue share lokasinya, kalo lo mau datang ya monggo. Kalo mau berduaan sama Lala ya sana."

Eve beranjak dari kursinya untuk bergabung dengan lainnya. Dia merasa Azizi sungguh berubah, tapi tak ingin mendebat lebih jauh tentang keberatannya. Semua orang memiliki prioritas, Azizi telah menempatkan Lala di atas semua dunianya.

--

Sabtu sore seperti biasa. Azizi hanya rebahan dengan ponsel di tangan. Dia membuka gamesnya dan bermain disana. Lala muncul dari pintu, dia selesai mandi.

"Ji, temenin belanja yuk," katanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

Azizi masih menatap gameplay di layar. "Boleh, tapi motorku lagi di bengkel. Aku pesenin gr*bcar aja ya." Dia menutup aplikasi permainan itu kemudian memesan sesuai lokasi tujuan. Azizi menaruh ponselnya dan mulai bersiap dengan mengganti pakaian seragamnya.

Lala masih mematut diri di cermin, dia mendekatkan wajahnya dan memusatkan perhatian pada lingkaran hitam di bawah mata. "Duh mata panda!" pekiknya cemberut. Azizi yang tengah menyisir rambutnya hanya tertawa melihat pacarnya yang menekuk wajah.

"Kan aku udah bilang jangan suka begadang."

"Ya tapi emang ada yang harus dikerjain Ji, lagi ngerjain laporan terus ini. Masih mending dibantu Dokter Jinan jadi nggak larut banget."

Azizi mengernyit mendengar nama itu disebut. Ternyata selama ini, Lala rutin menelepon dokter Jinan? Persetan dengan keperluan pekerjaan. Profesionalitas hanya ada di tempat kerja.

"Loh kamu sering teleponan sama dokter Jinan, Kak?" tanya Azizi.

"Ya namanya juga urusan kerjaan, Ji. Ada banyak nggak tahunya aku soal obat-obatan," sergah Lala.

Azizi mendengus tak senang. Tapi ponselnya berbunyi, menandakan driver sudah menunggu. Kali ini mereka selamat dari perdebatan kesekian kalinya.

Di dalam mobil hanya ada keheningan. Azizi enggan berbicara karena masih kesal, dia membuka aplikasi permainan untuk menghilangkan jenuh. Lala mengerti betul sifat kekanakan Azizi muncul lagi, dia tak paham mana pekerjaan mana hanya senang-senang. Lala menghela nafas malas, lagi-lagi masa dirinya harus mengerti anak ini?

Anak Kemarin SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang