▪ secret

4.9K 281 62
                                    

Bugh!!

Azzam menggebrak meja makan dengan kuat, tangannya mengepal. Telinganya panas sekali mendengar ejekan yang terlontar dari mulut Tisya itu.

"Pergi ! Mau saya panggilkan anda security ?" usir Azzam sarkastik.

Azzam tak habis pikir. Ternyata nenek peot itu benar - benar ingin mati. Berani mengganggu miliknya, sungguh. Gadis itu akan menjadi miliknya, lebih tepatnya lusa gadis imut itu akan jadi miliknya.

×Flashback on×

"Aku mau kita berdua membuat kesepakatan. Dan papa harus mau." ujar Azzam enteng. Bram lagi lagi dibingungkan oleh sikap Azzam yang terkesan tidak sopan padanya.

"Katakan dengan jelas Azzam!" Bram menekan perkataannya, menatap tajam Azzam yang sedang tersenyum miring.

"Papa. Setelah ini aku mau kita bertiga menyetujui kesepakatan yang aku buat." Azzam berkata dengan tenang, lalu berdiri. Melihat Assya yang berada dalam gendongan Mamanya. Terlihat sangat segar dengan badan gemetaran kedinginan. Menggunakan jubah handuk berwarna biru langit. Azzam sedikit terpesona dengan pemandangan yang dilihatnya.

Malamnya saat Assya telah terlelap, Azzam bangun. Menuju ruang kerja papanya. Saat memasuki ruangan itu, terlihatlah Mama papanya yang sedang duduk berdampingan, saling bermesraan pula.

"Ekhem." Azzam berdehem agar menyadarkan kedua manusia itu. Membuat mereka terkejut, lalu langsung salah tingkah.

Azzam duduk di salah satu sofa yang tersedia dalam ruang kerja papanya. Menatap serius ke Bram.

"Jadi..? " Bram memulai bertanya maksud dari perkataan Azzam tadi sore.

"Saya mau Assya jadi milik saya." tekan Azzam di setiap katanya, tidak lupa pula menggunakan bahasa formalnya. Wajah datar dan tampannya terlihat sangat serius.

Leya terkejut mendengarnya, ia berusaha positif thinking dengan bertanya lagi.

"Maksud kamu apa Zam ?"

"Maksud saya adalah ini." ujarnya sambil memperlihatkan sebuah kertas yang bermaterai, lalu memberikannya pada kedua manusia di depannya ini.

Leya menggeleng lemah, ia tak habis pikir dengan anaknya ini. Sekali ada maunya pasti akan senekat sekarang.

Bram menatap Azzam marah, "Maksud kamu apa hah? Mau manfaatin anak orang?" bentak Bram dengan keras.

"Saya sangat yakin, saya tidak akan menyesalinya. Begitu juga anda, tidak akan menyesalinya." jawab Azzam serius. Mau tidak mau membuat Leya dan Bram percaya pada anak sulungnya.

"Bagaimana kalau nanti kamu menyakitinya nak ? Kamu mau lari tinggalin dia sendiri ? Seperti saat Mama dapat dia depan tokoh. Iya ?" tanyanya dengan mata memerah berkaca - kaca.

Mendengar itu Bram mengganggukkan kepalanya, ikut bertanya.

"Apa kamu sudah pikirkan matang - matang ?"

"Apa kamu yakin?"

"Saya yakin! Sangat yakin." ucapnya mantap.

"Baiklah, kalau itu mau kamu. Tapi, saat kamu kamu salah melakukan tindakan, dan menyesalinya. Jangan meminta tolong pada kami, kami juga tidak yakin kalau dia akan mendengarkan kita."

×Flashback off×

Sementara Tisya, menggeleng mendengar usiran dari cucu kesayangannya. Benar - benar kurang ajar. Tapi mau bagaimana lagi? Itu adalah cucu kesayangannya, satu - satunya dari sekian banyak cucunya. Hanya Azzam yang paling ia anggap. Mungkin karena sifat cucunya yang ini sangat menurun darinya.

Bram yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan kedua manusia itu akhirnya angkat bicara. "Ma, udah. Mama istirahat aja dulu yah." suruh Bram dengan lembut.

Tisya menatap tak suka pada Bram. "Kamu juga Bram ! Kenapa biarin sampah masuk !?" bentaknya pada Bram. Bram yang mendengar itu hanya terdiam, beda lagi dengan Azzam. Sudah seperti manusia yang mau berubah jadi iblis.

Kalau semisalnya Azzam iblis? Mungkin sekarang matanya akan merah, terus taringnya keluar ditambah dengan perubahan wujudnya menjadi menyeramkan.

"Anjing !!" umpat Azzam, mati - matian menahan amarah. Mungkin kalau ia tidak ingat nenek peok di depannya adalah Omanya, maka dia akan habis di tangan Azzam sekarang juga.

"Zam !" tegur Leya. Ia menatap memohon pada anak sulungnya agar ber sopan. Tapi ya Azzam tetap Azzam. Ke bangsatannya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.

Azzam lebih memilih mengalihkan pandangannya ke Assya yang sedang menatap bingung pada dirinya. "Sayang udah selesai makannya ?" tanya Azzam, hanya sekedar basa basi agar Assya tidak terlalu kepo dengan masalah ini.

"Iya kaka. Sekarang udah mau jalan - jalan yaaa ?" Assya menjawab sambil mencuci tangannya ke dalam mangkuk yang sudah di sediakan Azzam tadi untuknya. Azzam mengambilkannya tissue lalu mengelap bagian yang terkena bekas makanan di badan Assya.

"Iya." Azzam segera menggendong Assya ala koala, lalu berjalan menaiki tangga dengan cepat. Ia muak, dan sangat - sangat muak.

Setelah sampai, Assya malah kebingungan.

"Kakak, kenapa kita masuk ke kamar ? Kita ga jadi jalan - jalan ?" tanya Assya pelan. Azzam hanya menatap Assya dengan sayu, ia mendudukkan Assya dengan perlahan ke atas kasurnya.

Pelan - pelan Azzam menghela nafas kasar. Berusaha mencari alasan agar Assya tidak keluar untuk saat ini. "Sayang, bobo siang dulu ya. Liat tuh matanya udah ngantuk." Azzam mengelus rambut lembut milik Assya. Sedangkan Assya, dia hanya mengangguk sedih.

Yah, tidak jadi deh keliling istana besar. Pikirnya sedih.

"Jangan manyun dong. Kan kakak cuma suruh tidur siang. Bukannya batalin ngajak Assya keliling." jelas Azzam sambil mencubit pipi Assya.

Assya mengangguk lemah, mulai merebahkan dirinya. Azzam mengikuti pergerakan Assya, hingga sampailah Azzam memeluk Assya. Ia menarik selimut sempai leher Assya lalu mulai memejamkan kelopak matanya.

Dan akhirnya terlelap dalam keadaan saling memeluk.

...

untuk yang mendukung cerita ini, maaf sudah membuat kalian menunggu..

Sister Complex [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang