Sudah dua hari Luna berdiam diri di dalam kamarnya, beberapa malam memperingati kepergian Gara ia lewatkan dengan terus mengasingkan diri di dalam kamarnya.
Nafsu makannya hilang, begitu juga dengan semangat untuk hidup. Ujian yang di beri sang pencipta begitu berat, dan Luna terus bertanya-tanya mengapa harus ia? mengapa sang pencipta begitu yakin dengan bahunya?
Jendela kamarnya terbuka, menampilkan seorang laki-laki seumuran Luna yang dengan santainya melangkahkan kaki memasuki kamar, yang sedari beberapa hari lalu sangat sulit di masuki oleh siapapun.
"Jangan gini, nanti kamu sakit. Ayo makan sama aku," ucap Alvian lembut, seperti biasanya.
Namun jangankan menjawab, melihat Alvian saja ia enggan. Namun walau begitu Alvian tetap tenang dengan senyuman yang selalu menghiasi bibirnya.
"Berhenti nyiksa diri kamu sendiri. Apa yang terjadi sekarang ini bukan salah kamu Luna, Kak Gara pergi karena emang udah ajalnya. Nanti kalau udah saatnya, baik kamu maupun aku juga pasti bakal nyusul Kak Gara."
"Jadi sebelum waktu itu tiba, kita harus mempersiapkan diri dengan melakukan hal-hal baik. Kamu harus jaga senyuman dan kesehatan kamu untuk bertemu Kak Gara kelak, begitu juga dengan aku. Sekarang ayo makan," sambung Alvian sembari menyendok kan sesuap nasi kepada Luna.
Syukur nya Luna mau menerima suapan demi suapan yang Alvian sodorkan kepadanya. Walau makanan itu tak habis seutuhnya Alvian tetap senang, karena setidaknya perut Luna berisi.
Tak sampai di situ Alvian juga mengambil beberapa pil yang sebelumnya telah di sembunyikan oleh Luna, di berikan Alvian kepada Luna untuk di konsumsi perempuan itu.
Luna masih setia dalam diamnya, dan mau-mau saja melakukan hal yang di perintahkan oleh Alvian. Karena rasa-rasanya setelah Gara, Alvian adalah laki-laki terbaik yang Luna kenali.
"Aku tau, soal penyakitnya kamu," ucap Alvian perlahan setelah Luna menghabiskan pil yang tadi ia berikan.
Sementara reaksi Luna masih sama, diam membisu di tempatnya. Namun lirikan matanya menampilkan respon sebaliknya, seperti bertanya-tanya dari mana Alvian mengetahui hal itu.
"Waktu itu aku nemenin kamu di rumah sakit, dan lebih dulu ngeliat hasil test di banding kamu. Tapi sayangnya sebelum kamu sadar, aku di mintain tolong sama Mama Ranty," terang Alvian.
"Kamu tenang aja, rahasia ini bakal aman. Dan bukan cuma aku, Allah pun tau kamu kuat Luna. Kamu pasti bisa sembuh, aku yakin akan itu," ujar Alvian terus bersuara walau tak juga mendapat balasan.
"Besok ada ujian, dan untuk beberapa hari aku punya kesibukan yang mengharuskan aku untuk nginap di sekolah. Ayo janji walaupun ngak aku minta kamu harus tetap makan, dan minum obat dengan rutin, dan kembali kayak Luna yang ceria dan periang," ajak Alvian menaikkan jari kelingking nya ke udara.
"Pasti ku ingakari," jawab Luna pada akhirnya, setelah sekian lama ia tak berbicara.
"Kenapa?" tanya Alvian bingung.
Luna membalas tatapan mata Alvian, setelah sebelumnya ia hanya menatap lurus kedepan. Sorot mata Luna jelas menyorotkan kesedihan yang begi mendalam, luka yang begitu membekas, dan rasa bersalah yang sangat membebani.
"Sebelum kamu, Kak Gara juga udah buat perjanjian sama aku. Dan aku udah mengikari satu di antara janji lain, aku ngerasa bersalah karena aku ingkar dan karena aku terus menyalahkan diri aku sendiri atas kepergian Kak Gara," jelas Luna dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Aku ngak bisa," lirih Luna melemah.
"Mau sesering apapun kamu datang, dan teriak kalau aku kuat, kalau aku bisa ngejalani hidup tanpa Kak Gara. Aku tetap ngak bisa! aku ngak sanggup! aku ngak sekuat itu Alvian, aku takut hiks," sambung Luna melupakan emosinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/193328652-288-k237524.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Lara Luna || END
Novela JuvenilSemuanya terjadi begitu saja. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga kini aku berakhir seperti ini. Tatapan yang ia lemparkan, perilaku yang ia tunjukkan, dan kata-kata yang ia lontarkan semuanya terjadi atas dasar kebencian terhadapku. Segala ca...