3. Pelanggan Tante?!

1.4K 28 51
                                        

Semilir angin sejuk menerpa wajahnya, suara klakson setiap kendaraan menghiasi telinga, kakinya yang sedari tadi ia kenakan untuk berjalan kini kian melemas. Perkataan demi perkataan memenuhi pikirannya.

Dirinya memilih berjalan karena apa? Karena ia tadi berpikir jika Melvin pasti mengantarkan pulang sehingga ia tidak membawa uang sepersen pun, akan tetapi karena dirinya dengan Melvin tadi bertengkar hingga membuat ia harus jalan kaki.

Kalian berpikir jika dirinya wanita kaya? Tidak. Sekali lagi ia katakan tidak. Ingin membiayai kehidupannya saja ia harus rela menjual harga dirinya. Orang kaya dari mana?

Keluarganya sudah tak memikirkan dirinya lagi, ia adalah wanita sebatang kara yang hidup dengan uang haram. Dirinya sempat bersedih, menangis hingga dua hari dua malam mengingat suatu ketika keperawanannya hilang hanya demi supaya bisa membeli sesuap nasi.

Ia tersadar dari lamunan dan menggeram gemas, ketika mobil sedan menghalangi jalannya. Berhenti melangkah ketika ia memperhatikan mobil itu. Tidak lain si pemiliknya adalah Stevani.

Stevani, wanita yang bisa di golongkan sebagai wanita yang berkecukupan. Keluarganya masih utuh, akan tetapi keharmonisan tidak menghiasi keluarganya sama sekali. Lalu pembullyannya dulu sehingga membuat Stevani menjadi seperti ini.

"Lo kenapa ada di tengah jalan, Ren? Dan bukannya lo lagi sama Melvin?" Alih-alih memberikan tumpangan, Stevani justru memberikan sebuah pertanyaan yang ia pun sulit menjawabnya.

"Gak usah nanya-nanya dia lagi ke gue," ujar Irene yang membuat Stevani mengerutkan dahinya.

Dirinya melangkah, akan tetapi sesuatu menarik rambutnya hingga ia terhuyung ke belakang. Menggerutu di dalam hati, untung saja Stevani sahabatnya, jika tidak tas yang ia bawa sudah mengenai kepala wanita itu.

"Kok bisa? Coba kasih tau gue."

Irene bergeming ditempat, ingin membahas akan tetapi pasti akan lebar kemana-mana. Dengan malas ia menjawab, "dia merendahkan harga diri gue."

Seraya membuka pintu mobil, Stevani menjawab dengan nada terkejut. "Lah, bisa begitu, gimana?"

"Ck, udah deh lo banyak nanya!" kesal Irene menuntaskan ucapannya.

•••

"Fani! Tidak bisakah kau mengatur semua ini dengan benar?!" suaranya menaik beberapa oktaf. Seorang wanita dengan rambut diikat menundukkan kepala dalam-dalam tanpa berniat mendongak. Suara bosnya membuat dirinya ketakutan setengah mati.

Melvin mengacak-acak rambut dengan frustasi, sekretarisnya itu berdiam diri di tempat. "Jika sedang diajak bicara jangan seperti batu! Diamnya dirimu tidak menyelesaikan kekacauan ini."

Ia menarik napas dalam, akhir-akhir ini mudah sekali tersulut emosi. "Baiklah, sekarang kamu keluar dan selesaikan pekerjaanmu yang sempat tertunda." Fani mengangguk lalu pamit setelah mengucapkan permohonan maafnya.

Ia memutar tubuhnya yang tegap, lalu bangkit dari kursi. Memandang pemandangan luar lewat kaca besar diruangannya. Hingga lamunannya terhenti mendengar suara seseorang.

"Masuk!" perintahnya tanpa membalikan tubuhnya.

"Pak, maaf mengganggu waktu Anda. Setengah jam lagi rapat dengan Mr. Waldy akan segera dimulai. Ini berkas yang harus ditandangani." Melvin memutar tubuhnya, memandang lurus pada berkas yang dibawakan oleh Metta. Sekretarisnya yang pertama itu selalu saja mengerjakan tugas dengan baik.

Setelah usai menandatangani ia duduk, memandangi Metta yang tengah menaikkan kaca mata hitamnya. "Kamu tahu dimana, Fani?"

"Entahlah, Pak. Saya dari tadi tidak melihatnya," jawab Metta seadanya, lalu tersenyum dan mengucapkan, "baiklah, saya permisi, Pak."

PelacurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang