1. Malam ini

4K 38 74
                                    

Tangan putihnya membanting gelas beling yang berisikan alkohol beraroma tak mengenakan dihirup. Bulu mata palsunya berkedip-kedip kesal, emosinya meluap membuat wajahnya yang putih mulus kini memerah. Jari lentik berwarna merah maroon itu mengacak-acak rambut pirangnya dengan kesal.

"Bangsat." Hanya kalimat itu saja yang keluar dari bibir seksinya, temannya yang berada dihadapannya hanya menampakkan wajah bingung.

"Kenapa, Irene?" Wanita dengan rambut panjang bergelombang itu mengutarakan kebingungannya.

Yang ditanya mendongak, menatap temannya yang tengah kebingungan, ia berdecak kesal. "Lenna ngomongin kehidupan gue di depan para pengunjung. Seberapa banyak yang dia tahu tentang kehidupan gue, diekspos semua, kurang ajar."

Irene menendang meja bar dengan sepatu haknya, membuat semua minuman yang tengah berdiri tenang itu terombang-ambing mengikuti kemana arah meja bergerak.

"Kenapa? Gak suka?" Suara itu membuat semuanya menoleh termasuk Irene. Ia hanya mengangkat bahu acuh, tak ingin menghiraukan kedatangan Lenna.

"Sejak kapan lo boleh masuk ruangan ini? Lebih baik lo keluar," suruh Stevani dengan nada sarkastik. Ia menatap nyalang Lenna yang berada di pintu.

Lenna tersenyum miring, "gue puas dengan semua ini." Ia lalu memutar balikkan tubuhnya lalu menghilang dari tatapan Irene.

"Brengsek!"

•••

Stevani tersenyum menatap lelaki yang tengah bergelayut manja dengannya. Ia menggeliat kegelian ketika bibir lelaki itu menempel di perutnya. "Sayang, kamu akan menikahiku kan?" Lelaki itu mengangguk, ia mendongak lalu mencium bibir merah Stevani.

"Dalam dua bulan, aku akan menikahimu," jawab lelaki itu, ia berdiri merapikan jasnya yang sedikit berantakan. Menatap Stevani, mencium keningnya sekilas lalu melenggang pergi.

Stevani tersenyum lebar, ia mengambil benda pipih yang berwarna merah tua, lalu mengetik nomor seseorang dan meneleponnya. "Kita berangkat." Ia langsung meraih tas dan pergi.

Bola matanya bergerak kesana-kemari, menatap setiap mobil yang berlalu lalang didepannya. "Ck, lama sekali Irene," decaknya ketika sudah melihat seseorang yang ia sebut.

Irene menampilkan sederetan gigi putihnya, ia merapihkan rambut lalu bersuara. "Dimana Geby?"

Ia menaik turunkan bahunya menjawab pertanyaan Irene. Dirinya pun tak tahu-menahu dimana wanita berusia dua puluh tahun itu.

Baru saja ingin melangkah menuju mobil Irene, sosok yang disebut menampilkan diri dengan penampilan yang menarik, Geby wanita itu menyunggingkan senyum yang memperlihatkan kedua lesung pipinya.

"Kita ke bar lagi?!" serunya dengan suara yang tinggi. Irene dan Stevani memutar bola mata malas, menarik rambut pendek milik Geby. Gadis itu menggerutu kesal.

"Bukannya itu makanan sehari-hari kita? Lagian lo sendiri yang mengajukan diri buat bergabung sama kita. Lo udah tau resiko apa yang ditanggung tapi lo tetap mau ikut," jelas Stevani lalu melepaskan tarikannya.

Geby berdecak kesal, ia hentakkan kakinya pada aspal dengan cibiran yang menghiasi bibir indahnya. Ia menghela napas, ini adalah kemauannya untuk mengikuti jejak kehidupan Stevani dan juga Irene. Ia baru masuk ke bar dua kali, dan... keperawanannya pun masih terjaga.

Beda dengan Stevani dan Irene, mereka sudah menjadi seperti ini semenjak beberapa tahun lalu, dan lebih jelas lagi yah mereka sudah tak perawan.

Irene, si wanita cantik dengan sikap yang berbeda dari yang lain, ia lebih terbuka daripada Stevani. Geby mengetahui asal muasal Irene mengapa menjadi seperti ini karena keluarganya.

Sedangkan Stevani, wanita dengan rambut panjang bergelombang itu berdarah dingin jika baru mengenal seseorang, ia tidak gampang terbuka dengan siapapun. Stevani seperti ini karena frustasi dibully ketika masih di bangku SMA.

Ia tercekat ketika sesuatu menyentil hidungnya. Geby bersungut-sungut kesal.

"Bengong aja, mikirin apa sih?" Irene bertanya, akan tetapi ia tak meminta jawaban dari Geby dirinya lebih memilih jalan menuju mobil, lalu duduk dengan siap.

Geby ingin menjawab akan tetapi ia urungkan ketika melihat Irene sudah memberi tahu jika harus cepat-cepat.

Mobil pun berjalan dengan perlahan, udara malam ini sangat sejuk membuat dirinya tertidur nyenyak.

•••

Suara dentingan musik tampak memekakkan telinga, Geby seperti biasa menutup telinga sesaat lalu melepaskannya kembali. Tersenyum hambar melihat orang-orang yang berjoget mengikuti alur musik.

Stevani, wanita itu tampak sumringah. Ia maju lalu bergoyang mengikuti irama musik, hingga seorang lelaki mampu menariknya untuk berdansa bersama.

"Bukannya, Stevani udah punya calon suami?" tanya Geby kepada Irene yang sedari tadi hanya berdiam diri di tempat. Yang ditanya menoleh lalu tersenyum simpul.

"Ditempat ini lupain kekasih," jawabnya lalu melangkah pergi. Geby hanya mengangguk sebagai jawaban.

Tangan Irene baru saja ingin membuka pintu ruangan, suara seseorang mampu memberhentikan langkahan kakinya.

"Hai, Irene cantik." Yang dipanggil memutar bola mata malas tanpa berniat sekalipun untuk membalikan badannya.

Tampak kesal karena ucapannya tidak digubris, Lenna melangkah maju. "Nanti ada permainan baru, mau tau?"

Dirinya membalas dengan bahu yang dinaik turunkan, memberitahu jika tidak berminat sama sekali, ia membuka pintu lalu masuk ke dalam, meninggalkan Lenna yang tampak kesal.

Suasana di dalam ruangan hening, ia menghisap rokok dengan mata yang terarah pada ponsel yang sedang dipegangnya. Irene mengeluarkan kepulan asap dengan perlahan, menaruh batang rokok dipinggir asbak.

Bergantian, ia memandang gelas kaca dengan cairan hijau yang menghiasi. Tanpa sepatah kata, ia langsung mengambil gelas itu lalu meminumnya.

Pandangannya teralihkan melihat pintu ruangan dimana dirinya berada itu terbuka, lalu terlihat Stevani dengan Geby yang sedang memegang gelas masing-masing. Kedua mata mereka berdua tampak sedikit memerah efek minuman yang ia pegang.

"Jangan terlalu banyak Geby, sayang. Kamu belum cukup umur," kata Irene menyadari apa yang sudah diperbuat gadis itu.

Geby terkekeh geli, sadar atau tidak sadar ia melontarkan kalimat seperti ini. "Gue hanya ingin kesenangan saat ini."

Irene mengangguk sebagai jawaban, ia mengulurkan jarinya yang tengah mengapit sebatang rokok, kemudian Geby yang menyadari menerimanya. Dihisapnya perlahan lalu dihembuskan asapnya itu, ia sedikit terbatuk akan tetapi dia tersenyum simpul.

"Ren, ada cowok yang mau bayar lo," ucap Stevani.

Irene mengangguk tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel lalu setelah semenit diam ia menjawab, "kapan?"

Mendengar jawaban Irene, Stevani langsung membuka pesan seseorang lalu kemudian ia pun menjawab. "Malam ini jam dua."

"Oke."

••

Irene Mary Charlotte

PelacurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang