5. Berkunjung

804 22 38
                                    

Suara bel menggema membuat wanita paruh baya yang tengah merapihkan bunga berlari untuk membukakan pintu. Ia tersenyum pada tamu yang kini berdiri di ambang pintu. Ia mengenal tamu itu, sering sekali berkunjung ke mansion tempat dirinya berkerja, dengan sopan ia tersenyum.

"Silahkan masuk." Dia menghentikan ucapannya, ingin melanjutkan ketika sang tamu sudah duduk rapi di sofa.

"Ingin minum apa?" lanjutnya menampilkan senyuman terbaiknya.

"Jus alpukat sama es jeruk."

Felicya melangkah lambat menuju ruang tamu yang amat besar ini, kedua matanya melirik seseorang yang tengah duduk di sofa miliknya, sedetik ia terkejut melihat siapa tamu itu, ia tersenyum lebar lalu merentangkan tangannya.

Wanita cantik yang tengah duduk di sofa berdiri ketika melihat Felicya berlari kecil menuju ke arahnya sambil merentangkan tangan, dengan senang ia membalasnya.

"Cantika bawa baju ini buat Tante. Dipakai yah," ujarnya setelah melepaskan pelukan dengan Felicya. Ia tersenyum manis.

Diterimanya tas berwarna cokelat itu dengan pita hijau yang menghiasi, Felicya tersenyum bahagia. "Tante gak salah pilih kamu buat jadi menantu Tante."

"Oh iya dong, Tante sangat tepat pilih aku untuk menjadi menantu. Dan aku pantas menjadi istri Melvin. Iya kan, Mah?" Cantika menatap Mamanya yang tengah meminum jus alpukat.

Mamanya—Kirana tersenyum, banyak sekali arti dari senyuman itu. "Oh ya tentu, sayang. Ya kan Jeung?"

Felicya mengangguk mengiyakan, mengelus rambut Cantika dengan sayang. Ia menyuruh untuk Cantika dan Kirana duduk, ada sesuatu yang harus ia ambil.

Cantika menatap Felicya yang naik ke atas, ia menatap Kirana dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Bibirnya yang berwarna merah itu tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu sudah bisa mengambil hati Felicya, masa iya sih kamu gak bisa ambil hatinya Melvin?" kata Kirana dengan suara pelan, ia tidak menyangka dengan anaknya itu. Mengambil hati Felicya hanya sekedip, tetapi mengambil hati Melvin setengah mati.

"Yang Mama kira tidak segampang itu, Melvin orangnya keras kepala. Sudah hampir tiga bulan aku ambil hatinya, tetapi apa? Tidak membuahkan hasil sama sekali. Nol besar!" jelas Cantika dengan tatapan muak. Ia sebenarnya lelah, akan tetapi suatu hal yang membuatnya bertahan hingga saat ini.

Tangannya meraih gelas yang berisikan es jeruk, ditenggaknya es itu hingga habis, ia lalu menatap kembali Kirana yang tengah berkutat dengan ponselnya.

"Susuk kamu tidak berpengaruh kah?" Nada bicara Kirana meninggi tanpa tahu resiko apa yang akan ia dapatkan.

Cantika hampir saja melempar gelas yang ia pegang kepada Kirana karena mendengar ucapan Mamanya. "Kecilkan suaranya, Ma!"

Untung saja Felicya belum kembali, jika tidak, mampus lah dirinya. "Kalau Tante Felicya dengar. Gagal semua rencana kita selama ini."

Kirana menutup mulut, dia keceplosan lagi. "Maaf, ya lagian sih susuk kamu gak guna banget."

"Ya aku juga gak tau, Ma. Kan Mama sendiri yang suruh aku pakai susuk ini untuk menarik perhatian Melvin. Tapi apa? Boro-boro tertarik, melirik aku saja Melvin enggan," katanya menjelaskan, membuat Kirana diam seribu bahasa.

Suara pemilik rumah kini terdengar, tangan mulusnya membawakan sesuatu yang membuat Cantika dan Kirana mengernyit heran. Giginya yang putih mulus itu terlihat.

"Ini oleh-oleh dari suamiku, dia kemarin lusa dari Amerika. Katanya ini untuk calon menantunya," ujar Felicya dengan kekehan kecil. Cantika berbinar menerima bingkisan itu, senyumannya tidak pudar.

"Tidak mahal kok."

Cantika dan Kirana mengangguk, ia tanpa sadar membuka pemberian Felicya, sebuah jaket tebal branded original. Dengan penasaran ia mencari sesuatu dari balik jaket itu lalu menemukan sebuah kertas kecil yang menunjukan harga jaket itu.

Ia mengernyit heran sekaligus bingung, tulisan apa ini? Ingin bertanya pada Felicya, akan tetapi pasti nanti wanita itu berpikiran jika dirinya bodoh. Astaga lalu harus ia tanyakan pada siapa?

Oke, internet. Tetapi nanti saja.

Suara bel rumah terdengar kembali, lalu pintu besar dari kayu jati terbuka lebar menampilkan sosok lelaki yang tengah berdiri dengan wajah lelahnya.

Ia melangkah tanpa menghiraukan tatapan wanita yang dijodohkan orangtuanya. Suara lemah lembut mengalun, mengisi semua telinga yang membuat ia menghentikan langkahnya.

Melvin menoleh sedikit dengan wajah datar, pandangannya lurus menuju Felicya yang menampakkan sederetan gigi putihnya.

"Kamu pulangnya tumben awal sekali." Ia menghentikan kalimat, melangkah mendekati Melvin. "Mari ... duduk sama Mama, ada calon istrimu."

Melvin menyampirkan jas yang ia kenakan ke bahu, lalu mengembuskan napas malasnya. "Tidak perlu, aku hanya ingin istirahat."

Tanpa menunggu jawaban sang Mama, ia lebih memilih melanjutkan langkahnya menuju kamar yang sedari tadi sudah terbuka lebar untuknya.

Cantika yang tengah berdiri dengan senyuman lebar, langsung berwajah musam melihat calon suaminya mengabaikan dirinya. Kurang ajar sekali.

"Maafkan Melvin ya, dia sedang kelelahan. Kita lanjutkan obrolan kita." Suaranya yang lemah lembut tak pudar darinya. Ia menatap Kirana dan Cantika bergantian, sepertinya ada yang berubah dari wajah mereka masing-masing.

Kirana menggeleng kecil, lalu berkata, "tak usah, Jeung. Ini sudah sore kami pulang dulu." Felicya mengangguk pasrah, wajah yang putih mulus tanpa jerawat sedikitpun itu menunjukkan rasa kecewanya.

Setelah memastikan Kirana dan anaknya itu pulang dengan mobil yang ia bawa, Felicya masuk lalu melangkah menuju kamar anaknya. Sudah sampai ia melihat Melvin tengah membuka kemejanya dengan gerakan lambat.

Karena terlarut dalam kegiatan dan pikiran ia tidak menyadari kedatangan Mamanya. Felicya berdeham untuk menarik perhatian Melvin seorang. Bagaikan angin lewat, suaranya tak membuat Melvin menoleh.

Ia mencoba mengusap lembut bahunya, Melvin menoleh dengan pandangan terkejut. Bibir anaknya yang seksi itu berdecak.

"Kau, mengagetkanku, Ma!" serunya memandang wanita cantik dihadapannya ini dengan kesal.

"Sepertinya dirimu lelah sekali, Nak." Felicya duduk di kasur king size yang berwarna putih cerah.

Melvin mengangguk, berjalan menuju meja untuk menaruh ponselnya. "Perusahaan yang Papa kasih membuatku semakin giat, hingga melupakan segala hal."

Felicya menaruh tangan di dadanya, menggeleng-gelengkan kepala lalu berdecak beberapa kali. "Kebiasaan buruk itu, cepat-cepat kau buang. Tidak baik, Nak. Melupakan makan dan istirahat itu akan membuat tubuhmu down," sarannya menasehati. Ia ragu untuk membuka obrolan yang ia niatkan tadi. Melihat kondisi anaknya yang seperti itu.

"Ya sudah, kamu istirahat." Felicya mengacak-acak rambut Melvin yang kaku akibat minyak rambut yang dia pakai, lalu jarinya turun untuk mencolek hidungnya yang mancung.

Melvin mengangguk, mengusir Felicya dengan halus. Ia menghela napas panjang, ia menutup matanya. Sedetik kemudian tanpa ia duga sesuatu bayangan muncul di otaknya.

Bayangannya dengan wanita ceroboh yang pernah menjadi pelampiasan segala nafsu birahinya. Irene.

Ingatan itu, nama itu, wajah wanita itu menguasai pikirannya. Astaga, ada apa ini?

Melvin membuka mata secara cepat lalu memukul kepalanya pelan, seperti orang gila yang berharap pikiran itu buyar, akan tetapi hanya sia-sia. Kenapa ia berpikir tentang wanita jalang seperti Irene itu? Oh ayolah, Melvin sadar-sadar.

Sialan sekali.

•••

JANGAN LUPA MASUKIN LIBRARY YA KALAU SUKA:))

NEXT?!!!


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PelacurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang